Suatu ketika dalam perjalanan, pandangan saya tertuju  banyak anak sekolah dasar mengenakan pakaian adat daerah yang berbeda-beda untuk menghormati hari besar nasional tersebut. Yang saya sukai ialah ketika tidak hanya siswa perempuan saja yang memakai namun juga siswa laki-laki diharuskan untuk berbusana pada hari istimewa tersebut.

Apakah siswa-siswa tersebut tahu mengapa harus memakai pakaian yang hanya membuat mereka kegerahan pada saat pulang tiba? Mengapa ada hari Kartini? Mengapa diperingati?

Banyak macam euforia untuk memperingati hari Kartini, salah satunya seperti yang disebutkan. Perayaan seperti itu dilakukan untuk mengenalkan perjuangan Raden Ajeng Kartini untuk memperjuangkan kesetaraan hak-hak perempuan di Indonesia, khususnya hak pendidikan di masa itu.

Memang tepat sekali Kartini ingin mengubah nasib perempuan melalui pendidikan. Karena pendidikan merupakan salah satu kunci efektif untuk melepaskan belenggu-belenggu ketidaktahuan sebagai manusia, termasuk belenggu perempuan terhadap doktrinasi budaya orang Jawa yang kental dengan nuansa patriarkinya.

Doktrinasi ini yang membatasi perempuan untuk tetap pada ruang pemikiran-pemikiran yang dangkal mengenai hidup perempuan harus seperti apa, detail ruang gerak perempuan juga harus pada tempatnya.

Padahal perempuan juga dilahirkan dengan kodrat sebagai manusia, yang juga mempunyai hak untuk mengetahui, hak untuk mendapat perlakuan yang sama, yah kurang lebih dalam filsafat hukum sudah tegas mengatakan equality before the law.

Tipologi Paradigma Pendidikan  di Indonesia

Salah satu cara untuk membebaskan pikiran yang terbelenggu dan tertindas adalah melalui pendidikan. Kurikulum pendidikan dicetuskan untuk membentuk pemikiran-pemikiran agar selinier dengan karakteristik dan budaya suatu bangsa. Kurikulum merupakan acuan pelaksanaan pendidikan. Di Indonesia, terdapat 3 tipologi paradigma pendidikan yaitu paradigma pendidikan liberal, paradigma pendidikan konservatif, dan paradigma pendidikan kritis. Menurut Schubert (1994), kurikulum merupakan apa yang harus diajarkan, selanjutnya merupakan kombinasi antara pemikiran, tingkah laku, dan tujuan. Sedangkan pendidikan merupakan konsep samar yang membutuhkan ruang melalui keluarga, agama, media, dan budaya lain yang menjadi faktor yang berpengaruh (Schubbert, 1994)

Sedangkan kurikulum tersendiri mempunyai kajian yang dapat mempengaruh tradisi-tradisi dalam paradigma pendidikan. Adapun kurikulum-kurikulum tersebut adalah kurikulum liberal, kurikulum sistematik, kurikulum eksentialis, kurikulum radikal, dan kurikulum deliberatif(Null, 2011). Pada pembahasan kali ini, penulis ingin merefleksikan dari awal bahwa pendidikan feminisme merupakan peran kurikulum radikal pada paradigma pendidikan kritis. Mengacu dari Apple, bahwa Pemikiran radikal beranggapan bahwa pendidikan hanya menimbulkan budaya penindasan, ketidakadilan, dan ketidaksetaraan(Apple, 1990). Sehingga acuan dari kurikulum ini adalah kompetensi, struktur sosial, dan analisis gender(rare, class, and analysis gender). Kontribusi dari gelombang pemikiran ini adalah adanya school desegradation , yaitu kesetaraan gender yang mengangkat perempuan sebagai subjek dari kelompok termarginalkan dalam literature dan sejarah. Contoh lebih nyata lagi, dengan adanya peringatan Hari Kartini yang harus dihormati oleh semua elemen stakeholder. Adanya kurikulum tersebut bukanlah harapan lagi bagi kaum feminis, namun merupakan celah nyata yang bisa dilakukan untuk memproduksi kesetaraan dari bibit-bibit generasi melalui pendidikan.

Mengenal Equality Sejak Dini

Saat merayakan hari Kartini seperti yang dilakukan oleh siswa sekolah tingkat dasar tersebut, apakah tujuan sebenarnya hal itu dilakukan untuk memberi pendidikan mengenasi kesetaraan atau hanya menjadi suatu peringatan saja bahwa di dunia ini dihuni oleh dua jenis kelamin.

Dengan memakai baju daerah setahun sekali dalam masa sekolah tingkat dasar, apakah menjamin kelak para siswa laki-laki tersebut akan mau menghormati istri, saudara perempuan, ibu, atau bahkan rekan kerja perempuan mereka tanpa memandang dari gender? Padahal apabila hal ini mau digarap serius, seharusnya hari Kartini bukan hanya jadi peringatan saja.

Dengan kata lain, secara logika apa dalam satu hari (hitung saja saat durasi waktu sekolah) mampu membentuk mindset yang akan mereka bawa untuk menjadi dewasa.

Sangat disayangkan apabila hal ini tidak mendapat perhatian serius. Meskipun banyak kampanye feminis yang digaungkan, pada akhirnya masih banyak bibit-bibit yang berpotensi untuk menimbulkan diskriminasi seperti contoh siswa laki-laki sekolah tingkat dasar tersebut.

Memang, prediksi tersebut belum bisa dijadikan justifikasi karena masih banyak kemungkinan untuk para siswa sekolah tingkat dasar mengenal adanya kesetaraan. Tetapi apabila hal ini mau digarap secara serius mengapa tidak dilakukan sejak dini untuk membentuk mindset yang benar mengenai adanya kesamaan kedudukan antara perempuan dengan laki-laki dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Analogi sama seperti yang tengah digarap pemerintah melalui kebijakan Kurikulum 2013, yang menginginkan generasi Indonesia mendatang mempunyai mental dan karakter yang sesuai dengan implementasi nilai-nilai Pancasila.

Target dan sasaran yang dituju memang mulai dari siswa sekolah tingkat dasar, mengingat karakter pemikiran mereka yang kondusif untuk penanaman nilai-nilai luhur bangsa serta usia dini merupakan usia yang tepat untuk mendapatkan arahan dan bimbingan sebagai bekal mereka. Jadi apakah masih dianggap berlebihan apabila ada usulan mengenai pendidikan yang mengajarkan tentang feminisme?

Melihat probabilitas lain, apabila pendidikan tentang feminisme diajarkan, maka target kita tidak hanya menyadarkan siswa perempuan tetapi juga siswa laki-laki. Selama ini sudah menjadi penilaian yang umum apabila pelaku diskriminasi adalah laki-laki. Para feminis selama ini hanya bisa menyalahkan laki-laki dalam gerakan kesetaraannya.

Tanpa disadari hal tersebut akan lebih efektif apabila mau mengajak para laki-laki untuk turut mengambil peran. Karena pemahaman yang lebih dalam akan memudahkan kesadaran untuk terbit daripada tindakan-tindakan yang tujuannya seolah-olah ingin memarginalkan laki-laki juga.

Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang mempunyai beberapa tanggung jawab tidak hanya sebatas pada fungsi edukasi melainkan juga tanggung jawab moral untuk membimbing serta mendidik.

Karakter siswa diharapkan tidak hanya menjadi pelajar yang berkarakter atau terdidik, namun hal-hal kecil yang seringkali terabaikan adalah untuk memaknai lebih dalam seperti apa feminisme, diletakkan pada bagian mana, serta bagaimana menempatkannya pada kehidupan sehari-hari.

Intensitas interaksi perempuan dan laki-laki merupakan hal yang sering dilakukan, dan proses interaksi tersebut akan menimbulkan sikap-sikap yang berpotensi untuk menimbulkan diskriminasi apabila tidak melalui kesadaran dan pemahaman yang dalam.

Bentuk pendidikan feminisme pun bisa bervariasi tergantung objek dan tujuannya. Bisa saja feminisme diterapkan sebagai salah satu mata pelajaran wajib di sekolah. Tujuan yang sama seperti pemerintah Irlandia baru-baru ini menerapkan mata pelajaran mengenai ateisme di sekolah-sekolah.

Harapan generasi muda mereka tidak tertutup dengan dogma-dogma agama serta budaya, serta menghindarkan adanya bentuk-bentuk radikalisme agama. Begitu pula dengan pendidikan feminisme, bukan dengan tujuan memarginalkan peran-peran laki-laki. Siswa-siswa juga dikenalkan dengan apa yang seharusnya menjadi sikap mereka ketika memperlakukan sesama manusia.

Memang di beberapa mata pelajaran seperti pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan ataupun ilmu-ilmu sosial juga menyelipkan nilai-nlai tersebut. Namun, kadar untuk memberikan suatu konsepsi akan pemahaman masi belum jelas dan tegas mengenai pentingnya kesetaraan antar gender, juga belum menunjukkan usaha yang maksimal untuk memberikan edukasi mengenai feminisme.

Belajar dari tipe kurikulum pendidikan radikal, bukanlah hal yang sulit lagi untuk dilakukan tanpa menghilangkan budaya ketimuran Indonesia. Harapan penulis masih terbatas pada pemahaman siswa akan  peran gender yang tidak akan membatasi ruang gerak perempuan pada fase kehidupan selanjutnya.

Sehingga tidak akan  ada lagi perasaan miris bahwa perempuan masih mendapatkan dorongan, semisal dalam dunia politik yang masih identik dengan dunia maskulin. Bisa saja dilakukan penghapusan terhadap Kementerian Pemberdayaan Perempuan atau Undang-Undang tentang batas minimal kuota perempuan untuk representasi, karena perempuan akan terbiasa dengan sendirinya melakukan hal-hal yang selalu didominasi oleh pria secara kuantitas maupun kapabilitas.  

Bukan hanya dalam angan-angan yang utopis apabila para feminis menginginkan adanya pengurangan dominasi dari laki-laki, karena kelak ada suatu generasi dengan gelombang pemikiran yang baru mengenai gender.

Status quo: Including Religion Based School

Para feminis menganggap beberapa agama merupakan salah satu aktor utama dalam marginalisasi perempuan. Beberapa nilai agama ada yang tidak membolehkan untuk perempuan menjadi pemimpin, kemudian adanya larangan perempuan untuk beribadah ketika dalam masa menstruasi, dan masih banyak contoh lain yang menjadi keprihatinan tersendiri bagi para feminis.

Di Indonesia khususnya banyak sekolah-sekolah yang berdiri atas yayasan agama, khususnya agama Islam yang menjadi dominan pada masyarakat Indonesia. Hal ini bisa dikategorikan sebagai tantangan untuk menerapkan pendidikan feminisme pada sekolah-sekolah berbasis agama.

Agama saja sudah mampu menempatkan masyarakat pada dogma-dogma yang praktis memunculkan suatu tatanan dalam struktur sosial masyarakat dalam level gender. Bagaimana kesadaran tentang kesetaraan bisa tumbuh, selama ini belum pernah penulis tahu mengenai perempuan yang pernah menjadi tokoh agama. Mulai dari kiai, pastor, pendeta, bhiksu hingga wasi.

Bisa dibayangkan bagaimana hal ini ditonjolkan dalam porsi yang lebih pada pendidikan agama di sekolah berbasis agama tersebut. Para feminis masih memerlukan adanya kesadaran untuk menerapkan fungsi pendidikan feminisme dalam sekolah, khususnya sekolah-sekolah berbasis agama Islam.

Memang akan muncul reaksi yang tak kalah fenomenal khususnya dari masyarakat. Ini juga akan menyangkut teknis yang akan dipermasalahkan seperti pro dan kontra pada kebijakan kurikulum 2013 kemarin, tetapi masih saja dilaksanakan sesuai apa yang menjadi garis kebijakan eksekutif karena pertimbangan arah kualitas pendidikan.

Apa yang menjadi perjuangan yang mendasari pergerakan juga sudah disadari tidak mudah dan belum membawa hasil yang signifikan. Terbukti masih adanya kasus kekerasan dalam rumah tangga, diskriminasi dalam urusan profesi, atau kadar pengakuan terhadap keunggulan yang dimiliki oleh perempuan.

Bukankah yang menjadi tantangan pada akhirnya juga pola pikir masyarakat juga, khususnya di Indonesia yang sarat akan budaya patriarki.

Harapan masih tetap ada karena implementasi juga bersifat dinamis mengikuti perkembangan zaman yang terus menuntut adanya modernisasi. Bukan bermasud menyandingkan feminisme sebagai gerakan mengubah budaya, namun keinginan untuk lebih mengutamakan kesetaraan yang menjadi fokus utama pada akar rumput. Salam kesetaraan!