Izinkan saya menyampaikan sedikit kritikan terhadap pendidikan kita dan sedikit memberikan gagasan perbaikan walaupun itu hanya sedikit sahaja.
Dewasa ini, banyak kejadian yang menyinggung hati ini, di mana banyak hal yang di luar nalar yang betul-betul terjadi yang kita bahkan anggap itu adalah hal mustahil terjadi. Yang merembes kepada permasalahan kemanusiaan dan bobroknya moralitas yang tidak mencerminkan "mencerdaskan kehidupan bangsa" sesuai amanat Undang-undang Dasar.
Mencerdaskan kehidupan bangsa tak lain adalah suatu konflik batin yang dipikirkan jauh-jauh hari oleh founding father kita (Indonesia) yang memikirkan bahwa bangsa ini yang sudah lama terjajah oleh bangsa lain harus mampu berdiri di atas kaki sendiri; Berdikari-. Maka butuh suatu perjuangan radikal untuk itu. Yakni lagi-lagi: mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dalam melihat sejarah penjajahan bangsa lain atas bangsa kita, satu hal yang selalu terlewatkan dan bahkan kita tidak pernah fokus dalam menanggapinya, yakni pengajaran yang diberikan oleh bangsa kolonial kepada orang-orang pribumi, melalui politik balas budi.
Pemerintah kolonial memberikan sarana dan pengajaran kepada segelintir bangsa kita (yakni anak bangsawan dan pejabat). Namun, itu tidak dilihat sebagai sebuah sedikit cahaya, namun sebuah langkah licik dari kolonial agar pribumi merasa disejahterakan. Inilah sekelumit respon yang seharusnya bisa menjadi awal untuk melawan kebodohan karena kurangnya pendidikan.
Berangkat dari situlah, kemudian pendidikan masuk kepada bangsa kita, yang dimulai pada 1901 lewat politik etis itu. Walaupun menggunakan kasta dalam memberikan pengajaran, setidaknya kolonial bisa memberikan itu, tidak hanya merampas saja. Dan inilah sedikitnya bisa dimanfaatkan oleh bangsa kita untuk mendidik dirinya sendiri yang kemudian hari dijadikan sebagai alat untuk melawan.
Kemudian ketika merujut kembali hari ini, pendidikan kita pada hari ini, apakah layak dikatakan sebagai bangsa yang merdeka ketika masih ada anak-anak yang tidak sekolah? anak-anak yang mencari nafkah? yang diusia-usia seperti itu seharusnya masih harus tertawa di ruang kelasnya dikarenakan gurunya yang harmonis. Lucu memang.
Ketika masih ada penampakan menyeramkan ketika seorang anak harus berada di lampu merah; apakah jual koran, jual mainan, dan sebagainya; yang dikemudian hari kita tahu bahwa orang tuanya lah yang paksa anaknya untuk bekerja; kalau tidak mau bekerja, siap-siap kena pukul.
Anak itu adalah aset bangsa. Bapak ibu yang duduk di kursi pengambil kebijakan tidak kah mereka tau bahwa dia sendiri akan pergi/tergantikan? tidak kah mereka berfikir bahwa generasi itu amat penting? anak-anak itulah yang kemudian menjadi pengganti kalian. Tapi masih tegakah? perut buncit, makan enak, dan jauh dari kata miskin; melihat masih banyak diluaran sana yang masih tak bersekolah, akses pendidikan sulit, dan tidak ada masa depan. Uang triliunan habis, tapi pemerataan seolah tidak pernah manjamu di negeri kita. Miris!
Ini bukan soal siapa dan bagaimananya; tapi apakah bisa kita berpikir sejenak, bahwa pendidikan adalah pondasi dasar dari sebuah peradaban. Moralitas bobrok, dan generasi yang rusak, adalah buah dari pendidikan yang tidak konsentrasi dan konsisten.
Tidak konsentrasi karena pendidikan yang ditawarkan adalah mencari nilai bukan mencari jati diri, menyamakan otak anak-anak yang notabene berbeda, memaksakan untuk sama. Dan tidak konsisten, karena setiap pergantian pengambil kebijakan, kebijakan pun berubah total. bukan melanjutkan dan memperbaiki yang sudah ada.
Pendidikan bukan berarti hanya sekedar mengajar saja. Mengajar Matematika, IPA, IPA, Bahasa, Seni dan Olahraga, dll, yang banyak memberikan pengertian, definisi, contoh dan selesai. Bukan pada ranah apa pentingnya dipelajari itu semua, apa dampaknya bagi kehidupan kita. Jadi seberapa banyak pun pelajaran masuk, ujung"nya lebih banyak yang terlupakan.
Seperti kata guru saya "Belajar hanya untuk melupakan", karena esensi dari pelajaran itu tidak diberikan. Makanya kenapa saya kemudian katakan, pendidikan kita hanya bertumpu pada nilai ujian, ulangan, dan lembar" nilai, tapi melupakan yang namanya "arti" itu.
Kita dikasi ujian soal 1+1 berapa? kita jawab 2. ya selesai. itu saja. Bukan diberi penjelasan, kenapa harus diberi soal 1+1, dan kenapa harus 2 jawabannya. Makanya kemudian anak IPS bingung, tujuannya belajar matematika apa, tujuan belajar kimia apa, dll.
Begitu pun sebaliknya. Karena pendidikan kita itu, memaksakan masuk, bukan menawarkan masuk. Jadi, ketika semua dipaksa masuk, ya ujung"nya tidak ada yang masuk, karena wadah untuk menampung susah menerima semua. Beda semisal kalau ditawarkan sembari diberi penjelasan.
Jadi, kerangka berpikir pendidikan kita harus diperbaiki dari hulunya; dalam artian dikonsepkan secara matang. Jadi ketika hulu sudah matang, hilirnya juga akan baik. Terencana dan terukur.
Kita sekarang berfokus hilir nya, jadi belum apa" sudah mikir hasil. Banyak kejadian, anak baru masuk SMP, sudah dimasukkan ke pelajaran tambahan, yakni les di luar sekolah. Katanya untuk persiapan ujian nasional 3 tahun mendatang. Logikanya begini, kalau yang di dalam sekolah belum dipelajari ya buat apa belajar tambahan di luar.
Kehidupan bukan hanya sebatas pada teori saja di kelas, tapi butuh cakrawala pengalaman yang tidak akan ditemukan di dalam kelas. Belajar tidak hanya pada sebatas buku saja, tapi belajar memahami alam semesta beserta isinya, melalui pengalaman pribadi yang dilalui sendiri oleh indra kita.