Surat Edaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan No. 36962/MPK.A/HK/2020 tentang pembelajaran secara daring dan bekerja dari rumah dalam rangka pencegahan penyebaran Corona Virus Disease (Covid-19). Mendikbud mengimbau kepada tenaga pendidik maupun pelajar agar sistem kegiatan belajar-mengajar (KBM) diterapkan di rumah masing-masing dengan menggunakan metode daring.

Dalam penerapan belajar-mengajar ini, guru-guru dan siswa bisa lewat Video Call, maupun foto dan menentukan ada korelasi memanfaatkan beragam fitur aplikasi yang tersedia, dengan menggunakan perangkat elektronik seperti gawai maupun perangkat lunak (komputer).

Berangkat dari tulisan di atas, tentu kita apresiasi langkah Nadiem, tetapi bagi pendidikan di daerah 3T yang jauh dari pusat perkotaan sangat belum siap mengaplikasikan metode tersebut. Dengan berbagai keluhan dari tenaga pendidik dan peserta didik soal sarana pendukung yang kurang maksimal penyediaannya. Sepintas aktivitas belajar-mengajar dengan sistem daring (e-learning) boleh jadi solusi jitu saat ini guna memencilkan pandemi Covid-19. Akan tetapi, terdapat banyak hambatan-hambatannya.

Beberapa hari lalu, saya beranggar pikiran dengan guru di sekolah tempat saya dulu menempuh pendidikan dasar. Tentang bagaimana menyikapi imbauan pemerintah soal pendemi ini dan penerapan kegiatan belajar-mengajar berbasis daring? Dari hasil diskusi, ada beberapa hal yang krusial akan saya jelaskan.

Berbicara soal pendidikan di negara ini, tiada hentinya menuai perbalahan. Bahkan jauh sebelum pendemi Corona ada di Indonesia. Pendidikan di pusat-pusat kota itu belum bisa disamakan dengan kualitas pendidikan di daerah terpencil. Kualitas fisik sekolah-sekolah di daerah tertinggal, sarana prasarananya sangat menggodot hati. Apalagi menyoal belajar-mengajar metode daring atau penerapan pembelajaran jarak jauh.

Pertama, perkara kapasitas jaringan internet yang sangat minim dijangkau. Perlu diketahui, tidak semua titik daerah itu mempunyai akses jaringan internet. Hal ini, bukan masalah baru bila ingin dijelaskan lebih jauh. Tidak bisa dipungkiri, di era industri 4.0 ini seperti teknologi, informasi, dan komunikasi berpengaruh signifikan untuk menopang keperluan pendidikan.

Karena itu, tak heran banyak masyarakat yang bertempat di daerah terpencil minim akan pengetahuan teknologi maupun informasi-informasi terbaru.

Kedua, tidak semua peserta didik itu memiliki perangkat elektronik, seperti peranti komunikasi berbasis android (gawai) dan perangkat lunak lainnya (komputer) dikarenakan keterbatasan kebutuhan. 

Dengan metode belajar-mengajar jarak jauh yang mungkin saja berlangsung sampai kedepannya hingga waktu yang belum ditentukan, mau tidak mau orang tua peserta didik dengan keadaan terpaksa menggali pundi-pundi rupiah bilamana anaknya menuntut dalam pengadaan inventarisasi (Hp/komputer). Belum lagi kuota internet/kartu prabayar kian melambung harganya di tengah-tengah akses jaringan yang hanya di tempat-tempat tertentu bisa terjangkau.

Belajar dari rumah bukan berarti liburan, belajar sistem daring bukan berarti semua mata pelajaran diganti dengan tugas? bayangkan, bila disetiap siswa punya mata pelajaran yang banyak dan tiap mata pelajaran diganti tugas semuanya, lama-lama siswa mati bukan karena inveksi Covid-19, tapi mati karena tugas yang amat menumpuk.

Saya punya tetangga, dengan anak 2 yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Katanya, guru memberikan deadline tugas yang kemuian harus dikirim melalui E-mail. Sedangkan gawainya hanya satu, itupun masih memakai jaringan GSM. Alhasilnya, tetangga saya ini kewalahan yang anaknya harus ganti-gantian ngerjain tugas.

Terus terang, kalau memang guru ingin memberi tugas pada siswa, cukup diberikan saja, dikumpulnya saat masuk sekolah nanti, karena kalau siswa dibebankan dengan tugas, kasian mereka yang keterbatasan ekonomi. 

Faktanya juga, terdapat banyak di daerah pedesaan atas imbauan guru untuk belajar di rumah. Anak-anak malah tetap bersuka riah menggunakan waktu liburnya untuk bermain. Tenaga pengajar juga tidak bisa berbuat banyak untuk memaksa siswa memiliki gawai/komputer sebagai media belajar-mengajar.

Ketiga, Tenaga pendidik (guru) yang masih minim pengetahuan soal teknologi. Seperti mengotak-atik perangkat lunak (komputer) maupun gawai berbasis android. Akibatnya, bila keadaan terpaksa guru dituntut menerapkan metode kelas daring, siswa kadang gagal memahami konsep ajaran guru. 

Soal pelaksanaan pembelajaran formal atau metode tatap muka, kita akui bahwa tenaga pendidik atau guru itu tidak bisa diragukan kemampuannya. Akan tetapi, dalam menerapkan konsep pembelajaran berbasis daring, kebanyakan tenaga pendidik atau guru masih gagap teknologi (gaptek).

Pada abad sekarang, tenaga pendidik diharuskan menyesuaikan diri dengan teknologi masa kini. Hal ini, menjadi salah satu PR bagi pemerintah kedepannya untuk mengadakan pendidikan dan pelatihan teknologi bagi tenaga pendidik atau guru, terutama yang mengabdi di daerah Desa terpencil, karena esensinya guru diwajibkan mempersiapkan diri sedini mungkin guna menuntut era modern demi kemajuan pendidikan. Dengan itu, siswa lebih  intens dan menumbuhkan kreativitas dalam pembelajaran.

Tetapi keadaan yang genting ini, di tengah-tengah gencarnya pandemi Covid-19, sukar atau tidak mungkin metode belajar jarak jauh tetap dipatuhi. Meskipun, kita akui dalam implementasinya masih kurang efisiensi. Namun, bukan berarti peserta didik terlalu dipaksakan menunaikan pola atau metode yang dicanangkan pemerintah.

Kita berharap kedepannya, setelah berakhirnya pandemi yang menimpah negeri ini, pemerintah mampu menyelaraskan pancuran zaman pembaruan yang kian pesat dan dinamis di tengah-tengah kondisi ekonomi, utamanya penduduk-penduduk desa yang cenderung homogen. Serta besar harapan, Menteri Mas Nadiem bisa bernusantara di sudut-sudut Ibu Pertiwi, agar paham, betapa terbatasnya sarana dan prasarana pendidikan.

Salam!!!