Pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting dalam meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul. Manakala suatu negara memiliki sumber daya manusia yang berkualitas maka akan memengaruhi pula terhadap kualitas negara tersebut.
Pendidikan dapat diartikan sebagai upaya untuk mengembangkan dan menggali potensi diri tiap individu sehingga harapannya dapat menjadi Insan yang cerdas, beradab dan berbudaya.
Di negara kita pendidikan menjadi hak setiap warga negaranya, seperti yang tertuang dalam UUD pasal 28C yang berbunyi, “setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”. Pemberian pendidikan terhadap warga negara dilakukan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Suatu negara yang memiliki pendidikan baik mampu mencetak individu warga negara yang berilmu dan berpengetahuan luas, sehingga menjadikan negara yang ditempatinya menjadi berbudaya dan maju.
Namun sebaliknya, negara akan lemah, stagnan bahkan tertinggal jika tidak didukung dengan pendidikan yang baik pula. Maka tidak mengherankan jika dulu negara kita dijajah oleh imperialis sampai berabad-abad lamanya, hal itu dikarenakan pendidikan tidak banyak menyentuh masyarakat Indonesia yang menyebabkan perbedaan cukup jauh terhadap kualitas manusianya. Ya, bagaikan raksasa di hadapan kurcaci.
Indonesia pernah dijajah oleh Belanda selama tiga setengah abad, kemudian tak lama setelah itu Jepang datang menjajah tiga setengah tahun lamanya. Dalam kurun waktu tersebut semua kekayaan bumi bahkan rakyat Pribumi di kuasai dan dieksploitasi oleh kolonial dan kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan negaranya. Negeri yang kaya akan sumberdaya alam namun miskin sumber daya manusia yang baik, menjadi sasaran empuk bagi kolonialis. “Indonesia adalah negeri budak. Budak diantara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain”, begitulah yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya yang berjudul “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels”.
Untuk bisa terbebas dari belenggu penjajahan kala itu, dibutuhkan masyarakat yang cerdas dan mempunyai pemikiran yang visioner seperti tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia. Mereka adalah orang-orang terpelajar atau berpendidikan yang banyak mencurahkan tenaga dan pikiran demi Indonesia, tak hanya itu mereka juga mau bergerak dan menggerakkan.
Maka tak heran jika merekalah yang menjadi pionir pergerakan dan mempunyai militansi tinggi terhadap kemerdekaan Indonesia. Bersama mereka memasuki pintu kemerdekaan yang diimpikan seluruh masyarakat Indonesia.
Namun pernahkah terlintas dipikiran kita dari manakah tokoh pergerakan Indonesia mengenyam pendidikan? Bagaimana para tokoh pergerakan ini mencari pendidikan? Dan bagaimana mereka berusaha mencerdaskan kehidupan bangsa saat itu?
Pendidikan Zaman Kolonial Hindia Belanda
Pada abad ke-17 dan ke-18 pendidikan dikelola oleh VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie), salah satunya untuk mewujudkan misinya dengan motto yang terkenal yaitu Kekayaan (Gold), Kejayaan (Glory), dan menyebarkan agama (Gospel). Untuk mewujudkan misi ketiga didirikanlah sekolah-sekolah yang melekat basis keagamaan sebagai upaya menyebarkan kepercayaan yang dibawanya. Kemudian didirikan sekolah di Batavia yang berbasis agama Kristen dengan kemampuan mempelajari Bible, dan ajaran Kristiani lainnya.
Selain pendidikan berbasis Kristen, pada masa itu sebenarnya sudah ada pendidikan tradisional, yaitu pendidikan agama Islam yang tidak tersentuh oleh VOC. Pendidikan agama Islam kala itu diselenggarakan oleh masyarakat dengan mendirikan pesantren, sekolah, dan tempat latihan-latihan lain.
Pendidikan berubah setelah VOC bubar pada tahun 1799, yang mana kebijakan mengenai pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah kolonial Hindia Belanda. Tepatnya pada tahun 1989 Van Deventer mengungkapkan gagasannya dalam artikel yang terbit dalam majalah De Gids mengenai Politik Etis sebagai kelanjutan pendidikan pada zaman VOC.
Politik Etis atau Politik Balas Budi kemudian di tanggapi dan diresmikan oleh Ratu Wilhelmina pada tahun 1901 sebagai bentuk tanggung jawab moral atau hutang budi pemerintah Hindia Belanda terhadap Pribumi Indonesia. Politik Etis bisa dianggap sebagai awal kondisi yang membukakan kesadaran berbangsa bagi rakyat Indonesia.
Terdapat tiga kebijakan Politik Etis yang terangkum dalam program Trias Van Deventer yaitu: 1) Irigasi, membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian. 2) Migrasi, yakni mengajak penduduk untuk bertransmigrasi, dan 3) Edukasi, yakni memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan.
Pelaksanaan politik etis oleh Belanda banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pegawai Belanda, hal itu dikarenakan Belanda menaruh kepentingan di atas politik etis. Pram dalam bukunya Anak Semua Bangsa mengatakan bahwasannya Politik Etis hanya dalih semata untuk membalas budi pada Indonesia karena tanam paksa dulu.
Semua gagasan mengenai Politik Etis digunakan untuk kepentingannya sendiri, kemakmuran bangsa Belanda.
Politik balas budi hanya nama belaka, tidak ada balas budi di dalamnya, semuanya dilakukan untuk kepentingan pemerintah kolonial Belanda. Irigasi dilakukan untuk memperbaiki tanah-tanah dan pertanian mereka. Migrasi dilakukan untuk mendapatkan lahan yang lebih besar lagi untuk keperluan industri dengan mengirim penduduk ke perkebunan Belanda untuk dijadikan tenaga kerja.
Dan edukasi diberikan untuk mengisi bagian tenaga kerja yang diperlukan, baik tenaga perusahaan, pertanian, pertambangan, maupun pemerintahan.
Walaupun demikian Indonesia diuntungkan dalam poin ketiga politik etis tersebut yaitu edukasi. Banyak sekolah-sekolah didirikan sehingga masyarakat bisa mencari pendidikan disekolah itu.
Sekolah yang didirikan dan dirasakan banyak masyarakat Indonesia seperti Eurospeesch Lagere School (ELS), dan Hollandsch Inlandsche School (HIS) yang merupakan sekolah dasar dengan masa pendidikan 7 tahun.
Terdapat sekolah menengah seperti Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), Algemeene Middelbare School (AMS), dan Hoogore Burgerschool (HBS), Schakel School (sekolah rakyat) sekolah dengan masa pendidikan lima tahun, kemudian dari sekolah rakyat beralih ke Vervolg School (sekolah sambungan).
Kemudian ada pula sekolah tinggi Teknik (Technische Hoogeschool), sekolah tinggi kedokteran yang bernama School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA), dan sekolah tinggi Hukum (Recht Hoge School).
Pendidikan yang didapatkan masyarakat Indonesia merupakan awal pembuka cakrawala ilmu pengetahuan, sehingga dapat melihat dunia dengan lebih luas dan melepas belenggu-belenggu kebodohan menuju perbaikan kualitas rakyat Indonesia.
Dari pendidikan kolonial lahirlah para tokoh pergerakan nasional yang berilmu dan cerdas yang bersedia memperjuangkan nasib kemerdekaan. Ilmu yang mereka dapatkan bukan hanya untuk konsumsi diri melainkan diajarkan dan disebarluaskan kepada masyarakat Indonesia salah satunya melalui pendirian sekolah, seperti Sekolah Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara.
Tujuannya tak lain adalah dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Mereka sepeti halnya yang dikatakan Abdullah Gymnastiar “Orang berilmu pengetahuan ibarat gula yang mengundang banyak semut. Dia menjadi cahaya bagi diri dan sekelilingnya”.
Untuk bisa menjajah seperti kolonial dibutuhkan ilmu, dan untuk dapat lepas dari kungkungan penjajahan dibutuhkan pula ilmu, begitupun jika ingin mendapatkan perubahan yang baik dibutuhkan ilmu juga, namun ilmu dari tangan seorang yang berbudi. Begitu sangat diharapkan seorang yang berilmu kemudian berakhlak baik pula, dengan begitu ia dapat menggunakannya bukan untuk menjajah dan menindas tetapi untuk kebermanfaatan bersama.
Dengan modal ilmu lah terbuka kesadaran masyarakat, melenyapkan segala kegelapan menuju cahaya kemerdekaan Indonesia.
Pendidikan dari zaman kolonial, kemerdekaan, sampai reformasi sekarang ini harus terus dikembangkan dan diperbaiki. Perbaikan kualitas pendidikan dimaksudkan agar baik pula kualitas sumber daya manusia. Ketika kualitas manusia baik maka baik pula kualitas suatu negara, dan apabila kualitas negara baik tidak menutup kemungkinan akan dapat mengubah dunia. “Pendidikan adalah senjata yang sangat mematikan, karena lewat pendidikan maka kamu akan bisa mengubah dunia” Nelson Mandela.