Perkawinan bisa membuat pasangan yang telah dimabuk asmara sah untuk selalu bersama dari mulai membuka mata hingga kembali menutup mata tanpa siapa pun bisa menganggu. Namun, bila pasangan yang kawin adalah muda-mudi yang masih berusia di bawah ketentuan, apa jadinya?
Menurut UU No. 16 Tahun 2019 tentang perkawinan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun. Peraturan ini telah mengalami perubahan sebelumnya dari UU No. 1 Tahun 1974 yang menyebutkan bahwa usia wanita menikah adalah mencapai usia 16 tahun.
Meski masih bisa mengajukan dispensasi ke pengadilan agama, namun apa sebenarnya hikmah dari pendewasaan usia perkawinan?
Perkawinan bukanlah tentang hari ini saja, tapi tentang hari esok, esoknya lagi, lagi dan lagi. Sepasang pria dan wanita yang telah sah menjadi pasangan suami-istri tentu berharap pernikahannya langgeng sampai maut memisahkan. Namun perjalanan hidup bersama seseorang untuk selamanya tidaklah mulus seperti prosotan TK, bukan? Pasti akan ada konflik di dalamnya, entah besar maupun kecil. Maka, kedewasaan berpikir dan menyikapi persoalan dibutuhkan untuk mencegah konflik yang berujung pada perceraian.
Bila perkawinan bisa terjadi karena cinta, tidak begitu dengan perceraian. Perceraian di Indonesia per tahun 2019 mencapai angka 480.618 kasus. Angka ini sudah tumbuh dari tahun sebelumnya, yaitu 444.358 kasus. Bahkan tidak menutup kemungkinan tahun ini juga akan mengalami kenaikan.
Faktor tertinggi yang mendasari terjadinya perceraian bukan karena sudah tidak saling cinta, rasa cinta yang hilang atau ada cinta yang lain, tapi masalah ekonomi.
Salah satu dampak dari pandemi Covid-19 di Indonesia adalah banyak perusahaan mengalami krisis yang berimbas pada tingginya angka pemutusan hubungan kerja (PHK). Hal ini tentu sangat memengaruhi kondisi ekonomi keluarga para pekerja yang ter-PHK. Masalah ekonomi keluarga yang sulit lagi-lagi menjadi alasan tertinggi penyebab perceraian.
Sebelum PSBB (bulan April-Mei), perceraian di Indonesia masih berada di angka 20.000 kasus, namun mengalami peningkatan yang tajam menjadi 57.000 kasus pada Juni dan Juli dengan 80 persen penggugatnya adalah pihak istri. Ini menunjukkan bahwa dalam perkawinan tidak hanya tentang cinta atau tidak cinta, namun juga kesiapan dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah yang muncul selama perkawinan.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 25 tahun 2014, remaja adalah penduduk dalam rentang usia 10-18 tahun. Di masa ini, pertumbuhan dan perkembangan manusia sedang pesat-pesatnya, tidak hanya secara fisik tapi juga secara psikis dan intelektual.
Keingintahuan yang besar, menyukai tantangan dan petualangan, cenderung berani mencoba segala hal tanpa pertimbangan adalah kekhasan remaja. Oleh sebab itu, remaja mudah terlibat masalah yang tidak hanya berakibat untuk jangka pendek, tetapi juga jangka panjang.
Seorang remaja bisa jadi tampak dewasa, namun sesungguhnya belum matang benar. Secara fisik mereka masih dalam masa pertumbuhan, sehingga bila memutuskan menikah bisa berdampak pada kesehatan fisik mereka.
Salah satu contohnya, bila seorang remaja perempuan yang telah menikah lalu hamil, maka kebutuhan gizi mereka dua kali lebih besar dari seorang perempuan dewasa yang hamil. Mengapa? Sebab seorang remaja yang hamil membutuhkan gizi untuk pertumbuhan dirinya sendiri juga pertumbuhan janinnya. Bila pemenuhan gizi kurang dari yang dibutuhkan, maka akan berakibat gangguan pertumbuhan di antara keduanya.
Secara intelektual, usia remaja masih dalam rentang usia sekolah, maka sebaiknya masa ini dimanfaatkan secara maksimal untuk belajar, bukan untuk memikirkan masalah rumah tangga.
Lagi pula, tingkat pendidikan dapat memengaruhi kondisi ekonomi seseorang. Sebagai contoh, seorang remaja lulusan sekolah menengah atas (SMA) bila dibandingkan dengan seorang remaja lulusan sekolah menengah pertama (SMP). Bila keduanya diterima pada suatu perusahaan yang menentukan gaji dan posisi berdasarkan ijazah yang dimiliki, maka gaji dan posisi remaja lulusan SMA akan lebih tinggi dari gaji remaja lulusan SMP. Kondisi ekonomi remaja lulusan SMA tentu juga lebih baik dari remaja lulusan SMP.
Dari sisi psikis, remaja belum mampu mempertimbangkan baik dan buruk akibat dari tindakan mereka, juga belum memiliki kestabilan emosi. Bisa jadi hal yang mereka sukai saat ini, beberapa waktu kemudian mereka tinggalkan seakan tidak pernah terjadi hanya karena alasan bosan. Masalah yang kecil dan sepele bisa jadi besar dan rumit menurut mereka karena tidak sabar menemukan jalan keluar, bahkan salah dalam mengambil keputusan. Bagaimana bila remaja yang masih memiliki kekhasan tersebut memutuskan untuk terikat perkawinan?
Keputusan pemerintah untuk mendewasakan usia perkawinan bukan untuk melarang kawin pasangan yang telah saling mencintai. Sebab, perkawinan seharusnya menjadi ikatan yang menciptakan hubungan penuh kasih sayang, dan mencetak generasi-generasi masa depan yang cemerlang.
Jangan sampai karena pelakunya masih berusia sangat muda kemudian perkawinan menjadi ikatan penuh konflik yang melahirkan generasi-generasi terlantar akibat orang tuanya sibuk dengan diri masing-masing. Jangan sampai perkawinan yang didasari rasa cinta, dicita-citakan hanya dapat dipisahkan oleh maut, malah kandas oleh ketok palu hakim di pengadilan agama.