Diawali dengan sikap pesimis saya untuk membaca buku rekomendasi salah satu rekan saya, "I'm not a dude nor searching for meaning, why I need to read this?" kata saya. Namun setelah membaca buku ini, saya baru memahami bahwa makna "man" bukan merujuk pada gender, melainkan kepada human atau manusia itu sendiri. 

Viktor E.Frankl, bagi sebagian orang yang mendalami ilmu psikologi pasti sudah tidak asing lagi dengan namanya. Seorang psychiatrist yang mengalami siksaan begitu berat dalam kemah Nazi. Dari buku ini, saya baru menyadari bahwa manusia modern dapat ditekan mundur menjadi primitif ketika menghadapi berbagai tekanan.

Kehidupan Frankl di dalam kamp konsentrasi ini sangat tidak normal. Dikisahkan bahwa dia tinggal di dalam penjara yang sangat sesak sehingga tidak ada ruang lagi untuk berbaring bahkan duduk. Suara bising mesin atau teriakan dari tahanan yang tersiksa karena tidak mengikuti aturan. Bau tidak enak yang menyeruak dari mayat-mayat tahanan yang belum dibakar dan dari kaki-kaki tahanan yang masih hidup namun perlahan membusuk karena jamu. 

Namun di setiap pagi tanpa istirahat yang nyaman, Frankl dan para tahanan lainnya mendapatkan energi untuk bekerja di tengah badai salju atau menggali terowongan hanya dengan sarapan sup air ditambah tiga kacang polong. Bagaimana bisa?

Frankl menjawab pertanyaan saya. Semua ketidaknormalan itu bisa menjadi "normal".

Dalam buku ini, Frankl mengkategorikan tiga tahapan kehidupan para tahanan dalam kamp, Shock and Denial; Apathy, and; Liberation.

Tahap pertama, shock and denial. Pada tahapan ini, tahanan menolak menerima keadaan bahwa mereka tidak lagi hidup secara bebas. Kesadaran bahwa mereka sudah menjadi tahanan Nazi akan datang seiring waktu melalui berbagai macam proses. 

Frankl menjelaskan salah satunya adalah saat tahanan melihat keluarganya dibawa masuk ke ruangan gas beracun, atau hingga akhirnya mereka menemukan mayat keluarganya ditumpukan mayat yang harus mereka bakar. Pada titik tersebut, si tahanan akan mulai sadar dan "menerima" keadaan hingga akhirnya masuk ke tahap kedua.

"Apathy, the blunting of the emotions and the feeling that one could not care any more"

Kedua adalah perasaan apathy akan terus meningkat, seiring semakin memburuknya keadaan dan perasaan para tahanan. Frankl menggambarkan bagaimana tahanan-tahanan yang baru akan bersikap simpati dan marah saat melihat mayat-mayat tahanan yang diseret dan dibakar begitu saja atau melihat tahanan yang akan menjalani hukuman mati. 

Seiring waktu, rasa apathy akan muncul dengan timbulnya rasa lega bahwa bukan mereka yang sedang diseret menuju pembakaran atau ditarik ke ruang gas beracun.

"Well, another day is over."

Tahapan terakhir adalah saat para tahanan menuju kebebasan atau liberation. Bukannya itu mudah? Maksud saya, para tahanan akhirnya dapat hidup bebas dan bahagia setelah sekian lama terpenjara dengan kondis yang sangat mengenaskan. 

Sementara para tahanan bisa beradaptasi dengan kesulitan, mengapa mereka bisa sulit berdaptasi dengan kebahagiaan? Frankl menjelaskan dalam bukunya, tidak mudah bagi para tahanan untuk dapat melewati kondisi ini.

But we limped on; time with the eyes of free men. “Freedom” – we repeated to ourselves, and yet we could not grasp it. We had said this word so often during all the years we dreamed about it, that it had lost its meaning. Its reality did not penetrate into our consciousness; we could not grasp the fact that freedom was ours.

Sebelum masuk ke tahap terakhir, Frankl menyelipkan bagaimana para tahanan, termasuk dirinya, tetap mendapatkan kekuatan untuk terus bertahan. Dalam beragam potongan kisah kehidupan para tahanan, saya pribadi sangat menyukai bagaimana Frank merasakan "pancaran sinar matahari" yang menemaninya untuk menghadapi penderitaannya.

Love is the only way to grasp another human being in the innermost core of his personality. No one can become fully aware of the very essence of another human being unless he loves him. By his love he is enabled to see the essential traits and features in the beloved person; and even more, he sees that which is potential in him, which is not yet actualized but yet ought to be actualized. Furthermore, by his love, the loving person enables the beloved person to actualize these potentialities. By making him aware of what he can be and of what he should become, he makes these potentialities come true.

Menurutnya, cinta dapat membentuk sebuah inner spirit untuk dapat tetap kuat untuk menjalani hidupnya sampai akhirnya dia dapat memaknai hidupnya. Frankl mendapatkan kekuatan dengan melihat istrinya dalam ingatan, berbicara dengan istrinya seolah-olah istrinya berdiri di sampingnya saat dia tengah menggali terowonga. 

Rasa semangat timbul karena dia merasa seseorang masih membutuhkannya untuk hidup. Dia merasa bahwa dia akan menemukan istrinya kembali dalam keadaan hidup dan berbahagia selamanya.

“The truth-that love is the highest goal to which man can aspire.”

Para tahanan yang sudah bebas akan merasakan kebebasannya dengan melakukan segala hal yang tidak dapat mereka lakukan, dan mereka akan menjustifikasi tingkah mereka dengan pengalaman buruk mereka selama di tahanan. 

Frankl menjelaskan bahwa bitterness (rasa telah mengalami pengalaman yang sangat pahit) dan disillusionmnet (rasa kecewa terhadap apa yang sudah dialami atau terhadap apa yang dipercayai) adalah faktor-faktor yang dapat mengancam tahanan yang sudah bebas ini. 

Perasaan pahit ini, menurut hemat saya, adalah perasaan di mana mantan tahanan ini akan terus berpikir bahwa orang-orang di sekitarnya tidak pernah mengalami halsepahit yang dia rasakan. Misalnya, apabila ada orang yang mengeluh atau mengatakan "iya saya juga merasakan kesulitan yang kamu rasakan", mereka merasa hal tersebut nonsense atau pengalaman orang tersebut tidak berarti bagi mereka. Dengan kata lain, hanya mereka yang mengalami hal paling berat tidak orang lain.

Sedangkan perasaan disillusionment akan terjadi pada para tahanan yang mengira telah melewati masa penderitaan yang paling akut dalam hidupnya namun kenyataannya malah merasakan lebih banyak penderitaan di masa kebebasannya. 

Semangat batin untuk hidup dan pulang, diiringi dengan ingatan-ingatan manis bersama keluarga yang sebelumnya memberikan kekuatan untuk menjalani hidup di penjara, berbalik menjadi kenyataan pahit saat mendapati keluarganya sudah mati. Menghadapi kenyataan ini, mereka tidak lagi memiliki semangat untuk melanjutkan hidup mereka.

Frankl mengalami hal ini, setelah menghadapi kenyataan bahwa istrinya yang menjadi sumber kekuatannya di dalam penjara adalah hanya sebuah bayangan, dia mulai kehilangan arah. Untuk menghadapinya, Frankl kemudian kembali kepada dirinya dan dan mengungkapkan sebuah kekuatan yang lebih besar yang dia "takuti" yaitu Tuhan.

The crowning experience of all, for the homecoming man, is the wonderful feeling that, after all he has suffered, there is nothing he need fear any more – except his God.