Langka dan mahalnya minyak goreng masih menjadi gonjang-ganjing panas di seantero Indonesia. Membuat Bapak Kemendag dan para pengamat serta pemikir ekonomi jungkir balik menyelidiki penyebab dan mencari solusi masalah kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng ini.

Tapi sampai saat ini, minyak goreng masih seperti anak kecil yang sedang senang-senangnya main petak umpet! Ceruk pasarnya sudah berbulan-bulan hampa tak berpenghuni. Ibu-ibu resah dan galaunya sudah mencapai titik kulminasi. Mereka sudah tidak punya energi lagi untuk mengantri, berburu minyak goreng. 

“Sudahlah, ga usah dikejar-kejar, ada ya beli kalau mampu, ga ada ya biarkan saja!” ku dengar dari salah satu ibu yang sedang berbelanja di sebuah warung pagi itu. Dari bicaranya jelas tertangkap nada pasrah tapi gemas

“Betul, Jeng!” Timpal seorang ibu yang lain. “Wong ora seda makan nda pakai goreng-gorengan”. Nah, berpikir  lurus nih si ibu wong Jowo ini, pikirku sambil membayar pisang kepok untuk direbus sore nanti.

Untuk menyikapi dan menyiasati tragedi minyak goreng ini diperlukan kepala dingin dan kreatifitas, bukan hanya misah misuh! Resep makanan dengan proses memasak tanpa menggunakan minyak goreng, bertebaran di mana-mana dan sangat mudah diakses siapa pun. Tak sedikit dari sekte pemuja gorengan yang pada akhirnya dapat melakukan ini. Bertobat dari memuja gorengan!

Dan tidak sedikit pula dari mereka mengambil sisi positif dan  melambungkan harapan lain. Turun berat badan! Yes, mereka berpikir, langka dan mahal minyak goreng ini  dapat menjadi momentum menurunkan berat badan  bagi si overweight

Tapi terlalu receh rasanya jika untuk menurunkan berat badan, sekte pemuja gorengan,  hanya menerapkan diet  makan makanan yang digoreng. Bayangkan, sebuah atau dua buah tahu goreng ditambah dengan satu potong ayam goreng plus nasi, dibandingkan dengan pepes ikan, pepes tahu, sambal dan lalap plus nasi, menu mana yang akan membuat napsu makan sulit dikekang untuk tidak nambah porsi kedua??? Dan mungkin porsi selanjutnya! Wadaaw!! Ini belum bicara soal ikan bakar atau pepes ikan asin peda lho, si penggoda yang sulit diabaikan! Belum lagi ditambah dengan minumnya teh manis panas atau dingin, sedap!!

Permasalahan utama overweight adalah pola makan, bukan minyak gorengnya. Pola makan adalah cara yang ditempuh untuk memilih makanan dan mengkonsumsinya. Tiga komponen penting yang terdapat dalam pola makan adalah jenis, frekuaensi dan jumlah.

“Duh padahal sudah sebulan lebih saya stop makan goreng-gorengan, tapi berat badan ga turun-turun”. Keluhan seperti itu sering sekali dilontarkan, khususnya para perempuan. Walau bukan mitos, tapi tidak akan menjadi suatu pencapaian sesuai harapan, turun berat badan dengan cepat jika hanya diet makan makanan gorengan.  

Ketika saya masih sering mengikuti kejuaran tae kwon do antar perguruan tinggi di Jawa Barat, berat badan menjadi problema yang sering membuat stress di hari-hari mendekati pertandingan. Overweight dalam kejuaraan tae kwon do akan merubah kelas tanding yang akan diikuti. Kenaikan 2 kilogram menjadi petaka waktu itu. Dari 46 kg, seminggu menjelang tanding berat badan saya naik menjadi 48 kg. Tak sempat lagi menurunkan berat badan, tetap tanding di kelas  under 49 kg (46.01 – 49 kg) , tentu saja dengan sparing partner di luar target. Babak belurlah saya!

Kenaikan berat badan saya ketika itu bukan karena konsumsi makanan gorengan meningkat, tapi lebih diakibatkan pola makan saya yang lepas control.  Porsi latihan mendekati tanding biasanya masuk fase peaking, seiring dengan banyak energy yang dipakai,  mendorong rasa lapar saya sulit dikendalikan. Ketika makan, tak lagi memperhitungkan porsi yang masuk perut, atau berkali-kali makan carbo dalam porsi besar, demi memenuhi rasa lapar tersebut.

Seharusnya dalam keadaan seperti itu saya lebih memperhatikan jenis makanannya, yaitu jenis makanan yang mengandung tinggi serat, agar kenyang lebih lama. Sehingga dengan begitu frekuensi dan jumlah makanan yang dikonsumsi terkontrol sesuai dengan pola makan yang diterapkan.

Pun ini terjadi pada salah seorang teman di komunitas lari. Sakit lutut yang dideritanya tak kunjung sembuh. Sampai akhirnya dokter menyarankan untuk tidak berlari dulu sebelum dia dapat mengatasi overweight-nya. Dokter mendiagnosa sakit dilututnya sebagai akibat dari kelebihan berat badan.

Teman saya ini salah satu dari sekte pemuja gorengan. Sebagai bentuk realisasi dari usahanya untuk menurunkan berat badan, dia melakukan diet makan goreng-gorengan. Tiga bulan berlalu, tapi berat badan tidak kunjung turun, sakit dilututnya semakin menjadi. Sampai akhirnya dia tidak bisa berlari lagi.

Ditengah rasa frustasinya, syukurlah obrolan-obrolan santai saya dengannya, mengenai pola makan sehat, mampu menumbuhkan niat untuk mencoba merubah program dietnya. Untuk lebih memahami, dia pun mencari lebih banyak informasi dari berbagai sumber mengenai pola makan sehat ini. Setelah yakin, akhirnya dieksekusi!!!

Tidak sampai tiga bulan, dia sudah mampu kembali berlari tanpa rasa sakit. Sakit lutut, overweight, tinggal cerita!!! Larinya malah semakin kencang, karena dengan pola makan yang baik tingkat kebugaran pun ikut meningkat.

Sebetulnya ada apa sih dengan makanan yang digoreng, sehingga selalu menjadi tertuduh sebagai biang overweight? Menurut para ahli, makanan yang digoreng akan menyerap lemak dari minyak, sehingga kalori akan menjadi lebih tinggi. Semakin tinggi asupan harian kalori seseorang, semakin tinggi resiko mengalami  kelebihan berat badan.

Jika merunut pernyataan di atas, kelebihan asupan atau surplus kalori-lah biangnya.  Kalori dapat ditemukan dalam hampir semua jenis makanan dan minuman. Melalui proses metabolisme kalori diubah menjadi energi. Energi tersebut akan digunakan untuk mendukung kinerja dan fungsi organ tubuh manusia keseluruhan agar dapat berfungi sebagaimana mestinya. Sayangnya, bagian dasar dari energi ini jika dikonsumsi secara berlebihan akan menjadi bumerang! Nah, dengan menerapkan pola makan sehat “factor kelebihan” ini tidak akan terjadi. Karena dalam program pola makan, seperti telah dipaparkan di atas, perpegang pada tiga komponen, yaitu jenis, frekuensi dan jumlah.

Jenis makanan gorengan jika dikonsumsi dengan frekuensi dan jumlah secukupnya saja, tidaklah mengharuskan sekte pemuja gorengan bertobat. Apalagi jika makanan lainnya yang dikonsumsi rendah kalori, bernutrisi dan minum air putih terpenuhi quotanya. Selow saja!

Ingat! Bakwan hangat pakai rawit itu tiada duanya, gurih-gurih pedas! Jangan sampai ketika minyak goreng sudah kembali dari persembunyiannya, tapi gorengan dan makanan lain yang digoreng raib, musnah tergerus pertobatan sekte pemuja gorengan yang masih overweight!!!