Harapan rakyat Indonesia jelas, yakni menghendaki kekuasaan yang mengedepankan kepentingan bangsa sendiri dan bermartabat di mata bangsa-bangsa lain. Namun, dengan momentum pemilu 2024, akankah masalah-masalah vital di Indonesia akan tertangani seperti pengentasan kemiskinan, penyetopan perusakan lingkungan, pemberantasan korupsi, dan revitalisasi hak asasi setiap warga negara?

Kekuasaan Berganti

Kita hendak pergi ke fase baru, lalu tiba di sana sembari berharap supaya semua nalar kekuasaan hidup dan aktif. Kekuasaan baru itu hadir di setiap tingkatan, dari pusat hingga daerah. 

Harapan lainnya, soal pamer keistimewaan yang semakin melemahkan standar demokrasi yang sehat segera berhenti. Kebodohan, kemiskinan, dan kematian nalar kritis warga negara segera berkurang agar bangsa ini bisa mencapai kebahagiaan hakiki.

Sejauh ini kita masih dikoyak oleh isu-isu kemiskinan, HAM, dan sejumlah persoalan lain di beberapa institusi yang kian tersorot. Mulai masalah di lingkaran kepolisian, mutasi jabatan, pencaplokan kekuasaan yudikatif, dll. 

Deretan praktik kekuasaan esek-esek ini memang tidak mudah dipulihkan walau datang kekuasaan berganti. Kekuasaan ini timbul dengan gaya bermacam-macam, ada yang hanya sembunyi untuk mencicip, ada tertangkap tangan karena terlalu jauh terlena, ada yang bahkan dicopot jabatannya karena terlalu rakus.

Namun di balik semua itu, ada satu fakta yang masih mengkhawatirkan, yaitu menggeliatnya kekuatan oligarki yang terus menyusup dalam ruang politik hari-hari ini. Semua orang yang hendak berkuasa sangat menggandrungi untuk berada dalam lingkaran ini. 

Walau nanti negara hancur, terpenting modal untuk meraih kekuasaan tidak jadi mundur. Lebih menyenangkan lagi, kalau kekuasaan itu diraih melalui mekanisme pemilihan, maka uang adalah basis untuk mempengaruhi mayoritas pemilih.

Buktinya, dalam tubuh kekuasaan legislatif, setidaknya dari 500 anggota DPR, terdapat 262 pebisnis. Bagaimana tidak, dalam wilayah partai politik, nyaris semua pucuk pimpinan tertingginya adalah pebisnis. 

Data yang dirilis Tempo.id ini menyebut, sekitar dua pertiga kekayaan orang terkaya di Indonesia bersumber dari sektor kroni. Sektor ini bersarang dalam kekuasaan, bisnis menjadi tidak sehat, perputaran ekonomi menguntungkan segelintir orang, skema kekuasaan dipetakan dengan kekuatan modal kapital. Akibatnya, posisi Indonesia dalam konteks ini berada dalam kondisi memburuk.  

Fakta semacam ini pernah disinggung oleh Eamonn Butler dalam bukunya Kapitalisme: Modal, Kepemilikan, dan Pasar yang Menciptakan Kesejahteraan Dunia (2018), bahwa masuknya kronisme dalam kekuasaan memungkinkan negara memudahkan jalan terjadinya korupsi. 

Mereka memperoleh kekuasaan secara gampang dengan status dan keistimewaan dalam kehidupan sosial, sehingga segala gebrakan politiknya tidak menempuh jalan terjal. 

Pada titik ini, sesungguhnya tidak ada yang menggembirakan walau datang kekuasaan berganti. Toh, wajah kekuasaan semua tampak berpura-pura. Tidak ada pikiran baru. 

Menjelang 2024, kekuasaan bisa saja berganti akibat kekuatan faksi-faksi politik dan segenap pengaruhnya. Pun dengan kekuasaan saat ini, dapat berlanjut karena pemetaan politik sudah terancang matang. 

Akan tetapi, pengelolaan kekuasaan masih akan tetap mengalami disorientasi. Banyak pemimpin di setiap tingkatan, pada kenyataannya tidak mampu mengurai kompleksitas, tidak tahu melakukan apa. Malah hanya pencitraan semata yang disuguhkan untuk meraih kekuasaan, sekaligus menjadi reinvestasi modal untuk meraup keuntungan dalam jumlah besar.

Hasilnya Tetap Buruk

Setidaknya 22 Gubernur dan 154 Bupati/Walikota di Indonesia sepanjang 2004-2022 terjerat korupsi. Secara terpisah, jumlah ini belum terhitung dengan skandalnya para anggota DPRD. Pada periode yang sama, sebanyak 310 orang juga setali tiga uang.

Sementara selama 2014-2019, periode ini juga terbilang suram. Data yang dihimpun CNN Indonesia (2019), tercatat 24 anggota DPR RI ditetapkan jadi tersangka korupsi. Kemudian di tubuh kabinet menurut penelusuran Kompas.com terhitung sejak 2003 KPK telah menetapkan 12 Menteri sebagai tersangka. 12 menteri ini secara rinci terdiri dari 4 orang menteri pada era Presiden Megawati Soekarnoputri, 6 menteri era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan 3 menteri era Presiden Joko Widodo. 

Tidak kalah penting lainnya adalah korupsi di kalangan swasta. Berdasarkan rilis Databox (2022), selama 2021 terdapat 30 tersangka dari kalangan swasta. Kemudian fakta lain yang tidak kalah mengejutkan adalah korupsi di tubuh kekuasaan yudikatif. Data KPK (2010-2022) yang dirilis dari sumber yang sama mencatat sebanyak 21 hakim pernah tertangkap melakukan tindak pidana korupsi.

Catatan di atas bukan lagi rahasia, karena para penguasa di semua aspek menganut prinsip corruption by greed. Istilah ini layak dialamatkan kepada sejumlah pejabat yang telah memiliki kekayaan yang memadai, tetapi serakah dan berpeluang untuk melakukan tindakan yang merugikan negara. Kenyataan ini terus berulang dalam setiap rezim. 

Bahkan tidak akan berubah dalam spektrum demokrasi kita. Sistem elektoral justru tidak diarahkan pada ranah perbaikan untuk memproduksi kekuasaan yang baik, melainkan merawat ''kejahatan kekuasaan". 2024, hal itu akan terulang, tetap buruk hasilnya. 

Lihat saja nanti, semua akan terulang. Pengentasan kemiskinan, penyetopan perusakan lingkungan, pemberantasan korupsi, dan revitalisasi hak asasi setiap warga negara, sebagaimana saya sebutkan di atas hanya akan menjadi agenda kampanye semata. 

Tidak ada kesejahteraan publik. Peluang korupsi makin besar. Kebohongan penguasa dapat dianggap kewajaran dalam politik. Banyak orang mendadak saleh datang dari partai politik berkhutbah menipu rakyat. Kerusakan lingkungan tidak disetop dengan dalih pembangunan.