Nancy Chodrow, seorang sosiolog penafsir gagasan Freud. Lahir di New York, Amerika serikat pada tahun 1944. Kiprah intelektualnya berkutat dalam persoalan sosial, antropologi manusia dan psikologi.

Lulusan Brandaise University, yang menjadi pemikir perempuan yang pertama mengajar di Wellesley College pada 1973, serta di University of California, Santa Cruz, dari 1974 sampai 1986. Kemudian sejak tahun 1986, dia mengajar di University of California, Berkeley dari tahun 1985 sampai 1993. 

Sebagai seorang pemikir feminis psikolog, Chodrow menandaskan pemikirannya pada usaha reinterpretasi gagasan Freud mengenai kecemburuan genital pria (penis envy) serta orgasme ganda (double orgasm)--sekali pun konsep ini tidak lagi relevan mengingat sains hari ini telah membuktikan hal itu keliru. 

Chodrow membaca gagasan mengenai penis envy ini sebagai suatu gangguan fundamental, atau lebih tepatnya terdapat pengalaman trauma yang harus dijelaskan atasnya. 

Sekali pun, Chodrow menegaskan bahwa pencarian atas keterangan ini bukanlah diperoleh melalui penelusuran sejarah individu Freud, sebab Freud sendiri hanya menyatakan pernyataan ini dalam suatu argumen singkat berikut, "sees one and she knows she wants one” (Chodorow 1989: 173) 

Meskipun gagasan Freud ini penuh dengan kontroversi, akan tetapi Chodrow menerangkan bahwa gagasan Freud yang misoginis dan seksis ini menjadi tanda dari munculnya phalleocentric thinking (pusat pikiran mengenai genital pria yang dominan). Dimana isu tersebut berbicara kebutuhan perempuan atas genital laki-laki untuk mendapatkan kepuasan. 

Isu tersebut pulalah yang membawa perbincangan mengenai gender ini pada kesimpulan Chodrow yang menarik. Chodrow menyebut bahwa psikoanalisis Freud sebagai, “first and foremost a theory of femininity and masculinity, a theory of gender inequality, and a theory of the development of heterosexuality.” (Chodrow: 175) 

Sebagai suatu teori mulaan bahkan yang paling terkemuka, teori psikoanalisis merupakan teori yang menyinggung feminitas dan maskulinitas, suatu teori yang membahas ketidaksetaraan gender dan teori yang mengembangkan pemikiran mengenai heteroseksualitas.

Mengapa demikian? Sebab dari gagasan Freud inilah awal mula gambaran mengenai kedirian laki-laki (man) dan perempuan (woman) diterangkan sebagai suatu usaha yang disengaja (made) bukan bawaan (born).

Lebih lanjut, gagasan Chodrow ini kemudian didasarkan pada pokok gagasan Freud mengenai libido. Namun alih-alih ditujukan pada pencarian nikmat (seeking pleasure), Chodrow mereinterpretasi maksud itu menjadi pencarian ikatan (relationship seeking). 

Teori yang semula didasarkan pada suatu proses birahi, yaitu pencarian puncak kenikmatan, Chodrow alihkan menjadi mekanisme diri untuk mencari sebanyaknya ikatan luar yang kemudian membentuk kediriannya. Mencari objek yang dapat digauli sedemikian rupa sehingga tercipta kesadaran utuh mengenal diri. 

Namun, tidak seperti gerakan feminis yahun 1960-1970 yang mengatakan bahwa:"They assumed that if boys and girls were socialized in similar ways (i.e., if girls were not trained to do “girl” things and boys were not trained to do “boy” things), stereotypical gender roles would not persist." 

Mereka berasumsi jika anak laki-laki dan anak perempuan melalui proses sosial yang sama, maka stereotif mengenai bias gender ini akan hilang. Terlepasnya standar-standar kultural dan sosial yang menspesifikasi keberadaan laki-laki dan perempuan.  

Tegasnya, mereka mengatakan bahwa tidak ada sesuatu apapun yang mengspesifikasi atau barangkali mengidentifikasikan perempuan maupun laki-laki dalam aspek sosialnya sebagai sesuatu yang keperempuan-perempuanan atau kelaki-lakian--yang dipahami saat ini. 

Dalam hal ini, Chodrow membalas argumen ini dengan mengatakan bahwa, sekalipun dewasa ini telah banyak hal-hal yang turut memfasilitasi perempuan untuk menempuh kehidupan selayaknya laki-laki, namun preferensi gender antara laki-laki dan perempuan tetaplah tampak. 

Oleh karenanya, psikoanalisis feminism mencoba untuk mencari suatu penjelasan mengenai soalan tentang bagaimana pola gender itu direproduksi secara independen dalam kesadaran intensi manusia (Chodorow 1978:34; Williams 1993:134).

Chodrow, menganalisis bahwa, hal itu dibentuk dalam masa bayi (infant) yang pada umumnya seorang bayi mengindentifikasi dirinya dengan orang tua perempuan (ibu). Jadi proses yang dijalin oleh seorang ibu dan anak secara langsung inilah yang kemudian aktif menginternalisasi nilai dan karakter anak.

Jalin kelindan yang dibangun seorang anak dengan pihak luar inilah yang dinamai Chodrow dengan teori relasi objek (object relation theory). Objek relasi ini mengacu pada bangunan diri (self-structure) yang diinternalisasi sejak kecil, semacam cetak biru untuk menghadapi dan membangun masa hubungan di masa depan (Klee, 2005). 

Objek relasi yang dimaksud di sini adalah beberapa tahun pertama bayi berinteraksi dengan dunia luarnya. Kualitas objek yang digaulinya mempengaruhi kualitas diri anak, terkhusus dalam kemampuan bahasa dan motoriknya. Adapun pembentukkan status gender dikonstruk melalui tahapan yang meliputi dua tahapan, diantaranya:

1) Anak membangun suatu proses hubungan bersama pengasuh perdananya, yang mana umumnya adalah ialah seorang ibu di tiga tahun pertama, kemudian berlanjut pada,

2) terputusnya hubungan tersebut, melalui pemisahan (separation)--yaitu berupa pembedaan diri dengan pengasuh pertamanya--dan individuasi (individuation)--pembentukan diri, pemenuhan skill dan pembangunan persona diri). 

Akan tetapi, terdapat sesuatu yang menarik dalam proses yang terjadi antara proses pembentukan yang terjadi pada seorang anak laki-laki dan perempuan. Chodrow menyebutkan bahwa proses maskulinitas (fase pemerolehan identitas seksual dewasa) pada seorang anak laki-laki terjadi ketika dirinya berpisah dengan seorang ibunya. Proses pemisahan ini menjadi sikap oposisi atas feminitas, dengan menolak segala bentuk intimasi dari emosi sejak awal.

Oleh karenanya, laki-laki cenderung mengartikan tendensi emosi pada dirinya sebagai kelemahan. Pengaruh dari ketergantungan pasa emosi ini memberikan kesadaran feminim kepada laki-laki yang membuatnya merasa tidak menjadi laki-laki yang sebenarnya (the real man) (Alsop, Fitzsimons, and Lennon 2002:59). 

Berbeda dengan anak perempuan, yang tidak pernah menyepakati dirinya berpisah dengan seorang ibunya untuk mengetahui status seksualnya. Hal itu disebabkan perempuan membutuhkan hubungan panjang dalam keintiman emosi dalam suatu hubungan untuk memperoleh kediriannya tersebut.

Gerhensom dan Williams mengatakan sebagai berikut: "A female self that is fundamentally a self-in-relation and a male self that is fundamentally a self-in-denial of relations." (Gerhenson and Williams 2001:282). 

Kedirian perempuan secara fundamental diperoleh dalam suatu keterjalinan dalam emosi, adapun kedirian laki-laki secara fundamental diperoleh dalam suatu penolakan relasi.

Maka secara ekslusif, Chodrow menekankan pada proses kedirian pada perempuan sebagai sesuatu yang unik. Sebab alih-alih menyadari kediriannya dalam suatu proses penemuan diri dengan melepas keterikatan emosi selayaknya anak laki-laki. Anak perempuan menemukan dirinya dalam proses internalisasi diri melalui keterhubungan relasi yang dibangunnya bersama orang-orang terdekatnya.