Walau banyak pihak bisa paham pentingnya hutan dari segi ekologis, ekonomis, hidrologis maupun klimatologis, tidak semuanya sadar untuk melakukan pengelolaan yang baik guna menjamin keberlangsungannya. Dari segi kuantitas saja, menurut catatan Kementerian Kehutanan, pada periode 2000-2010 sedikitnya 1,2 juta hektar kawasan hutan Indonesia berkurang tiap tahunnya. Angka ini agak berkurang selepas 2010, namun tetap saja hutan terancam.
Penyebab utamanya adalah ekspansi manusia yang makin masif dalam mengeksploitasi hutan untuk memenuhi kebutuhan, baik yang sifatnya fundamental seperti komoditas pangan maupun derivatif seperti mineral. Jika tidak dicegah, diperkirakan sekitar 15-20 tahun lagi, Indonesia tidak akan memiliki hutan primer.
Beberapa strategi telah dikerahkan untuk menjamin keberlanjutan hutan Indonesia. Namun pertanyaannya adalah, apakah strategi itu telah diterapkan pada konteks dan lokus yang tepat serta pada flatform implementasi yang sinergis?
Tipologi strategi
Ditinjau dari garis besarnya, terdapat paling tidak empat strategi yang telah coba diterapkan. Strategi pertama adalah strategi sosial kultural. Terdapat ide dan suara untuk melibatkan komunitas masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan hutan berbasis kearifan lokal, misalnya dalam pembuatan agroforestri, “desa ekologis”, hutan konservasi desa, hutan adat dan sebagainya. Tujuannya agar selain hutan tetap lestari (dalam batas tertentu), paling tidak dari sisi fungsi, masyarakat juga bisa mendapat nilai tambah dari dari hasil hutan guna keperluan harian. Namun, pendekatan ini sesungguhnya perlu dicermati lebih jauh.
Pendekatan ini sesungguhnya hanya efektif pada kondisi hutan dan sosial masyarakat tertentu. Misalnya untuk agroforestri, dibutuhkan karakteristik beberapa tanaman yang secara alami bersifat mutual dan kondisi tanah yang secara agronomi sesuai. Selain itu, karena sifatnya yang eksklusif, ia lebih cocok pada tipikal masyarakat dengan karakteristik lokal, cenderung homogen, dan telah punya ikatan kuat secara turun-temurun dengan hutan (baik secara adat maupun tradisi).
Dalam bingkai seperti itu, maka strategi ini lebih pas pada kelompok-kelompok masyarakat adat dan komunitas asli. Jika dipaksakan pada “komunitas pendatang”, yang tinggal di frontier hutan, belum memiliki ikatan kultural kuat dengan hutan dan alam, maka konsep desa ekologis, hutan adat, hanya akan sampai pada permukaan implementasi dan cenderung tidak akan berlangsung lama karena desakan ekonomi pasti mengalahkan ikatan kultural.
Yang kedua, strategi pemberdayaan ekonomi. Strategi ini bertujuan untuk menciptakan sumber pendapatan alternatif sembari menjaga fungsi hutan tetap terpelihara. Salah satu contoh konkretnya adalah hutan wisata, yang meramu konsep jualan sumberdaya hutan yang “intangible” untuk mendongkrak pendapatan daerah dan masyarakat sekitar. Sekali lagi, walau menarik, strategi seperti ini juga tidak bisa dipukul rata untuk semua tipe hutan. Dengan kata lain, ruang lingkupnya kecil dan hanya bisa untuk spot-spot hutan tertentu dengan daya saing khusus, misalnya hutan mangrove atau hutan wisata bird watching.
Yang ketiga adalah strategi pengelolaan klasik yang berbasis pada kebijakan dan regulasi. Zonasi tata ruang dan tata guna lahan, pemberian izin pengelolaan, dan sertifikasi produk kehutanan adalah instrumen kontrol yang jamak kita dengar. Pendekatan ini bersifat deterministik, dan tidak terikat pada karakteristik hutan atau komunitas tertentu.
Kelemahannya adalah kecenderungannya untuk menjadi kebijakan atas-bawah (top-down policy), serta kelambanan akibat tuntutan konsensus dari banyak pihak yang terkait. Selain itu, potensi penyelewengan sangat besar mengingat paham good governance masih belum disepakati secara penuh.
Yang keempat, strategi pengelolaan hutan berbasis moral dan etik. Walau selama ini kurang terdengar, pelan-pelan gaungnya mulai terasa, seperti ajakan Laudato Si, Paticcasamuppada, Tri Hita Karana, atau Figh Al-Biah. Sebagai bangsa yang memproklamirkan diri agamis, Indonesia sesungguhnya bisa memanfaatkan peluang strategi ini dengan lebih optimal jika para pemuka agama mau menggali ajarannya pada topik “manusia dan bumi” daripada melulu berorientasi pada topik “manusia dan langit”.
Strategi ini umumnya lebih susah untuk diimplementasikan secara riil dalam kehidupan nyata. Kebanyakan masih berupa konsep abstrak. Walau sesungguhnya, sudah ada contoh dari sektor pertanian, misalnya ajaran subak di Bali yang telah padu antara sisi teologis, teoritis, dan implementasi.
Ajaran-ajaran agama langit kebanyakan hanya berupa “ajakan”, seruan moral. Serta tidak memberlakukan “dosa” kepada manusia yang mencelakai alam, ataupun “pahala” bagi mereka yang memuliakan hutan dan alam, dua konsep abstrak tapi efektif menjadi standar moral perilaku sehari-hari. Selain dari seruan agama, strategi ini juga dijalankan dengan misalnya, menyerukan kepada konsumen untuk tidak mengkonsumsi produk-produk yang tidak memiliki ekolabel.
Pemetaan strategi
Dari beberapa konsep strategi di atas, tampaklah kategorisasinya. Strategi pertama dan kedua lebih bercirikan pada komitmen partisipasi dan pemberdayaan, yang ketiga lebih berciri pada komitmen administrasi dan regulasi, sedang strategi keempat terletak pada komitmen etik dan moral.
Jika mengacu pada konsep hukum adalah panglima, maka strategi berbasis regulasi adalah fondasi pokok yang menjadi hulu, acuan strategi lain, kecuali strategi moral dan etik yang menjadi landasan filosofis. Hanya saja, pendekatan regulasi ini butuh definisi yang kuat, misalnya saja mengenai hutan dan non hutan. Definisi substansi (bahasan dan semantik) dan keruangannya (peta yang detil dan klasifikasi spasial) mesti jelas, agar tidak terjadi perdebatan di kemudian hari.
Contoh perdebatan ini adalah ketika korporasi sawit menolak dicap sebagai penyebab deforestasi di Indonesia karena lokasi lahannya secara de jure, secara definisi yuridis dari pemeritah tidak di dalam kawasan hutan, walaupun secara factual tutupan lahannya adalah hutan lebat. Selain itu, untuk hutan adat atau hutan komunitas, apakah sertifikasi produk perlu diterapkan? Bukankah sertifikasi produk sebaiknya diterapkan pada pemanfaatan oleh korporasi, guna mencegahnya menggunakan produk hutan yang tidak ramah lingkungan atau berasal dari kegiatan destruktif terhadap hutan dan alam.
Dengan konsep kategori yang jelas landasan komitmennya, akan lebih terarah subjek dan objek pengelolaannya. Selain itu, secara sistemik, pengelolaan akan menjadi lebih sequensial dan terstruktur. Misalnya saja, atas dasar pemetaan zonasi tata ruang yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, ditindaklanjuti dengan pemetaan tipe-tipe hutan dan karakteristik sosial masyarakat di sekitar hutan itu, dapatlah disusun road-map strategi. Artinya “lokasi mana strategi apa”, akan dapat terlihat.
Misalnya, agroforestri akan diletakkan pada kondisi tanam yang memang sesuai, dan sebaiknya di daerah frontier yang bukan hutan primer atau bukan di basis masyarakat asli. Hutan ekologis baiknya diletakkan di tengah-tengah komunitas adat. Hutan wisata juga ditaruh pada hutan yang memiliki potensi pariwisata yang mendukung. Di sisi yang lain, dasar-dasar pelestarian alam pun mesti mulai diselipkan dalam setiap pengajaran agama, terutama di dalam komunitas-komunitas yang langsung berhubungan dengan hutan dalam perikehidupannya.
Pemetaan strategi ini diharapkan menjadi pijakan awal bagi sinergi dan koordinasi antar para pihak yang terlibat: masyarakat, pemerintah, NGO asing maupun lokal, pemerhati hutan, akademisi, dan lain sebagainya. Dengan modal “what to do to whom in where” ini, akan ada perencanaan yang lebih konstekstual dan terarah guna menghindari tumpang tindah strategi dan kegiatan.
Tentu saja semuanya butuh komitmen bersama. Sehingga, implementasi cita-cita luhur pengelolaan hutan yang berkelanjutan, akan dapat dijalankan pada relnya. Sekarang pertanyaannya, maukah kita?