Sejak dilahirkannya undang-undang tentang desa pada tahun 2014 silam, hampir semua orang memperbincangkannya. Mulai dari pejabat tinggi negara, politisi, praktisi, akademisi, aktivis, ormas, LSM sampai ke petani karena pemberitaanya cukup menggebyar, apalagi pada pemilihan calon anggota legislatif dan pemilihan presiden pada tahun 2014.
Setiap kesempatan para calon selalu menyisipkan isu tentang desa yang akan mendapatkan kucuran dana kurang lebih 1,4 miliar. Wacana tersebut menjadi produk unggulan para calon ketika turun ke desa-desa. Masyarakat desa pun ada yang antusias dan pesimis dengan wacana undang-undang desa karena selama ini masyarkat desa tidak pernah merasa tidak mendapatkan manfaat yang berarti ketika ada kebijakan-kebijakan baru dari pemerintah.
Yang ada, mereka hanya menjadi ladang untuk meraup dukungan massa agar para calon kandidat bisa duduk di kursi manis. Setelah itu masyarakat dilupakan oleh mereka yang duduk di kursi seolah-olah tidak pernah kenal terhadap siapa yang pernah mendukungnya.
Berbicara soal desa, sudah 2 tahun berjalan undang-undang tersebut diterapkan di seluruh desa di Indonesia. Satu poin yang cukup signifikan yang membedakan antara undang-undang desa yang baru dengan undang-undang yang lama, yaitu pada titik tekan kewenangan.
Undang-undang baru memberikan titik tekan bahwa desa memiliki kewenangan yang lebih luas dalam menentukan masa depan dirinya sebagaimana tertuang dalam undang-undang nomor 6 tahun 2014 yang kemudian dijabarkan dengan peraturan pemerintah dan dioperasionalkan melalui peraturan menteri bahwa desa diberikan kewenangan berupa kewenangan berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa.
Secara umum, desa diberikan keleluasaan untuk menjaga dan mengembangkan berbagai hal yang menjadi kekayaan baik yang bersifat materi ataupun non-materi. Karena lahirya desa bukan karena pemberian pemerintah tetapi lahir karena adanya prakarsa masyarakat yang ingin berhimpun membentuk organisasi sesuai dengan kearifan yang ada di lingkungan sekitarnya.
Kemudian selain kekayaan tersebut dikembangkan, juga harus ditingkatkan agar desa segera terbebas dari belenggu kemiskinan yang selama ini membelenggu kehidupan masyarakat desa.
Desa dan Tengkulak
Seperti yang dilantunkan oleh Iwan Fals, “Desa adalah kekuatan sejati, negara harus berpihak pada para petani. Entah bagimana caranya, desa adalah masa depan kita. Keyakinan ini datang begitu saja karena aku tak mau celaka.”
Lagu ini pernah dilantunkan beberapa tahun yang lalu dan sekarang baru mewujud menjadi regulasi yang spiritnya ingin menguatkan Desa baik dari segi sosial, ekonomi ataupun politik. Di syair berikutnya berbunyi, “Tapi tengkulak-tengkulak bergentayangan, tetapi lintah darat pun bergentayangan. Untuk apa punya pemerintah bila hidup terus-terusan susah.”
Sebuah kenyataan yang tidak bisa lagi dipungkiri bahwa kondisi nyata yang terjadi di desa memang demikian. Para tengkulak selalu menghantui masyarakat desa yang sebagian besar hidupnya bergantung pada sektor pertanian dan perikanan/kelautan.
Ketika petani akan menggarap sawah, sering kali kekurangan modal. Ketika kekurangan modal, hadir sosok penolong dengan kata-kata manis dia akan membantu petani untuk melanjutkan penggarapan sawahnya namun dengan syarat, ketika panen harus dijual ke penolong tersebut dengan harga sesuai keinginan si penolong. Karena petani ingin makan diambillah bantuan tersebut dengan syarat tadi.
Meskipun harga jualnya murah, petani tetap melanjutkan penggarapan sawahnya dengan harapan bisa memberi makan sanak keluarga. Para lintah darat juga tidak ketinggalan membayang-bayangi kehidupan masyarakat desa dengan aneka ragam bentuk kelembagaan. Ada yang berbentuk arisan simpan-pinjam, bank mingguan, bank harian, koperasi dan lain sebagainya.
Ketidakberdayaan desa yang terbelenggu dalam jurang kemiskinan ditambah bebannya dengan hadirnya para tengkulak dan lintah darat yang menghisap darah kehidupan desa secara kejam dan bengis.
Pemerintah Tidak Serius
Sementara pemerintah (pusat, provinsi, daerah) tampaknya tidak serius menangani persoalan tersebut. Walaupun hadir regulasi yang secara jelas memberikan kewenangan yang begitu luas terhadap desa untuk menentukan masa depan dirinya, kenyataannya tidak sedemikian adanya. Selain karena desa belum memiliki kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM) juga tindakan yang dilakukan oleh pemerintah kurang tepat sasaran.
Salah satu contoh sebagaimana yang terjadi di Situbondo, Jawa Timur. Ketidaksiapan Sumber Daya Manusia di desa berdampak terhadap mandeknya pembangunan karena undang-undang yang baru mengharuskan desa mempunyai perencanaan dan penganggaran yang baik.
Di satu sisi hal tersebut memang membantu desa untuk lebih disiplin dalam mengurus dirinya dalam pembangunan untuk beberapa tahun ke depan. Sebab, instruksi tersebut juga diiringi dengan pengucuran dana yang cukup besar kurang lebih 1,4 m jika ditotal dari alokasi dana desa, dana desa, bagi hasil pajak/retribusi, bantuan kuangan dan sumber-sumber lainnya.
Di sisi lain, desa menjadi sedikit kebingungan karena aturan umum yang dikeluarkan oleh pusat tidak diimbangi dengan aturan teknis oleh pemerintah daerah Situbondo. Sehingga, yang sering terjadi adalah ketumpangtindihan pemahaman antara desa dengan daerah, perangkat desa dengan perangkat pemerintah daerah.
Lain lagi dengan program/kegiatan titipan yang diinstruksikan pejabat daerah kepada desa yang sumber keuangannya dari anggaran pendapatan belanja desa, semakin kompleks dengan munculnya calo dokumen yang selama ini biasa dilakukan oleh oknum pemerintah. Merawat desa berarti membangun daerah menuju Indonesia sejahtera.