Lontaran ucapan pembatasan pemberitaan media yang dilakukan Gubernur baru Maluku, Murad Ismail, adalah tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang tidak bisa didiamkan.
Murad mengaku banyak Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dianiaya di Malaysia. Tapi, kata dia, wartawan di sana tidak memberitakannya. Karena itu, dia meminta pers di Maluku meniru wartawan Malaysia.
Seperti dilansir dari Gatra.com, Murad mengatakan, "Kita harus bisa memosisikan diri seperti wartawan di Malaysia. Tenaga kerja kita di Malaysia dianiaya dengan luar biasa. Tapi tidak pernah wartawan Malaysia menulis yang jelek tentang orang Malaysia," ujar Murad.
Murad berharap, wartawan di daerah ini bisa memberitakan berbagai kebaikan tentang Maluku. Sehingga Provinsi Raja-Raja ini memiliki nilai jual di tingkat pusat. Murad lagi pencitraan sesat kayaknya.
Bagi saya, nada ucapan yang disampaikan Murad merupakan langkah pemberangusan terhadap kekuatan demokrasi di sektor media. Sebagaimana kita tahu bersama, kebebasan pers adalah salah satu pilar inti dari demokrasi yang harus dihormati dan tidak boleh dibatasi oleh siapa pun dalam kondisi apa pun.
Senyata, menuju 100 hari kerja setelah Mantan Jenddral Korps Brimob itu dilantik oleh Presiden Joko Widodo pada 24 April 2019, Murad sudah melanggar HAM dengan membatasi pewarta untuk menulis pemberitaan yang berbunyi negatif.
Terus, jikalau ada kasus mengenai kejahatan atau pencabulan, tidak boleh diberitakan ya, pak? Kok saya jadi tidak geli ya? Apakah ini kado 100 hari kerja sang Gubernur baru kepada masyarakat Maluku?
Ketika disampaikan Murad soal Pers harus memberitakan hal-hal yang baik tentang Maluku, dalam kesempatan yang sama, Murad didampigi Ketua Komnas HAM Indonesia, Ahmad Taufan, yang sedang melakukan kunjungan silaturahmi.
Murad mengaku kepada Taufan banyak persoalan mengenai Hak Asasi Manusia terjadi di Maluku. Ini yang perlu kita bicarakan dan diskusikan. Umumnya permasalahan yang banyak terjadi adalah persoalan tanah.
"Terutama menyangkut kejadian HAM. Ada hal-hal yang perlu ditingkatkan dari informal menjadi formal," terangnya.
Lantas, bagaimana seorang Murad ingin bicara HAM bila ia sendiri melanggar HAM?Aduh, ada-ada saja Pak Murad ini.
Secara pemangku kewajiban, Gubernur Murad Ismail merupakan bagian dari negara yang harus menaati 3 kewajiban negara, yakni to respect (menghormati), to protect (memenuhi), dan to fulfill (melindungi). Bila ketiganya dilanggar, negara gagal dalam menjamin hak asasi manusia. Murad termasuk yang melanggar.
Demikian juga dengan kebebasan pers, Kebebasan pers (freedom of the press) adalah hak yang diberikan oleh konstitusional atau perlindungan hukum yang berkaitan dengan media dan bahan-bahan yang dipublikasikan.
Secara konseptual, kebebasan pers akan memunculkan pemerintahan yang cerdas, bijaksana, dan bersih. Melalui kebebasan pers, masyarakat akan dapat mengetahui berbagai peristiwa, termasuk kinerja pemerintah, sehingga muncul mekanisme check and balance, kontrol terhadap kekuasaan, maupun masyarakat sendiri.
Berbagai aturan tentang Kebebasan pers telah diatur sedemikian rupa, seperti dalam pasal 28 F Undang-Undang 1945, kemudian UU No12 tahun 2005 tentang Hak Sipil dan Politik. Ada juga UU No 39 tahun 1999 tentang HAM. Terakhir, UU No 40 tahun 1999 tentang Pers.
Seperti di awal tadi, apa yang disampaikan Murad jelas tidak berdasar pada aturan-aturan di atas yang memberikan kebebasan kepada pers. Walau memang dalam mekanisme jurnalistik dan kode etik jurnalis ada hal-hal yang juga diatur, itu pun lewat dewan pers bukan Gubernur.
Bagi saya, yang diucapkam Murad terlalu sedemikian enaknya dan mungkin tidak paham soal kerja jurnalis dan HAM secara universal. Membandingkan kultur demokrasi Indonesia dengan Malaysia jelas berbeda konteksnya.
Oleh karenanya, asumsi saya, Murad kini tengah mengembalikan paham militeristik baru di Maluku, dengan gaya pemberangusan kekuatan demokrasi melalui cara yang soft.
Ketakutannya adalah gaya kepemimpinan seperti Murad dapat menempatkan HAM tidak sebagai prioritas pembangunan berbangsa dan bernegara, melainkan pembungkaman yang kokoh
Dan juga, bisa jadi ucapan Murad sedang memperlihatkan kedunguan yang tersimpan. Itu sebabnya, frontal dalam omongan tanpa dasar.
Sudah wajibnya juga Maluku harus menjadi kota ramah HAM. Tidak hanya sebagai kota musik, penempatan eksitensi manusia, baik dari pesisir hingga pengunungan, harus berbasis HAM.
Jangan lagi terdengar perampasan ruang hidup, masyarakat di pegunungan Binaya terkena penyakit zat karena akses rumah sakit yang jauh, sejumlah anak kecil di Desa Salagur, SBT, yang harus bepergian jauh untuk mendapatkan air bersih demi aktivitas keluarga.
Ada segudang kompleksitas masalah berbasis HAM peninggalan Gubernur Maluku sebelumnya. Murad sebagai estafet nakhoda Maluku kiranya bisa menuntaskan kompleksitas yang ada.
Bukan dengan cara pembungkaman pemberitaan, tetapi membebaskan pemberitaan sesuai kode etik jurnalis yang sudah dipahami teman-teman jurnalis profesional. Bukan wartawan bodrex, kalau soal ini ceritanya lain.