Baru-baru ini, publik kembali dihebohkan oleh peristiwa dugaan tembak-menembak antara dua anggota polisi, yakni Bharada E dan Brigadir J yang mengakibatkan Brigadir J (Alm) meninggal dunia (8/7/2022). 

Menariknya, tak lama kemudian peristiwa tindak pidana tersebut diafirmasi oleh Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri (11/7) yang menyatakan bahwa "ini pembelaan, jadi Bharada E melakukan pembelaan ketika mendapat ancaman dari Brigadir J dengan tembakan. Jadi bukan menodong tapi melakukan penembakan terhadap Bharada E" (tempo.com, 2022).

Atas pernyataan tersebut, kiranya menimbulkan 2 (dua) pertanyaan hukum (rechtsvraagen). Pertamaapakah pihak Kepolisian berwenang untuk menyatakan suatu tindak pidana dilakukan karena pembelaan diri? Kedua, bagaimanakah konsep pembelaan diri dalam hukum pidana?

Polisi dan Pembelaan Diri

Pada prinsipnya, setiap orang yang diduga melakukan Tindak Pidana haruslah dianggap tidak bersalah, sepanjang belum adanya putusan Pengadilan yang memvonis pelaku sebagai orang yang bersalah (asas praduga tak bersalah/presumption of innocence).

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 8 ayat (1) menyebutkan "Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap."

Berkaitan dengan kasus a quo, seharusnya pihak kepolisian dalam menyampaikan kepada publik tidak menggunakan kalimat "ini pembelaan", melainkan "adanya dugaan pembelaan diri" oleh Bharada E. 

Penggunaan kalimat "ini pembelaan" dari pihak kepolisian terkesan diskriminatif dan mendiskreditkan Alm. Brigadir J, seolah-olah tidak diragukan lagi bahwa benar perbuatan pembunuhan kepada Brigadir J disebabkan karena "pembelaan diri" oleh Bharada E.  

Padahal kita tahu, bahwa yang mempunyai kewenangan untuk menyatakan perbuatan Bharada E merupakan 'pembelaan diri' ialah Mejelis Hakim setelah melalui proses pembuktian di pengadilan, bukan kepolisian. 

Disisi lain, pihak kepolisian (penyidik) seharusnya menetapkan Bharada E sebagai "Tersangka" atas penembakan terhadap Alm. Brigadir J hingga meninggal dunia.

Bahwa kemudian setelah proses penyidikan, jika pihak penyidik mendapat minimal 2 (dua) alat bukti yang mengarah pada dugaan 'pembelaan diri' yang dilakukan oleh Bharada E, maka penyidik harus meneruskan perkara ke tingkat penuntutan dan penuntut umum tetap meneruskan berkas ke pengadilan untuk diadili dengan mengajukan fakta-fakta bahwa perbuatan Bharada E merupakan perbuatan pembelaan diri, sehingga apabila terbukti, majelis hakim akan memutus dengan putusan bebas (vrijspraak) atau putusan lepas (onslag van rechtvervolging). 

Namun sebaliknya, jika tidak terbukti merupakan pembelaan diri, Majelis Hakim harus menjatuhkan putusan pemidanaan.  

Pembelaan Diri dalam Hukum Pidana

Hukum pidana membagi pembelaan diri menjadi 2 (dua) bagian, yakni pembelaan terpaksa (noodwear) dan pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodwear excess). Pengaturan mengenai keduanya dapat dilihat pada Pasal 49 ayat (1) dan (2) KUHP yang berbunyi sebagai berikut:

Ayat (1) “Tidak dipidana barangsiapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.”

Ayat (2) “Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.

Jika di lihat dari rumusan Pasal di atas, maka pembelaan diri pada dasarnya mensyaratkan 2 (dua) hal, yaitu adanya “serangan” dan adanya “pembelaan”. Serangan yang dimaksud ialah serangan terhadap diri sendiri atau orang lain, terhadap kehormatan kesusilaan dan harta benda, serangan tersebut harus melawan hukum, dan dilakukan secara seketika/mendadak.

Sementara yang dimaksud dengan adanya pembelaan ialah cara yang dapat dibenarkan oleh hukum pidana. Pembelaan haruslah dilakukan karena keadaan terpaksa, yaitu suatu keadaan yang tidak dapat dihindari dengan cara lain selain dengan melanggar hukum (asas subsidiaritas)

Pembelaan juga harus dilakukan dengan cara yang sepadan, yaitu tidak boleh melebihi dari ancaman atau serangan yang dihadapi (asas proporsionalitas). 

Sebenarnya terdapat perbedaan yang cukup mendasar antara pembelaan terpaksa dan pembelaan terpaksa yang melampaui batas. Pada pembelaan terpaksa, pembelaan tidak dibenarkan apabila melewati batas-batas dari ancaman seketika/mendadak yang sedang dihadapi.

Misalnya, si A menyerang B menggunakan tangan kosong, namun dibalas oleh si B menggunakan pisau sehingga mengakibatkan si A meninggal dunia. Maka perbuatan si B tidak dapat dikatakan sebagai pembelaan terpaksa, sebab pembelaan yang dilakukan oleh si B tidaklah sepadan dengan ancaman yang ia hadapi.

Berbeda halnya pada pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodwear excess) yang membenarkan suatu pembelaan yang melampaui ancaman, namun dengan syarat harus adanya kegoncangan jiwa yang hebat pada saat itu. 

Misalnya seorang perwira yang baru pulang bertugas, sesampainya di rumah melihat istrinya sedang diperkosa oleh perampok, sontak seketika mencabut pistol lalu menembak si perampok tersebut (Soesilo, 1995).

Perbuatan yang dilakukan oleh perwira di atas, dapat saja merupakan pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodwer excess), karena bisa jadi dalam keadaan tersebut menimbulkan kegoncangan jiwa yang hebat pada saat itu, sehingga ia tidak dapat berpikir jernih dalam mengambil suatu tindakan selain dengan cara menembak.  

Sebenarnya terdapat perbedaan yang tipis antara pembelaan diri dan “pembalasan”. Hal ini berkaitan erat terhadap asas Culpa In Causa, sebagai contoh, jika si A menembak B namun tembakan tersebut tidak mengenai si B, lalu tidak ada kesan bahwa si A akan mengulangi perbuatannya, penembakan balik oleh si B terhadap si A bukan merupakan pembelaan terpaksa lagi melainkan pembalasan (Shaffmeister, Keijzer, Sutorios, 2007). 

Namun bagaimana jika si C menembak D tetapi tidak mengenainya, lalu si D membalas dengan menembak balik si C. Tembakan pertama dari si D mengenai si C sehingga membuat ia tidak berdaya, dengan kata lain sudah tidak ada ancaman yang sangat berbahaya dan mendadak kepada si D  pada saat itu. Akan tetapi, si D tetap melanjutkan tembakan kedua, ketiga, dan seterusnya sehingga mengakibatkan si C meninggal dunia. 

Maka timbul pertanyaan, apakah perbuatan si D dapat dikatakan sebagai pembelaan diri atau murni merupakan “pembalasan” ?

Rambu-Rambu dalam Menerapkan Pasal Pembelaan Diri

Hal ihwal yang perlu diingat bahwa pembelaan terpaksa (noodwer) maupun pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodwer excess) merupakan bagian dari alasan penghapus pidana (strafuitskutingsgrunden)―(alasan pembenar dan pemaaf) yang tidak mudah diterapkan pada peristiwa konkrit.

Mengapa demikian? Sebab pada pembelaan diri, pada hakikatnya Majelis Hakim tidak meragukan apakah tindak pidana dilakukan oleh terdakwa ataukah tidak. Untuk itu, dalam menerapkan pasal pembelaan diri, Majelis Hakim harus dengan teliti mempertimbangkan 3 (tiga) asas yang menjadi dasar justifikasi suatu tindak pidana dilakukan demi pembelaan diri, diantaranya: 

Pertama, asas subsidiaritas―(pembelaan merupakan keharusan). Kedua, asas proporsionalitas―(pembelaan harus sepadan/seimbang dengan ancaman) dan Ketiga, asas culpa in causa―(pembelaan tersebut bukan disebabkan karena kesalahannya sendiri). 

Jika Majelis Hakim menganggap bahwa perbuatan pidana yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti, atau kurang cukup bukti, atau Majelis Hakim meragukan bahwa terdakwa lah yang melakukan tindak pidana, maka pada prinsipnya Majelis Hakim harus membebaskan terdakwa. Hal ini sejalan dengan prinsip 'lebih baik membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang tidak bersalah' dan asas yang berbunyi In Dubio Pro Reo―(bahwa dalam keragu-raguan, majelis hakim harus membebaskan terdakwa). 

Namun tidak sebaliknya, jika Majelis Hakim tidak meragukan bahwa terdakwa lah yang melakukan tindak pidana, namun keraguan itu ada pada apakah tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa atas dasar pembelaan diri ataukah tidak, maka pada prinsipnya Majelis Hakim harus menghukum terdakwa. Sebagaimana asas yang berbunyi In Dubio Pro Legi Fori―(bahwa dalam keragu-raguan, Majelis Hakim harus menghukum terdakwa).