Pembangunan dan industrialisasi menggeliat saat ini. Penyebab paling signifikan adalah, negara-negara dunia ketiga (berkembang) mulai melakukan upaya peningkatan sarana dan prasarana guna mengejar ketertinggalan dari dunia pertama (negara maju). Tak terkecuali Indonesia. Indonesia era Jokowi, kiblat pembangunan menyasar sektor infrastruktur berikut perangkat yang mengikutinya.

Dalam dua tahun terakhir, pemerintah telah mempercepat pembangunan jalan nasional sepanjang 2.225 kilometer, jalan tol sepanjang 16.246 meter dan 160 jembatan (Kompas, 16/08/2017). Target pemerintahan Jokowi sampai tahun 2019 telah terbangun 100 pelabuhan, puluhan jalan tol, dan pembangunan jalan nasional hingga ribuan kilometer.

Tak tanggung-tanggung, anggaran yang ditargetkan senilai RP. 4.000 triliun hingga tahun 2019. Tujuan dari pembangunan ini tidak lain dan tidak bukan untuk memudahkan laju investasi dan arus kapitalisme.

Kalau orang awam membaca tulisan ini, tentu dipikir dan dirasanya, Jokowi hebat telah dan akan membangun ini, itu dan sebagainya, dan sebagainya. Tapi, masyarakat tak melihat fakta lain dibalik geliat pembangunan tersebut. Pembangunan menghendaki adanya pembebasan lahan. Dan pembebasan lahan ini tak jarang justru memberikan nestapa bagi masyarakat.

Sudah masyarakat yang terpinggirkan dari tanah ulayatnya, tak berimbas pula pada perbaikan ekonominya. Singkat kata, sudah jatuh tertimpa tangga pula, malang kali nasibnya tante.

Mirisnya lagi, pembangunan itu dilakukan dengan cara eskploitatif seperti pembakaran, penggundulan, dan penebangan liar kawasan hutan. Hutan yang sejatinya menjadi surga berkumpulnya ekosistem, mulai dari hewan, tumbuhan, sungai, danau, dan lainnya semakin terganggu. Padahal, hutan telah menyediakan bagi kita segala kebutuhan sektor primer dan sekunder. Mulai dari sandang, pangan, dan papan semua ada di hutan.

Tapi, oleh karena geliat kapitalisme dimana-mana, hutan pun kemudian tereksploitasi dan dijadikan sebagai ladang kapital.

Sistem ekonomi yang berkembang saat ini memungkinkan terjadinya eksploitasi hutan. Ini yang kemudian disebut oleh Robinson (2012) bahwa kelas kapitalis menentukan bagaimana keadaan ekonomi suatu negara. Kita sama-sama tahu, negara kita terus defisit anggarannya. Alhasil, kapitalis (apalagi asing) sangat dituhankan di negeri ini.

Wajar saja, mereka yang empunya alat dan moda produksi. Negara tidak suka yang ribet dan lama. Dilemparkanlah hutan kita kepada kapitalis untuk dikelola (konsesi). Tak peduli bila hutan sampai dieksploitasi.

Eksploitasi terjadi akibat adanya kelangkaan sumber daya alam. Akibat kelangkaan itulah, semua orang berlomba-lomba untuk mendapatkannya. Hutan Indonesia memang belum terkategori langka. Tapi, oleh karena sumber daya alam lain semisal tanah, air bersih, dan lain-lain semakin langkah, maka hutan menjadi mangsa yang empuk untuk disantap. Sewaktu-waktu predator (kapitalis) siap untuk menerkamnya.

Eksploitasi hutan semakin menjadi-jadi. Dari data analisis satelit Lansat 8, tutupan hutan di Jambi misal, tersisa 900.000 hektar, dari luasan 2,054 juta hektar. Bahkan sepanjang tahun 2012-2016, tutupan hutan Jambi hilang sekitar 189.125 hektar atau setara delapan kali lapangan bola per jam. Mirisnya lagi, dalam kurun waktu satu setengah dekade terakhir, luas hutan Sumatera hilang hampir dua juta hektar.

Tahun 2001, luas hutan Sumatera mencapai 15,3 juta hektar, namun 2016, tinggal 13,4 juta hektar. Mayoritas hutan dibakar untuk kepentingan korporat dan pembangunan infrastruktur (Mongabay, 20 Maret 2016).

Dari data di atas, dapat kita simpulkan begitu mudahnya hutan kita dilenyapkan. Dengan sentuhan alat-alat berat, pembakaran hutan, penggundulan hutan, sebuah keniscayaan bagi mereka untuk melakukan pembangunan apa saja demi mendapatkan ladang kapital. Mereka tak peduli tanah ulayat. Tak peduli dengan anda. Tak peduli kemanusiaan. Bagi mereka, sekali layar berkembang surut untuk berpantang.

Kalau kita cermati lebih dalam, eksploitasi hutan ini berkorelasi dengan lemahnya kontekstualitas politik hijau pemerintah. Memang benar, hingga kini, negara masih jauh dari sifat green-friendly, apalagi berorientasi hijau. Hal ini tak bisa kita mungkiri, negara terus membuat tameng dan melindungi para korporat global dengan mengatasnamakan investasi-demi pembangunan. Padahal, dampak eksploitasi hutan ini tidak hanya merembet dan menyusupi masyarakat setempat.

Dengan masifnya eksploitasi tersebut, negara-negara lain akan terimbas. Misal seperti kebakaran hutan di Riau tahun lalu yang membuat negara Malaysia dan Singapura geram. Perihal ini, pemerintah Indonesia kemudian tanggap dan mulai mencari solusi, tapi sampai sekarang kejadian yang sama masih terjadi.

Singkatnya, kita mulai bergerak ketika ada bencana, mitigasi dikesampingkan. Sialnya, setelah bergerak, pergerakan itu tidak berimbas signifikan terhadap perbaikan kondisi hutan kita. Semua serba salah, oleh karena pemerintah terus mengambil jalan yang salah. Terkesan pragmatis dan tak terencana.

Bahkan Boff (teolog asal Brasil) menguraikan betapa kerusakan ekologi (hutan misalnya) berdampak langsung pada kaum papa (sengsara/miskin). Kritik Boff tidak hanya menyasar pada kerusakan lingkungan saja, namun kerusakan lingkungan telah menumpulkan kemampuan alamiah kaum papa dalam bertahan hidup bersama dan dari alam (Boff, 1997: 108).

Orang miskin lebih merasakan dampak yang paling tragis dari bencana lingkungan hidup. Sementara orang kaya mudah terhindar dari banjir, kebakaran, dan lain-lain karena mereka hidup di tempat yang lebih baik, atau karena ada alternatif tempat hidup lain yang layak. Karena itu, upaya menanggulangi krisis ekologi juga berarti upaya mempromosikan kepentingan kaum papa, miskin, dan marginal tersebut.

Paradoks Pembangunan

Keadaan demikian menjadi sebuah paradoks. Di tengah pembangunan global yang terus menggeliat, kesadaran ekologi juga harus dibangun. Benturan dua aliran inilah yang sampai saat ini belum bisa disatukan. Sulit dan tidak mudah. Bagi penulis, masifnya pembangunan ekonomi (apalagi eksploitatif) akan cenderung menafikan sektor ekologi, termasuk hutan ini.

Pun sebaliknya, masifnya kesadaran konservasi ekologi (termasuk hutan) akan cenderung melemahkan pembangunan ekonomi. Karena yang terjadi sekarang adalah perang kapital, SDA sangat terbatas, makanya semua berlomba-lomba menggeliatkan pembangunan ekonomi.

Di sinilah peran pemerintah untuk menengahi masalah tersebut. Kebijakan politik hijau universal harus mulai digalakkan. Politik hijau ini memuat enam prinsip. Pertama, kearifan ekologis, keadilan sosial, demokrasi partisipatoris, tanpa-kekerasan, berkelanjutan dan penghargaan atas perbedaan. Politik hijau memandang bumi sebagai satu kesatuan yang utuh. Pun demikian, perlindungan hutan dan konservasi hutan menjadi bagian dari politik hijau.

Di samping itu, penting bagi kita untuk menumbuhkan intelektualitas ekologi. Intelektualitas ekologi yang saya maksud yakni, kesadaran penuh akar rumput terhadap ekologi. Tingkat pemahaman dan kesadaran itu tumbuh dari masifnya pergerakan yang dilakukan pemerintah dan kelas menengah tentang edukasi ekologi terhadap seluruh elemen. Dengan kesadaran penuh tersebut, niscaya dapat menumbuhkan kesadaran ekologi kolektif untuk menciptakan pembangunan yang berkelanjutan.

Hutan kita sudah terlalu lama dieksploitasi. Kalau bisa berbicara, mungkin mereka akan berteriak dan mencai-maki kita, manusia yang tega mengesploitasinaya demi kepentingan individual, kelompok dan organisasi semata. Hutan adalah sahabat. Sudah selayaknya kita perlakukan ia seperti sahabat. Sahabat lazimnya melindungi.

Pun demikian, kita harus melindungi hutan dan melestarikannya. Karena ini amanat agung yang telah diperintahkan Tuhan kepada kita. Cogito ergo sum, demikian kata Rene Descartes. Mari merenung dan kemudian bertindak.