Pembangunan ekonomi inklusif menjadi urgensi bagi proses penciptaan permukiman yang berkelanjutan. Menurut Bappenas, konsep pembangunan ekonomi inklusif mensyaratkan akses dan kesempatan yang luas bagi seluruh lapisan masyarakat secara berkeadilan, meningkatkan kesejahteraan, serta mengurangi kesenjangan antar kelompok dan wilayah. 

Dalam mewujudkan pembangunan ekonomi inklusif, terdapat tiga pilar utama, antara lain: pertumbuhan dan perkembangan ekonomi; pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan; serta perluasan akses dan kesempatan. Konsep inilah yang kemudian penting untuk diwujudkan dalam mengiringi proses pembangunan permukiman yang berkelanjutan.

Pembangunan permukiman yang berkelanjutan berusaha untuk memastikan keseluruhan warga masyarakat di dalamnya memiliki kesempatan yang setara untuk mengakses hak-hak dan kepentingan mereka. 

Sesuai dengan Sustainable Development Goals (SGDs) poin ke 11, pembangunan permukiman yang berkelanjutan sangat penting dalam membangun wilayah yang nyaman dan sejahtera bagi masyarakat yang ada di dalamnya. 

Poin ini memiliki dimensi salah satunya yakni pembangunan ekonomi yang meliputi penguatan sistem pembayaran hingga kolaborasi antara pemerintah daerah, masyarakat, hingga dunia usaha. Dimensi ini harus dicapai secara optimal dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kesenjangan serta kemiskinan.

Hingga saat ini, dinamika pembangunan sering kali menggerus banyak individu dan kelompok masyarakat sehingga mereka tidak memiliki kesempatan untuk mengakses sumber daya ekonomi yang layak. 

Individu-individu ini kemudian menjadi kelompok rentan, yang eksistensinya di kehidupan sosial kerap kali terancam tertinggal dari narasi pembangunan yang ada. Lebih lanjut kelompok-kelompok rentan yang ada di masyarakat dapat diidentifikasi menjadi banyak kategori. 

The Asia Foundation (2016) menyebutkan setidaknya terdapat 6 kelompok rentan di Indonesia yang tidak mendapatkan jaminan sosial dari pemerintah, diantaranya anak dan remaja rentan, komunitas masyarakat adat, agama minoritas, korban pelanggaran HAM, transgender, dan penyandang disabilitas. Kelompok ini rentan tertinggal dalam wacana pembangunan karena akses mereka dalam perekonomian masih relatif rendah.

Sebagai gambaran mengenai ketertinggalan ekonomi kelompok rentan ini salah satunya ditunjukkan dengan kelompok penyandang disabilitas. Temuan di lapangan menunjukkan dari keseluruhan jumlah penyandang disabilitas di Indonesia, pada tahun 2019 hanya sebesar 45,90%yang memiliki pekerjaan (Badan Pusat Statistik, 2019). Hal ini menunjukkan betapa rentannya kelompok ini terhadap pembangunan ekonomi yang ada. 

Data pada tahun 2019 memperlihatkan bahwa hanya 1 dari 10 penyandang disabilitas usia 15 tahun ke atas yang memiliki ijazah minimal SMA/sederajat, sehingga tidak heran mereka mengalami kerentanan berlapis di tengah narasi pembangunan.

Lebih lanjut beberapa kelompok minoritas lainnya hingga saat ini cukup kesulitan mendapatkan layanan sosial dari pemerintah, seperti identitas dan pengakuan. Dalam bentuk konkret, banyak dari kelompok ini yang sulit untuk mengakses pendidikan, kesehatan, administrasi sosial, hingga pekerjaan.

Akibatnya, mereka menjadi sangat rentan terhadap kemiskinan dan ketimpangan sosial yang ada di suatu masyarakat. Oleh karena itu dapat dilihat bahwasanya masyarakat Indonesia hingga saat ini masih sangat rentan terhadap perubahan sosial yang mungkin terjadi selama proses pembangunan itu sendiri.

Pandemi Covid-19 juga sangat berdampak pada perekonomian masyarakat. Pendapatan masyarakat turun drastis, dan menyebabkan pengangguran hampir di seluruh lapisan masyarakat. Situasi ini jelas menciptakan kelompok rentan baru yang terancam jatuh miskin. 

Maka dari itu penting kemudian untuk menciptakan upaya-upaya yang mendorong inklusivitas perekonomian bagi seluruh lapisan kelompok masyarakat secara representatif. Ruang-ruang yang inklusif ini dapat mendorong masyarakat secara keseluruhan untuk dapat memenuhi setidaknya hak-hak dasar dalam kebutuhan hidupnya. 

Pemerintah saat ini telah banyak menginisiasi pembangunan inklusivitas sebagai bagian dari pemberdayaan ekonomi masyarakat Indonesia. Salah satu inisiasi yang ada tercermin dalam Surat Edaran Dirjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi RI No 6 tahun 2020 mengenai Panduan Fasilitasi Desa Inklusi. 

Program ini merupakan suatu inovasi yang ditargetkan untuk terjadinya penguatan nilai-nilai di desa tentang keterbukaan, keramahan, kesetaraan toleransi, dan sikap saling menghargai. Peningkatan partisipasi masyarakat rentan juga menjadi target dalam program ini. 

Selanjutnya, melalui program desa inklusif, pemerintah desa juga diharapkan dapat menjamin teraksesnya sumber daya desa bagi seluruh masyarakat di dalamnya, yang kemudian akan membawa pada pemenuhan hak-hak masyarakat serta terciptanya kehidupan yang berkeadilan sosial.

Desa inklusif adalah sebuah tempat atau wilayah di mana setiap orang di dalamnya berhak berpartisipasi dalam seluruh kegiatan pembangunan desa. Awal terbentuknya konsep desa inklusif sendiri sebenarnya dimulai dari Rintisan Desa Inklusi (Rindi) di beberapa desa yang terletak di Kabupaten Kulon Progo.

Program tersebut pada awalnya hanya berfokus pada pentingnya isu disabilitas semata. Namun, dengan mempertimbangkan banyaknya masyarakat rentan di luar disabilitas, program desa inklusi di bawah Kemendesa kemudian mengembangkan tujuan desa inklusi pada kelompok rentan lainnya, seperti penghayat kepercayaan, perempuan, hingga transgender. 

Dalam proses perkembangannya, desa inklusif menitikberatkan pada penguatan sikap saling menghargai atau toleran antara warga desa yang memiliki banyak keragaman. Hal tersebut ditujukan agar tidak ada lagi masyarakat desa yang terkucilkan, sehingga siapa pun yang hidup di dalamnya dapat berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat maupun segala pengambilan keputusan desa yang dilakukan melalui musyawarah mufakat. 

Relevansi Desa Inklusi dalam pembangunan ekonomi inklusif sangatlah baik. Hal ini dikarenakan upaya dari inisiasi ini yang mendorong terbentuknya partisipasi secara aktif seluruh warga masyarakat ke dalam ruang-ruang sosial yang ada. Dengan partisipasi yang aktif tersebut, dapat dipastikan bahwa seluruh warga masyarakat akan semakin inklusif. Artinya masyarakat memiliki kesempatan yang sama satu dengan yang lain untuk memiliki aksesibilitas terhadap sumber daya sosial, termasuk sumber daya ekonomi.

Lebih lanjut, pembangunan Desa Inklusi mampu mendorong terbentuknya permukiman yang berkelanjutan. Pembangunan dimulai dari unit kelembagaan yang paling sederhana dalam masyarakat yakni desa. Harapannya kegiatan ini dapat merambah ke dalam dimensi yang lebih besar lagi, seperti adanya kabupaten/kota inklusif. 

Dengan demikian akan tercipta suatu lingkungan masyarakat yang suportif terhadap seluruh masyarakat yang tinggal di dalamnya, terlebih aktivitas sosial yang menjamin kesejahteraan warga masyarakat.

Namun dalam pelaksanaannya, mewujudkan ruang inklusif bagi seluruh warga masyarakat tidak mudah. Tantangan utama bagi proses ini adalah masih rendahnya edukasi masyarakat terhadap konsep inklusi sosial. Hal ini yang kemudian masih banyak menimbulkan diskriminasi dan pembatasan terhadap beberapa kelompok di dalam masyarakat.

Selanjutnya sistem data yang masih belum terintegrasi secara optimal tidak dapat merepresentasikan kebutuhan kelompok rentan di Indonesia. Lebih lanjut, belum memadainya jaminan dan layanan sosial serta fasilitas publik yang dapat diakses masyarakat secara inklusif. Meskipun regulasi dari pemerintah telah diterbitkan, namun pelaksanaan yang ada di lapangan masih belum optimal. 

Karena itu penting untuk mengutamakan proses edukasi melalui serangkaian upaya internalisasi dan sosialisasi. Edukasi dalam hal ini merupakan proses pemahaman terhadap konsep inklusivitas terhadap seluruh warga masyarakat yang ada. 

Kegiatan edukasi juga bertujuan pemahaman atas regulasi yang telah ditetapkan kepada satuan pemerintahan pada level sub-nasional. Dengan demikian, maka implementasi dari proses perwujudan perekonomian yang inklusif ini dapat terbentuk optimal.

Pembangunan ekonomi yang inklusif dan juga pembangunan kota yang berkelanjutan merupakan suatu kesatuan sebab-akibat yang saling melengkapi satu sama lain. Artinya dengan adanya upaya penciptaan ekonomi yang inklusif akan dapat memberi sumbangsih dalam pembangunan kota yang berkelanjutan, begitupun sebaliknya. 

Namun bagaimanapun juga proses pembangunan tersebut harus terlebih dahulu dimulai dengan menciptakan suatu masyarakat yang inklusif. Dengan adanya masyarakat yang inklusif, maka akan mampu mendorong partisipasi keseluruhan masyarakat secara representatif.


Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik. 2019. Survei Angkatan Kerja Nasional. Badan Pusat Statistik. Jakarta.

Suzanna, E., Hendrie A, K., dan Hempri, S. 2020. Menyelamatkan Kelompok Rentan: Kebijakan Inklusif Penanganan Dampak Covid-19. Policy Brief. Fisipol UGM. Yogyakarta.

The Asia Foundation. 2016. Understanding Social Exclusion in Indonesia: A Meta-Analysis of Program Peduli’s Theory of Change Document. The Asia Foundation. Jakarta.

World Bank. 2013. Inclusion Matters: The Foundation for Shared Prosperity. New Frontiers of Social Policy. Washington DC.