Dari zamannya kuda gigit menyan sampai zamannya kuda gigit mantan, pelecehan seksual masih saja sering terjadi dan masih banyak masyarakat luas yang tidak memedulikan serta menganggap pelecehan seksual adalah masalah yang remeh.

Ditambah pemerintah belum juga mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang turut mendukung hilangnya kasus pelecehan seksual di Indonesia. Akibatnya, pelecehan seksual masih marak terjadi dimana-mana.

Pelecehan seksual tidak hanya dialami oleh kaum wanita saja, melainkan pada kaum pria pelecehan seksual juga sering terjadi. Namun, hanya satu dari sepuluh orang yang mampu untuk speak up. Kenapa?

Menurut analisis asal-asalan saya, salah satu penyebab, yang, menjadikan kaum pria lebih memilih diam ketimbang speak up mengenai pelecehan seksual yang dialaminya. Karena stereotip masyarakat terhadap kaum pria yang speak up tersebab mendapatkan pelecehan seksual baik verbal maupun non verbal dianggap pria yang lemah, dan berbagai lebeling lainnya yang menggambarkan pria itu tidak sesuai pada kodratnya. Karena sejak dini kaum pria sudah tersuntik doktrinisasi maskulinitas pria sebagai pelindung, masak ya sebagai pelindung malah minta dilindungi.

Perspektif masyarakat Indonesia terhadap pelecehan maupun kekerasan seksual terhadap pria bisa dikatakan hanya melihat dari satu sudut pandang. Hal ini didukung oleh pemberitaan kekerasan dan pelecehan seksual terhadap wanita yang selalu mendapat highlight, sedangkan ketika hal tersebut terjadi pada kaum pria, yang terjadi adalah sebaliknya.

Salah satu hal yang membuat korban kekerasan atau pelecehan seksual pada kaum pria khususnya, cenderung lebih menutup diri atau enggan untuk speak up dikarenakan respon negatif dari masyarakat. Meskipun sudah terang bahwa ia berstatus sebagai korban, seringkali masyarakat memberikan komentar dan tuduhan menyakitkan terkait bagaimana korban seharusnya bisa membela diri atau bagaimana korban berprilaku serta berpenampilan.

Dalam hal ini, konteks pelecehan pada kaum pria, seringkali maskulinitas mereka dipertanyakan. Beberapa kriteria “maskulinitas pada pria” yang ideal di masyarakat adalah kekuatan fisik, membela diri, hingga memiliki kontrol terhadap hal-hal yang menyangkut pada dirinya.

Ketika seorang pria menjadi korban kekerasan atau pelecehan seksual dari sesama pria, seringkali mereka menjadi ketakutan dan mulai mempertanyakan orientasi seksual mereka. Identitas subyek menjadi terganggu karena rasa gelisah, apakah setelah mereka menjadi korban pelecehan dari pria, mereka akan menjadi gay? Tidak hanya dialami oleh sang korban, pemikiran tersebut sangat mungkin dirasakan oleh masyarakat yang mendengar kasus tersebut.

Sebab, masyarakat menganggap bahwa menjadi korban tidak masuk dalam kriteria maskulinitas pria, jika paradigma masyarakat masih terus begitu, justru itu akan membuat maskulinitas kehilangan maknanya. Ketika pelecehan atau kekerasan itu dilakukan oleh perempuan, korban laki-laki tidak serta merta berada dalam posisi yang lebih mudah. Selama ini, stigma masyarakat berputar pada anggapan bahwa ketertarikan seksual dimulai oleh kaum pria. Maka masyarakat menganggap jika pria mengalami pelecehan seksual sudah tidak selazimnya.

Beberapa kasus pelecehan seksual terhadap pria juga dialami oleh kawan saya. Begini kira-kira cerita beliau. "Pada saat itu saya sedang olahraga kebugaran di salah satu tempat olahraga kebugaran yang berada di kawasan kota Depok"

"Ketika saya sedang melakukan kegiatan olahraga kebugaran, alat vital saya dipegang oleh seorang wanita. Awalnya saya hanya berusaha menghindar, namun wanita itu selalu mengikuti saya"

"Saya merasa tidak nyaman, dan saya merasa telah kehilangan harga diri saya"

Ketika teman saya bercerita kepada teman yang lain, mereka malah mengejek sang korban (teman saya) dan menuduh memiliki kelainan seksual karena menghindari gangguan dari seorang wanita.

Beban kesalahan yang dialami korban seringkali karena mereka dianggap melanggar norma atau berseberangan dengan pemahaman umum, bahkan agama. Fenomena ini menjadi salah satu hambatan bagi korban dalam mengakses keadilan baginya, karena tidak hanya masyarakat umum, bahkan aparat penegak hukum dan pejabat publik juga kerap mengeluarkan selentingan serupa.

Kasus pelecehan seksual pun dialami oleh salah satu pegawai di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, oleh rekan kerjanya, yang beritanya mencuat di media sosial belakangan ini. Ini membuktikan, bahwa pelecehan seksual dapat meng-invasi ke segala penjuru, baik pada masyarakat akar rumput bahkan sampai di ranah instansi pemerintahan pun masih dapat terjadi.

Peraturan perundang-undangan selama ini terkait korban dinilai masih bersifat parsial dan belum komprehensif dalam menangani kasus kekerasan seksual, serta lebih banyak berorientasi pada pemidanaan pelaku. Padahal, korbanlah yang menderita lahir dan batin, serta trauma berkepanjangan terhadap kekerasan seksual yang ia alami. RUU PKS dengan didukung oleh berbagai elemen masyarakat, diharapkan memiliki fundamental berperspektif korban, terutama terkait pemulihan korban kekerasan seksual.

Maka sebab itu, Rancangan Undang-undang Penghapusan Pelecehan Seksual (RUU PKS) merupakan payung hukum yang komprehensif dan harus segera di sahkan.

Agar masyarakat dapat sadar bahwa tindak kejahatan seperti kekerasan atau pelecehan seksual dapat terjadi pada siapa saja, bahkan dapat terjadi pada orang-orang terdekat, maka dari itu, mari peduli, mari lindungi, stop pelecehan seksual!!

DAFTAR PUSTAKA

Kirnandita, Patresia. (2017). Pelecehan Seksual Juga Dialami Laki-Laki. Diakses pada Januari, 23, 2019, dari https://tirto.id/pelecehan-seksual-juga-dialami-laki-laki-czty