RUU Ketahanan Keluarga, yang sejak beberapa hari yang lalu mulai dipublikasikan di media, telah menimbulkan kehebohan. Banyak kalangan menilai RUU yang terdiri dari 146 pasal ini memberi kekuasaan negara untuk memasuki wilayah privat warganya.
Beberapa pasal dinilai kontroversial oleh banyak kalangan. Sebut saja soal pembagian peran suami dan istri. Lalu, aktivitas seksual BDSM dan homoseksual yang disebut menyimpang sehingga wajib direhabilitasi.
Selain itu, donor sperma dan ovum, juga praktik sewa rahim, dianggap sebagai tindak pidana. Belum lagi tentang pemisahan kamar di rumah bagi saudara laki-laki dan perempuan yang bermaksud mencegah perilaku incest.
Di tulisan ini, saya hanya akan memfokuskan pada polemik yang menyoroti kewajiban suami dan istri di pasal 25 ayat 2 dan 3. Pada prinsipnya, saya sepakat bahwa RUU Ketahanan Keluarga sudah membawa negara terlalu jauh untuk mencampuri urusan keluarga yang notabene adalah ruang privat.
Argumentasi atas perlunya undang-undang yang mengatur ketahanan keluarga dilatarbelakangi oleh fakta kerentanan keluarga. Fakta tersebut, oleh para penggagas RUU Ketahanan Keluarga, tercermin dari tingginya angka kematian ibu, banyaknya jumlah anggota masyarakat yang belum memiliki tempat tinggal yang layak, akses air bersih dan lingkungan sehat yang menyebabkan tingginya tingkat penularan penyakit.
Problem lainnya adalah meningkatnya jumlah perceraian, pengguna narkoba, pornografi, KDRT, kejahatan seksual, dan sejenisnya.
Saya tidak melihat adanya hubungan logis antara argumentasi yang disebutkan dengan perlunya negara mengatur persoalan keluarga. Alasan-alasan itu terkesan menjadi rasionalitas yang dipaksakan.
Ideologi Gender ala Orde Baru
Mari kita tengok pasal 25 ayat 2 dan 3 yang menjadi keberatan saya, yang membahas kewajiban suami dan istri. Ayat 2 mengatur kewajiban suami, yaitu:
(a) sebagai kepala Keluarga yang bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan dan kesejahteraan Keluarga, memberikan keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, dan bertanggung jawab atas legalitas kependudukan Keluarga;
(b) melindungi keluarga dari diskriminasi, kekejaman, kejahatan, penganiayaan, eksploitasi, penyimpangan seksual, dan penelantaran;
(c) melindungi diri dan keluarga dari perjudian, pornografi, pergaulan dan seks bebas, serta penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya;
(d)melakukan musyawarah dengan seluruh anggota keluarga dalam menangani permasalahan keluarga.
Sementara ayat 3 mengatur kewajiban istri, seperti:
(1) wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya;
(2) menjaga keutuhan keluarga;
(3) memperlakukan suami dan anak secara baik, serta memenuhi hak-hak suami dan anak sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Banyak kalangan menilai pasal ini membawa Indonesia mundur kembali ke era Orde Baru yang telah mereduksi peran suami dan istri. Pye & Pye (1985) memperkenalkan konsep bapakism di era Orde Baru. Intinya adalah negara memberikan kekuasaan pada laki-laki atas istri dan anak-anaknya. Konsep ini menitikberatkan peran suami sebagai kepala keluarga.
Senada dengan Pye & Pye, Julia Suryakusuma (1988) lewat konsep state ibuism juga menegaskan bahwa Orde Baru telah menempatkan tugas dan peran perempuan pada wilayah domestik sesuai dengan fungsi reproduksinya.
Saya juga sepakat dengan keberatan banyak pihak pada pasal ini, yang kembali menguatkan kultur patriarki dan upaya domestifikasi perempuan. Pasal ini dinilai merugikan perempuan. Perempuan dipaksa untuk kembali ke rumah, mengatur rumah tangga sebaik-baiknya, mengurus anak, juga memenuhi hak suami dan anak.
Para aktivis gender selama ini telah melakukan advokasi dan edukasi dengan tujuan memberdayakan perempuan di luar wilayah domestik. Pasal 25 jelas mencederai perjuangan tersebut dengan menghalangi perempuan untuk berperan di ruang-ruang publik.
Mereduksi Peran Suami
Benar, pasal tersebut menciptakan ketimpangan. Namun, saya merasa jika pihak yang dirugikan atas pasal 25 bukan hanya perempuan. Laki-laki sesungguhnya juga menjadi korban.
Lihat saja daftar kewajiban suami yang disebutkan di ayat 2. Saya jadi merasa kasihan dengan suami saya yang dibebani dengan kewajiban seberat itu. Ia harus menjadi garda depan perlindungan atas keluarga, mulai dari persoalan kesejahteraan, menjaganya dari potensi diskriminasi, kekerasan, narkoba, perjudian, dan sejenisnya.
Suami menjadi tidak mendapat ruang untuk berekspresi di wilayah domestik. Saya yakin banyak suami-suami yang dengan senang hati meluangkan waktunya untuk memasak, membersihkan rumah, menggendong dan menyuapi anak-anaknya. Kewajiban suami yang tercantum di ayat 2 jelas-jelas menafikan aspek femininitas para suami, dengan hanya menonjolkan sisi maskulinnya semata.
Kewajiban-kewajiban istri yang sangat domestik membuat tidak diakuinya peran suami dalam pengasuhan anak-anak. Ini sungguh tidak adil. Saya sering menyaksikan para suami yang sangat telaten merawat dan mendidik anak-anaknya.
Bukankah ini merupakan bentuk pelecehan para suami yang dilakukan oleh negara?
Suami dan istri seharusnya bisa saling berkolaborasi dalam memperkuat ketahanan keluarga. Apa dan bagaimana peran dan fungsi suami istri sebaiknya cukup menjadi kesepakatan kedua belah pihak. Tidak perlu ada negara di antara mereka.
Negara tidak seharusnya ikut campur dengan menggeneralisasi urusan rumah tangga. Keluarga yang satu tidak selalu memiliki masalah yang sama dengan keluarga yang lain. Jadi janganlah disederhanakan dengan membuat aturan baku soal kewajiban suami-istri yang sangat bias gender dan bias kelas.
Jika negara ingin menguatkan ketahanan keluarga, negara harus menjamin kesejahteraan ekonomi keluarga, menyediakan fasilitas kesehatan, memberikan perlindungan anak, menghentikan peredaran narkoba, dan hal-hal penting lainnya. Itulah tugas negara dalam rangka menjamin kesehatan, keamanan, dan kesejahteraan warganya.
Untuk itulah saya mendukung upaya untuk menolak RUU Ketahanan Keluarga. RUU Ketahanan Keluarga bukan hanya mendiskriminasi perempuan, tapi juga tidak adil bagi laki-laki.
Maskulinitas yang Rapuh
RUU Ketahanan Keluarga memang berupaya untuk melanggengkan kultur patriarki. Menjadi makin rumit tatkala akhirnya kultur patriarki tidak hanya menempatkan perempuan sebagai korban, tapi juga laki-laki.
Konsep laki-laki yang maskulin dan superior justru membebani laki-laki. Laki-laki dianggap gagal ketika ia tidak mampu memberikan nafkah yang layak bagi keluarga, sehingga ia merasa perlu menunjukkan superioritasnya lewat cara yang lain; kekerasan, misalnya. Inilah yang disebut sebagai maskulinitas yang rapuh (fragile masculinity).
Bukankah beban laki-laki menjadi lebih ringan jika urusan nafkah menjadi tanggung jawab bersama istri? Urusan mencari nafkah bukan monopoli suami, sebagaimana urusan rumah tangga juga bukan semata-mata tanggung jawab istri. Semuanya akan terasa lebih mudah jika saling berbagi tugas dan peran dengan setara sesuai potensi masing-masing.
Male domination culture memosisikan laki-laki dengan sifat maskulinitasnya yang superior. Sementara perempuan berada di bawah posisi laki-laki dengan segala sifat femininitasnya. Kultur ini sudah dinormalisasi sedemikian rupa, sehingga potensi RUU Ketahanan Keluarga yang tidak adil bagi laki-laki kurang begitu disadari oleh kaum laki-laki sendiri.
Laki-laki sudah telanjur menerima secara taken for granted tentang peran suami sebagai pemimpin rumah tangga, pencari nafkah, dan segala aspek maskulin lainnya. Akibatnya, mereka merasa sudah sewajarnya untuk dibebani seabrek kewajiban yang sangat maskulin seperti yang ada di pasal 25 ayat 2.
Untuk itu, bukan hanya perempuan yang perlu disadarkan tentang potensinya di luar wilayah domestik. Kaum laki-laki juga perlu didorong membangun kepercayaan dirinya untuk tidak menjadi superior. Tuntutan laki-laki untuk dominan dan diunggulkan justru menciptakan maskulinitas yang rapuh.
Epilog
Sesungguhnya, manusia, baik laki-laki dan perempuan, dianugerahi sifat feminin dan maskulin. Pembatasan peran dan fungsi laki-laki dan perempuan justru mengingkari anugerah Tuhan.
Untuk itu, kita perlu mengkritisi dan melawan segala bentuk pengingkaran anugerah Yang Maha Kuasa. Pasal 25 RUU Ketahanan Keluarga adalah salah satu wujud pengingkaran tersebut.