Lelaki itu, terbangun dari tidurnya yang lelap. Maklum, ketika adzan subuh ia baru saja tertidur, setelah se-malaman nongkrong dan meminum kopi bersama teman-temannya. Cahaya matahari telah merasuki ruangan kamar kosannya yang pengap dan lusuh, melalui celah-celah jendela yang merupakan satu-satunya jalan udara masuk ke ruangan itu.
Dengan posisi yang masih terlentang, ia meraih ponselnya, mencoba melihat siapa saja yang menghubunginya. Hanya pesan-pesan dari grub yang ia acuhkan, tak ada niatan sama sekali untuk membalas pesan-pesan itu.
Kemudian, ia melihat story-story yang ada, lagi-lagi tak ada yang ia cari. Lelaki itu, mencuci muka di kamar mandi, lalu memasak air dengan tujuan membuat secangkir kopi, ia lalu membawanya kembali ke kamarnya. Ia meraih sebatang rokok dan menyulutnya pelan-pelan.
Dan kembali membuka ponsel yang minim perhatian itu. Membuka galeri dan memandang satu foto yang masih tersimpan rapi disana. Hanya kenangan masa lalu yang menguap, menyesakkan dada lelaki itu. Ia baru saja menjadi sarjana, ada kebanggaan dan juga ada kekhawatiran.
Semuanya bercampur aduk menjadi kesatuan seperti negara yang berdemokrasi. Ia masih mengingat pertama kali bertemu dengan seorang perempuan yang duduk satu meja dalam perpustakaan kampus. Dari sana, suatu kisah bermula. Kisah yang bisa saja menjadi novel atau bahkan film sekalipun, menurutnya.
Nama perempuan itu ialah Ira. Tak ada yang menarik darinya. Namun, ia berbeda dengan perempuan-perempuan saat ini. Ira, gadis yang sangat sederhana. Ia tak pernah meminta macam-macam seperti gadis yang ketika di dekati merasa dirinya seperti ratu dan lelakinya bagai pelayan raja. Ira, tak seperti itu, ia menjadi apapun yang lelaki itu butuhkan.
Lelaki itu adalah aku. Aku tak terperdaya olehnya, seperti kertas yang basah oleh air. Ia telah menemani masa studiku dengan bermacam-macam pengalaman. Dari yang menyenangkan sampai yang paling pahit sekalipun, ia disampingku. Memerhatikan apapun yang kulakukan dari bangun tidur sampai tidur lagi.
Tentang makanan yang akan aku makan, tentang sholat lima waktu, bahkan tentang baju yang akan aku pakai, ia selalu peduli bagai seorang ibu. Sekali lagi, aku takluk oleh ketulusannya. Padahal, seperti kebanyakan lelaki lainnya, aku tak paham tentang perasaan. Bagiku, jatuh cinta adalah tindakan yang paling kontroversi yang pernah manusia perbuat.
Bagaimana tidak, jatuh cinta bisa saja membuat manusia merasa putus asa sedalam-dalamnya. Walaupun bisa juga sebaliknya. “Ira, kita takkan bisa bersama. Kali ini, berpisah adalah jalan akan kita lewati.” Kataku dalam kalimat terakhir yang aku kirimkan padanya. Aku menjauh, dari ketulusan dan kelembutannya yang bagiku, terlalu pantas aku dapatkan.
Sedangkan, aku sadar. Lelaki yang terlalu beruntung bersamanya. Ira, perempuan yang baik. Tak pantas perempuan itu menderita dari kehidupannya yang baik-baik saja, hanya demi lelaki sepertiku, sungguh tak pantas. Lelaki yang makan saja masih bergantung dari kiriman orang tuanya, lelaki yang masa depannya penuh dengan tanda tanya.
Sudah beberapa bulan aku hidup tanpa adanya kelembutan dari perempuan yang aku temui di perpustakaan kampus itu. Aku mengerti, sudah beberapa kali teman-temannya menyuruh Ira untuk meninggalkanku. Namun, ia bertahan seperti ideologi. Aku benar-benar tidak mengerti. Betapa beruntungnya aku.
Tapi, aku tetap menjauh dari perempuan itu. Aku tak peduli dengan perasaannya, yang kupedulikan hanyalah kebahagiaannya, menurutku. Lantas aku bersembunyi dari kelembutan perempuan itu, tidak ada yang dapat perempuan itu banggakan dariku. Tentang kemapanan pun aku belum mendapatkan pekerjaan.
Tentang fisik pun, aku pun tak termasuk. Apalagi tentang nasab, tak ada lelaki yang bisa disebut sebagai lelaki sejati hanya dengan membanggakan nasab. Aku hanyalah sarjana yang menganggur seperti pada umumnya. Ira, semoga engkau mengerti apa maksudku.
Terakhir aku bertemu dengan perempuan itu ketika aku dan ia melakukan sidang di hari yang sama, tak ada keakraban yang selama ini bernafas diantara kita berdua. Hanya sikap dingin yang membeku bagai orang asing seperti sediakala. Suatu hal yang wajar bagi dua manusia yang telah bersama kemudian berpisah, menurutku.
Kemarin, aku mendengar kabar bahwa perempuan yang satu-satunya bernama Ira itu, telah bertunangan dengan seorang polisi yang gagah. Aku senang dan merasa gagal sebagai lelaki. Perempuan yang dapat disebut sebagai apa itu cinta, telah memiliki seorang pasangan yang bukan aku.
Aku melihat dalam foto yang dikirimkan oleh temanku, raut wajah yang muram. Wajah yang tak asing selama aku berkuliah. Wajah yang kupandangi saat ini. Seorang perempuan yang bernama Ira. Seorang perempuan, putri seorang Kyai yang sedang bertunangan dengan perwira polisi yang gagah.
Tepat sekali, bukan bertunangan dengan lelaki pengecut, seorang sarjana yang menganggur. Lelaki yang kesehariannya hanya berisi tentang meminum kopi, membaca dan menulis. Ira, semoga engkau tidak lupa, tentang lelaki yang menyebalkan dan lucu, yang kadang-kadang membuat raut wajahmu yang ayu itu cemberut dan manja.
Ira, bersamamu adalah satu-satunya tindakan paling kontroversi yang pernah aku perbuat. Karena, aku mencintaimu. Ira, aku harap engkau bahagia dengan polisi itu. Seperti kebahagiaan sarjana yang menganggur ini melihat kebahagiaan dalam dirimu. Lelaki itu pun termenung beberapa saat, sudah cukup baginya mengingat kisah yang lalu.
Ia pun bergegas mandi dan mencari makan. Menjalani keseharian seperti biasa, walau ada yang kurang, dan ada yang pergi. Kini, ia sendiri menghadapi dunia dengan tetap berusaha bersikap acuh terhadap masa lalu, walau kenangan akan perempuan itu kerap kali hadir dalam bayang-bayang ingatan sebelum tidur.