Setelah mengurai beberapa dasar terhadap kriminalisasi zina (baca: Zina Dipidana, Apa Dasarnya?), tulisan ini akan lebih spesifik membahas pandangan Islam terhadap delik (jarimah) zina yang sedang menjadi kontroversi. Perlu ditegaskan kembali bahwa delik zina yang dimaksud dalam tulisan ini adalah Pasal 484 Ayat 1 huruf a s/d e Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Sebagaimana diketahui, pasal-pasal yang berkaitan dengan susila dalam RKUHP banyak dipengaruhi oleh hukum pidana Islam. Sebagian orang malah berani menyebutnya sebagai upaya Islamisasi (dalam konotasi negatif) terhadap hukum pidana nasional. Setidaknya, berat dugaan bahwa Islam telah dibawa-bawa dalam proses legislasi, kata mereka.
Padahal, sekalipun dipengaruhi oleh Islam, apakah layak dipersoalkan? Lalu bagaimana dengan pengaruh-pengaruh lainnya? Bukankah sudah semestinya segala ide, cara pandang dan bahkan ideologi harus diadu untuk mencari rumusan delik yang terbaik? Lantas, bagaimana kita menejelaskan bahwa KUHP sekarang tidak dipengaruhi oleh agama tertentu?
Anggaplah delik zina (atau susila pada umumnya) dipengaruhi oleh Islam, apakah lantas Islam dan masyarakatnya menyetujui anggapan ini? Dengan kata lain, islamikah pasal zina dalam RKUHP sekarang? Mereka yang belajar hukum pidana Islam pun butuh merenung dan memikirkan masak-masak untuk menjawab persoalan ini. Jawaban mereka juga tentu tidak seragam.
Penjelasan berikut hanya mengacu pada pandangan bahwa pasal zina dalam RKUHP belum seislami yang diharap atau ditakutkan. Pandangan ini kiranya yang lebih dominan dari pandangan lainnya. Alasannya karena firman Allah berikut:
Larangan zina: “Dan janganlah kamu mendekati zina, karena sesungguhnya zina itu adalah faahisah (perbuatan yang keji) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh oleh seseorang)” [Al-Israa: 32].
Pidana zina: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera” [An-nur: 2].
Di dalam literatur hukum pidana Islam serta pandangan mayoritas muslim mengklasifikasikan zina sebagai hudud, di mana rumusan delik, pola pembuktian, hukuman, bahkan pelaksanaan hukumannya merupakan ketetapan; bukan seuatu yang kompromistis. Itu sebabnya terjadi gelombang protes di Aceh (walau dapat diredam) ketika pelaksanaan hukuman cambuk dipindahkan ke Lapas.
Delik yang tergolong ke dalam jenis hudud dinalar sebagai ibadah oleh umat Islam di mana pelaksanaannya diterima apa adanya. Jika disebut hukumannya 100 kali cambuk, tidak maka tidak boleh ditambah atau dikurangi.
Selanjutnya, delik zina ini juga diklasifikasikan sebagai delik umum (hak Allah) yang dibagi menjadi dua kategori: muhshan dan ghairu muhshan. Empat orang saksi adalah wajib dalam perkara ini. Adapun sanksi terhadap delik pertama adalam rajam (dilempari pakai batu hingga mati) dan cambuk 100 kali bagi zina ghairu muhshan.
Di Aceh, hukuman rajam belum diterima dan besar kemungkinan akan tidak diterapkan. Adapun pelaksanaan cambuk (jilid) dan rajam harus di depan umum atau di suatu tempat yang dapat disaksikan oleh sekelompok (thaifah) orang beriman.
Bisa dibilang, menurut ukuran di atas, pasal zina yang diatur dalam RKUHP hanya sesuai dari sisi “larangannya”. Artinya, apa yang dilarang dan dianggap zina dalam hukum pidana Islam, demikian pula halnya dengan RKUHP. Selebihnya, RKUHP masih lebih sejalan dengan KUHP sekarang, tentunya dengan beberapa perubahan.
Sanksi zina dalam RKUHP adalah maksimum 5 (lima) tahun penjara, bukan cambuk, apalagi rajam. RKUHP juga mengklasifikasikan delik ini sebagai aduan dan pengadunya juga dibatasi pada suami, istri, atau pihak ketiga yang tercemar. Pengaduan dimaksud juga dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai (Pasal 484 Ayat 2, 3, dan 4).
Dari sisi pembuktian, delik zina dalam RKUHP disamakan dengan pembuktian pada umumnya. Sedangkan dalam hukum pidana Islam, secara eksplisit mensyaratkan adanya 4 (empat) orang saksi. Hal ini belum termasuk syarat-syarat seorang saksi yang relatif berbeda antara hukum pidana nasional dengan hukum pidana Islam.
Jadi, untuk menyatakan kriminalisasi zina sebagai upaya islamisasi atau sesuatu yang islami sekalipun harusnya menyertakan beberapa alasan; apa indikator “islami/islamisasi” yang dimaksud? Apakah lantaran karena sama-sama melarang suatu perbuatan, maka cukup dianggap islami atau adanya upaya islamisasi?
Jika begitu, larangan terhadap Narkoba, pembunuhan, pencurian, ngebut dijalan, tidak memakai helm, menipu, dan banyak perbuatan lainnya harus pula dianggap islami. Sebab, Islam juga melarang perbuatan-perbuatan dimaksud, baik secara eksplisit maupun diketahui setelah menggali maqashid atau prinsip-prinsip syariat.
Jika klasifikasi zina sebagai hudud dengan penejelasannya di atas adalah final, maka setidak ketentuan-ketentuan di atas mutlak menjadi indikatornya. Baru disebut islami jika kriminalisasi zina diikuti dengan menerapkan hukuman cambuk 100 kali dan rajam bagi pezina yang sudah menikah. Alat bukti dalam kasus ini juga harus diubah dengan minimal menghadirkan 4 orang saksi.
Indikator | Hukum Pidana Islam | RKUHP |
Jenis/Klasifikasi | Delik umum | Delik aduan |
Hak Allah | Hak hamba (manusia) | |
Hudud | Ta'zir | |
Alat Bukti | Minimum 4 orang saksi | Minimum 2 alat bukti |
Hukuman | Jilid (cambuk) dan rajam | Penjara maksimum 5 tahun |
Tunggal | Pakai range | |
Pelaksanaan Hukuman | Di depan umum (dipersaksikan oleh sekelompok orang beriman | Di Lembaga Pemasyarakatan |
Terakhir, pelaksanaannya juga harus di depan umum atau di tempat yang dapat disaksikan oleh sekelompok orang beriman. Jika tidak begini, mungkin masih relevan dengan Islam, tapi tentunya tidak dengan ukuran dan penjelasan di atas.
Islam, sejauh yang penulis tekuni, adalah agama yang sangat sangat dinamis dan memiliki banyak pilihan, cara pandang, dan tidak tunggal. Karenanya, penjelasan di atas tentu bukan satu-satunya pandangan Islam. Bahkan, sangat mungkin kesimpulan ini akan bertolak belakang dengan kesimpulan muslim lainnya.