Membaca ulasan-ulasan positif film Imperfect: Karier, Cinta, dan Timbangan (2019) yang bertebaran di portal berita atau media sosial membuat saya penasaran dan ingin menonton juga. Hingga akhirnya menonton film Imperfect menjadi acara keluarga kami di penghujung tahun 2019 lalu.

Saya sepakat dengan ulasan-ulasan yang saya baca. Film ini bagus, menghibur, dan mendidik. Intinya, begitulah. Film ini cukup menyentuh saya karena banyak adegan-adegan di film ini yang mengingatkan saya dengan masa kecil dan masa remaja saya yang kerap menjadi sasaran body shaming dari keluarga karena kulit saya yang gelap, badan saya yang gendut, atau hidung saya yang pesek. 

Semua itu menjadi masa lalu yang tidak mengenakkan yang membuat saya sampai saat ini masih sering merasa insecure dengan tubuh saya.

Tapi bukan itu yang akan saya tuliskan di sini. Saya justru tertarik untuk menuliskan hal lain dalam film Imperfect yang cukup mengganjal sejak awal film ini banyak diperbincangkan hingga saya keluar dari bioskop.

Mengapa Jessica Mila?

Sejak awal, saya tidak cukup sreg dengan pemilihan Jessica Mila sebagai pemeran Rara dalam film ini. Bukan, bukan karena dia aktingnya tidak cukup bagus. Menurut saya, seorang Jessica Mila terlalu sempurna untuk memerankan sosok Rara sebagai figur yang tidak sempurna. 

Bukankah film ini tujuannya mengedukasi penonton untuk mencintai ketidaksempurnaan, lalu mengapa figur sentralnya justru melekat citra yang sempurna.

Semua pasti sepakat dong kalau Jessica Mila itu cantik, berwajah indo, sehingga pasti berkulit terang, bertubuh langsing dengan rambut panjang lurus. Dia memiliki semua elemen-elemen tubuh yang memenuhi standar kecantikan masa kini.

Tapi bukannya Jessica Mila di film Imperfect sudah bertransformasi menjadi Rara yang bertubuh gemuk, berkulit gelap, dan berambut ikal? Ya, memang dia sudah totalitas dalam berakting. Puja dan puji pun banyak ditujukan padanya. 

Hal itu mengingatkan saya pada Christian Bale, seorang aktor watak Hollywood yang rela menaikkan atau menurunkan berat badannya secara ekstrem demi tuntutan peran. Cek saja film The Machinist (2003) atau The Fighter (2010) yang membuatnya menjadi sangat-sangat kurus, dan Bale yang mendadak gendut di film American Hustle (2013) atau Vice (2018). 

Dalam hal ini, saya angkat topi dengan Jessica Mila. Saat baca kisah dia untuk menaikkan berat badannya sebanyak 10 kg secara instan hingga kemudian menurunkannya lagi adalah perjuangan yang sangat berat, karena saya sering melakukan hal yang sama. Cuma bedanya, saya berjuang untuk menurunkan, bukan menaikkan berat badan.

Itulah sumber ganjalan yang saya sebutkan tadi. Daripada menuntut artis untuk mengubah bentuk tubuhnya, kenapa tidak sekalian mencari artis yang memang bertubuh gemuk dan berkulit gelap? Kalau niatnya untuk mengedukasi tentang penghargaan atas tubuh, mengapa akhirnya film ini terjebak lagi pada standar kecantikan ala industri?

Ernest Prakasa dan tim produksi bisa menemukan sosok-sosok bertubuh alternatif untuk pemeran Netty yang bertubuh sintal; Maria yang berkulit gelap dan berambut keriting; Endah yang bergigi berantakan dan Prita yang bertompel. Lalu mengapa tidak untuk pemeran Rara? 

Penonton seperti saya yang tersenyum bahagia melihat ending film ini menjadi insecure lagi saat melihat Jessica Mila muncul di acara infotainment dengan tubuh sempurnanya. Edukasi itu sebuah proses panjang dan berkelanjutan. Tidak cukup hanya menonton satu film lalu seseorang akan mengubah mindset-nya yang sudah tertanam sejak lama. 

Praktik Washing di Film

Dalam kajian film, kita kenal istilah whitewashing, yaitu praktik casting di industri film di mana aktor/aktris kulit putih memerankan karakter non-kulit putih; atau ciswashing, di mana peran transgender dalam film dimainkan oleh aktor/aktris straight

Contoh praktik whitewashing dan ciswashing adalah ketika Jake Gyllenhall, seorang aktor Amerika memerankan tokoh Dastan dalam film Prince of Persia: The Sands of Time (2010), atau saat Jared Letto memerankan tokoh Rayon, seorang transgender dalam film Dallas Buyers Club (2013). Di film ini, Jared Letto sukses membawa pulang piala Oscar.

Baik whitewashing maupun ciswashing menjadi masalah besar dalam film-film Hollywood karena telah mereduksi pengalaman kelompok-kelompok minoritas ke dalam riasan-riasan kosmetik belaka. Munculnya protes dan petisi membuat Hollywood kini mulai berubah. 

Saat produksi Film Aladdin (2019), Disney selaku produser berusaha keras untuk mencari aktor/aktris keturunan Timur Tengah sebagai pemeran utama. Hasilnya, seperti kita ketahui, sukses besar. Hal yang sama juga diterapkan Disney untuk film Mulan (2020), di mana aktor/aktris Asia Timur mendominasi.

Menggunakan logika yang sama, saya melihat film Imperfect juga telah melakukan praktik washing, mencuci identitas ketubuhan minoritas, dalam hal ini perempuan yang memiliki tubuh di luar standar kecantikan yang berlaku dalam masyarakat.

Praktik washing dalam film bermasalah dalam politik representasi. Kita jarang sekali menemukan sosok bertubuh gemuk atau berkulit gelap digambarkan secara positif dalam film. Mereka justru menjadi bahan olok-olok yang sering diumpat, diperlakukan kasar dan semena-mena.  

Memang film Imperfect menarasikan hal yang berbeda. Itulah kelebihan film ini, cukup bisa mewakili ungkapan hati perempuan bertubuh di luar standar kecantikan. Cuma, ya itu tadi, masih sebatas kosmetika, belum menyentuh realitas.

Aktrisnya Saja Insecure

Saya tergelitik ingin tahu mengapa Ernest Prakasa dan Meira Anastasia memilih Jessica Mila sebagai pemeran Rara. Saya temukan di salah satu portal berita ini, bahwa ternyata alasan utamanya karena Jessica Mila adalah satu-satunya aktris yang rela untuk mengubah bentuk badannya. Wow! Jadi bukan karena kecocokan tokoh di film dan si aktris.

Saya jadi berpikir, apa tim produksi tidak ada keinginan untuk mencari aktris pemeran Rara yang memiliki tubuh seperti Rara? Saya rasa, mindset industri film tidak mendukung sosok seperti Rara akan menjadi daya tarik bagi kesuksesan filmnya.

Pada realitasnya, perempuan bertubuh gemuk masih belum mendapat tempat yang layak dalam industri film di Indonesia. Sebagai minoritas, perempuan-perempuan bertubuh gemuk tetap masih akan diperlakukan sebagai perempuan kelas dua. Gimana rasanya jadi perempuan kelas dua? Ya insecure itu tadi. 

Coba simak judul berita di Liputan6, “Jessica Milla Terpengaruh Mentalnya di Film Terbaru.” Di artikel itu, Jessica Mila bilang, “Saat itu aku jarang keluar kalau enggak penting-penting banget. Kalau memang ada yang mengharuskan aku keluar, ya, aku insecure. Meskipun orang-orang tahu kalau aku lagi syuting, tapi tetap saja pada saat itu memengaruhi mental aku.”

Nah, apa maknanya? Sang aktris yang membawa misi edukasi saja merasa insecure dengan tubuh yang tidak ideal. Apa ini bukan sebuah ambiguitas? Mau kampanye penghargaan atas tubuh, kok pelaku kampanyenya tidak nyaman dengan tubuhnya?

Itulah akibat dari kosmetika, tentu berbeda ceritanya jika pemeran Rara memiliki tubuh yang kurang lebih sama. Ia akan menyampaikan pesan tentang tubuh lewat mindset individu yang memang bertubuh gemuk.

Epilog

Sayang sekali, rasanya seperti sebuah paradoks. Film Imperfect yang sesungguhnya berpotensi untuk mengedukasi penonton tentang tubuh dan bahaya body shaming, pada akhirnya kembali terjebak pada komersialisasi semata.

Alih-alih mengubah mindset, yang terjadi justru meneguhkan standar kecantikan masa kini. Kalau di industri Hollywood kita kenal Ashley Graham, seorang model plus size yang muncul untuk mendobrak tradisi kecantikan, maka sudah saatnya industri kita memberi kesempatan yang sama pada perempuan-perempuan bertubuh gemuk.

Saya memimpikan suatu saat tak ada lagi rasa insecure bagi perempuan bertubuh gemuk. Seharusnya film Imperfect bisa memulainya.