Persoalan bisnis yang tengah terjadi saat ini menunjukkan sebuah perilaku bisnis minus moralitas. Praktek bisnis yang didasarkan pada kecenderungan negative, membuka peluang bagi praktek bisnis yang tidak sehat dan tidak bermartabat. Perilaku bisnis korup, manipulatif dan unfairness sering ditemui di berbagai lingkungan bisnis.

Perilaku semacam ini tentu saja berdampak buruk bagi dinamika bisnis kontemporer. Bisnis yang esensinya merupakan perwujudan realitas hidup manusia tak urung menerima dampak dari negativas bisnis yang kerap mengalami defisit moral. Bisnis lantas dianggap sebagai kegiatan yang semata-mata berorientasi pada kekayaan dan materi.

Kondisi ini menjadi konsumsi masyarakat secara luas, keberadaan pelaku bisnis tanpa mempertimbangkan nilai kemaslahatan, justru menunjukkan kekayaan dengan berlebihan yang berujung pada kasus pidana. Kekeringan nilai-nilai spiritual menjadi salah satu bagian faktor dominan dalam persoalan etika bisnis.

Perkembangan Bisnis dan Kebutuhan

Bisnis pada dasarnya merupakan kegiatan manusia yang bersifat alamiah. Musselman dan Jackson (2006) menjelaskan bahwa bisnis sebagai aktivitas yang memenuhi kebutuhan dan keinginan ekonomis masyarakat. Keberadaan bisnis tradisional merujuk pada kegiatan ekonomi manusia berupa kegiatan pemenuhan kebutuhan hidup dengan memanfaatkan sumber daya alam.

Dengan berbekal akal, manusia memiliki kemampuan untuk meramu dan mendayagunakan alam sebagai sarana bertahan hidup. Kegiatan pemanfaatan alam tersebut sering disebut dengan istilah meladang. Kegiatan ekonomi yang pada awalnya diperuntukkan untuk pemenuhan kepentingan pribadi dan domestik rumah tangga kemudian bergeser pada kegiatan yang ditujukan untuk kepentingan kolektif.

Keterbatasan individu satu dengan individu lainnya dalam pemenuhan kebutuhan menjadikan masyarakat pada masa itu mengembangkan konsep ekonomi sederhana berupa barter. Setiap orang saling bertukar barang yang dimiliki atau dihasilkan untuk ditukar dengan barang lain sesuai dengan kebutuhan masing-masing.

Pergeseran dan perkembangan praktik ekonomi yang berlaku menciptakan system yang khas dari masing-masing masyarakat. Hingga pada proses penciptaan uang sebagai alat tukar yang membawa transformasi bisnis dalam era perdagangan bebas.

Pola bisnis pun berputar dengan cepat. Sarana dan prasarana, infrastruktur dan suprastruktur bisnis dikembangkan dengan motif keuntungan yang lebih besar dan luas. Berdirinya pabrik untuk memenuhi kebutuhan bisnis berskala makro.

Bisnis pun mengalami transformasi besar, dari bisnis mikro berubah haluan dan berganti rupa menuju bisnis global tanpa batas. Bisnis yang meretas dan menjangkau sekat-sekat perbatasan teritorial antar benua. Pada era inilah, paradigma efisiensi dan efektifitas menjadi modal sekaligus ukuran bagi dinamika bisnis kontemporer.

Paradigma Keimanan Bisnis Islam

Aspek ekonomi sangat penting peranannya dalam meningkatkan kesejahteraan hidup manusia. Seiring dengan perkembangan waktu dan pertumbuhan masyarakat serta kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi, maka terjadilah perubahan terhadap pola kehidupan bermasyarakat tidak terkecuali dalam bidang ekonomi yang termasuk didalamnya tentang bisnis.

Bisnis sebagai salah satu jenis usaha untuk meningkatkan kesejahteran hidup. Oleh karena itu Islam memberikan petunjuk yang komprehensif tentang bisnis, mulai dari bagaimana memproduksi barang sampai kepada bagaimana paradigma dalam mengelolah pertukaran barang dengan baik yang dikenal dengan paradigma bisnis.

Keimanan menjadi dimensi vertical Islam, sebagai konsep keimanan dengan keyakinan yang sepurna kepada Allah dan kepada hari kemudian. Bahwa setiap apa yang dilakukan dalam bisnis maka ada keterlibatan Allah di dalamnya.

Hal ini sebagaimana penekanan yang disampaikan Al-Gazali dalam kitab Ihya Ulumuddin bahwa Umar Ibn Khattab ketika datang ke sebuah pasar dia berdoa "Ya Allah, hamba berlindung kepadamu dari kekafiran, kefasikan, dan kekejian yang terdapat di pasar. Ya Allah, hamba berlindung kepadamu dari sumpah palsu dan transaksi yang merugikan”

Keyakinan demikian menghantarkan bisnis kepada turunnya keberkahan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. al-A’raf: 96, yang menyatakan bahwa jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah akan dilimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.

Paradigma Keseimbangan Bisnis Islam

Keadilan haruslah berarti ditunaikannya hak-hak seseorang. Suatu tindakan dikatakan adil bila disana seseorang tidak terganggu. Seseorang harus merasakan bahwa haknya dihormati dan dilindungi (Harun Nasution, 1996).

Bahwa keadilan merupakan pandangan sosial dan kesadaran diri bahwa setiap manusia merasa terpanggil untuk melakukan apa yang baik dan terbaik bagi orang lain dan masyarakatnya. Pemahaman keadilan seperti ini akan menimbulkan sikap seseorang suka mengembangkan perbuatan luhur dan mencerminkan sikap kekeluargaan serta kegotongroyongan.

Adil atau keseimbangan menggambarkan dimensi vertikal dan horizontal ajaran Islam, dan berhubungan dengan harmoninya segala sesuatu di alam semesta. Hukum dan keteraturan yang kita lihat di alam semesta merekflesikan konsep keseimbangan yang rumit ini. Sifat keseimbangan ini lebih dari sekedar karakteristik alam; ia merupakan karakter dinamik yang harus diperjuangkan oleh setiap muslim dalam kehidupannya

Paradigma Ihsan atau kebajikan Bisnis Islam

Kata ihsan menurut al-Raghib al-Aifahani, digunakan untuk dua hal; pertama, memberi nikmat kepada pihak lain atau berperilaku baik kepada orang lain, dan kedua, perbuatan baik dalam arti melakukan perbuatan baik kepada orang lain.

Menurut Quraisy Shihab dalam tafsir Al-Misbah, kata ihsan lebih luas dari sekadar “memberi nikmat atau nafkah.” Oleh karena itu kandungan makna ihsan bahkan lebih tinggi dan dalam dari kandungan makna adil.

Ihsan dapat diwujudkan dalam bentuk toleransi antara sesama manusia. Toleransi adalah kunci rezeki dan jalan kehidupan yang lapang. Diantara manfaat toleransi adalah mudah berinteraksi dan dapat menumbuhkan kasih sayang diantara manusia. Nabi sendiri menyifati dirinya dengan kasih sayang dengan menyatakan bahwa sesungguhnya saya adalah seorang yang pengasih dan mendapat petunjuk.

Untuk mewujudkan keadilan atau keseimbangan dalam kehidupan khususnya dalam dunia bisnis, maka Islam telah mengharamkan setiap hubungan bisnis yang mengandung kezaliman dan mewajibkan terpenuhinya keadilan yang teraplikasikan dalam setiap transaksi-transaksi bisnis yang dilakukan.

Bentuk toleransi yang lain adalah, jika seorang pebisnis mau melebihkan takaran dan timbangan. Yaitu dengan memenuhi kadar dan ukuran yang dijual, kemudian menambahkan sedikit untuk memastikan bahwa barang yang sudah dijual sudah memenuhi kadar yang semestinya.