Dari kejauhan terlihat sorot lampu-lampu ke angkasa. Seakan di sana ada pasar malam atau konser grup musik terkenal. Tapi saat tiba di lokasi, anda akan melihat panggung besar, lengkap dengan latar nan megah dan lampu-lampu panggung warna-warni menyapu seisi lapangan pesantren. Itulah panggung para santri berpentas seni besar-besaran. Mereka sebut pagelaran itu: Panggung Gembira.
Panggung Gembira (disingkat PG) adalah pagelaran seni pertunjukan tahunan yang telah menjadi sunnah pesantren. Anda akan lebih sering menemukan acara semacam ini di pesantren modern. Dilandasi semangat modernisme Islam, PG merupakan bagian dari pendidikan seni islami yang bertujuan membangun kepercayaan diri para santri, karakter utama bagi individu modern.
Selain panggung yang membuat decak kagum, anda akan disuguhi kurang lebih 25 sampai 30 penampilan dalam semalam. Paduan suara, drama teatrikal, komedi, tari, pertunjukan bela diri, hanyalah sedikit di antara pertunjukan yang tersaji. Kostum-kostum yang dikenakan para penampil juga meriah, semeriah acara yang istimewa itu.
Semuanya dilakoni oleh para santri yang sebagian besarnya duduk di kelas akhir pesantren modern. Tentu ada guru pembimbing yang menyertai, sekaligus mengawasi. Anda tidak bisa banyak berharap pertunjukan-pertunjukan di dalam PG benar-benar mengikuti kaidah-kaidah karya seni. Ini adalah pentas seni populer yang diselenggarakan di dalam lingkungan sekolah Islam.
Namun begitu, tak ada kegiatan sekolah yang dipersiapkan, dikelola, digelar dan disambut seserius dan seantusias PG. Para santri dan guru pembimbing mereka sudah mempersiapkannya jauh-jauh hari. Bukan, setahun bahkan dua tahun sebelumnya.
Sejak masih duduk di kelas 4 (kelas 10 tingkat SMA) para santri sudah membuat konsep umum tentang apa yang akan mereka tampilkan dua tahun berikutnya. Mereka bahkan sudah membentuk panitia kecil. Selain membuat rencana, panitia kecil ini akan mengumpulkan dana iuran setiap bulan dari rekan-rekan santri satu angkatan sebagai tabungan.
Di kelas 5 mereka sudah menetapkan penampilan-penampilan, menunjuk dan membagi kelompok dan tugas para penampilnya. Ketika itu panitia PG sudah terbentuk. Sejak itu mereka memulai latihan-latihan hampir di setiap akhir pekan hingga larut malam. Guru-guru pembimbing tentu juga ikut bergadang.
Dana iuran bulanan juga sudah terkumpul banyak. Panitia juga telah menetapkan anggaran dana pelaksanaan PG. Jumlahnya: ratusan juta rupiah! Tapi dana iuran belum cukup memenuhi anggaran. Panitia lalu membuat dan mengajukan proposal bantuan ke berbagai pihak, dari orangtua, mitra-mitra pesantren, hingga perusahaan-perusahaan komersil.
Menjelang malam pelaksanaan, persiapan pagelaran semakin intensif. Saat itu para santri sudah duduk di kelas akhir (kelas 12 tingkat SMA). Hampir setiap malam mereka berlatih supaya penampilan jadi sempurna. Tak jarang latihan dilakukan hingga dini hari, sehingga kadang mempengaruhi tenaga dan konsentrasi mereka saat belajar di kelas keesokan pagi.
Beberapa malam sebelum pagelaran, gladi-gladi dilaksanakan. Dalam gladi guru pembimbing mengevaluasi satu-persatu penampilan. Bila ada penampilan yang dinilai belum sempurna, guru pembimbing kadang harus mengevaluasinya dengan sedikit lebih keras. Selain tenaga dan pikiran, persiapan PG, karena itu, juga menguras emosi.
Usai gladi sebagian santri belum pergi tidur. Petugas-petugas itu harus menyelesaikan pembuatan latar panggung. Latar itu dibuat dengan desain yang sepertinya sudah baku dalam setiap pagelaran di setiap tahunnya.
Latar itu seakan menjadi simbol bahwa PG adalah tradisi yang sakral. Karena kesakralan latar panggung itu, salah satu pesantren modern bahkan pernah punya kegiatan ekstrakulikuler membuat latar panggung PG.
Petugas lainnya yang juga sibuk hingga dini hari adalah mereka yang menyiapkan perangkat-perangkat pertunjukan. Ada yang merangkai hiasan panggung, ada yang mengedit video-video pendukung penampilan, ada pula yang mendesain lembar undangan yang akan dicetak seperti undangan wisuda atau pernikahan. Sementara panitia inti menghitung dan mencatat pemasukan dan pengeluaran dana.
Selain untuk menyediakan konsumsi dan membeli properti pertunjukan, dana pagelaran yang sangat besar itu lebih banyak dialokasikan untuk menyewa sistem penerangan panggung dan dokumentasi digital dari Event Organizer (EO). Ini menarik, sebab lampu-lampu panggung ala konser musik yang berkelap-kelip dan bisa bergerak itu, serta drone yang terbang mengitari lokasi pertunjukan, bukan karya para santri.
Malam pagelaran tiba. Para penonton terdiri dari para santri junior, guru-guru, pimpinan-pimpinan pesantren berdatangan dengan sangat bersemangat. Beberapa hari sebelumnya mereka juga turut (ingin) terlibat dalam PG, membagikan postingan-postingan tentang akan tibanya pagelaran di laman akun sosial media.
Sebagian penonton lainnya adalah para undangan: pengurus yayasan, tokoh-tokoh desa atau kabupaten setempat, kadang juga pejabat pemerintah yang punya kedekatan dengan pesantren, serta warga sekitar pesantren. Kehadiran mereka menunjukkan ini bukan pentas seni biasa.
Karena dihadiri orang-orang terhormat, pagelaran seni PG tetap ada sesi formalnya. Pimpinan pesantren terlebih dahulu menyampaikan sambutan, dilanjutkan dengan pembukaan pagelaran secara resmi dengan menabuh gong. Kilatan-kilatan lampu panggung, video yang tayang di layar besar, kembang api meledak-ledak di langit dan musik sinematik yang kencang memulai kemeriahan malam.
Selanjutnya penampilan-penampilan hadir satu-persatu, berusaha memuaskan siapapun yang menonton, baik yang di lokasi acara maupun yang menonton siaran langsungnya di kanal YouTube. Ya, pagelaran Panggung Gembira juga disebarkan lewat streaming internet. Yang mengetuk tombol like tidaklah sedikit.
Sekali lagi, tak ada kegiatan sekolah yang disiapkan, dikelola, digelar dan disambut seserius dan seantusias PG. Anda tidak akan melihat perhatian dan antusiasme sebesar itu terhadap kegiatan lain. Kegiatan seperti lomba pidato, kompetisi ilmiah, ajang literasi dan kegiatan keilmuan lainnya justru tak pernah digelar dan disambut seperti itu.
Lalu apa yang membuat PG mendapat perlakuan sedemikian rupa? Mengapa para santri dan guru pembimbing begitu bersemangat latihan meski harus mengorbankan waktu istirahat mereka? Mengapa mereka rela menguras tenaga, pikiran dan emosi demi sebuah pertunjukan seni?
Kenapa mereka rela mengeluarkan dana ratusan juta yang habis dalam satu malam? Mengapa pula para penonton begitu antusias menonton PG, sementara pada kegiatan lain kursi penonton belum tentu penuh?
Hanya ada satu jawaban yang paling mungkin untuk pertanyaan-pertanyaan itu: kesenangan.
***
Nampaknya memang sudah menjadi naluri manusia tertarik pada atau melakukan sesuatu yang memberinya kesenangan. Sebaliknya, ia cenderung menghindari sesuatu yang tidak ia senangi.
Jadi rasa senang adalah sesuatu yang inheren dalam diri manusia alias memang sudah dari sononya. Perasaan senang merupakan bagian dari karsa manusia, seperti cerapan indrawi dan rasio yang jadi sumber pengetahuannya.
Akan tetapi, kita harus memisahkan antara kesenangan yang umum dengan kesenangan yang spesifik. Secara umum manusia memang cenderung menaruh perhatian atau cenderung melakukan sesuatu yang ia senangi. Tapi soal apa yang disenangi seseorang, di sini kita bisa katakan bahwa pengaruh-pengaruh luar, seperti tradisi, iklim sosial, tren dan lain-lain, turut membentuk kesenangan.
Rasa senang melaksanakan dan menonton Panggung Gembira termasuk dalam kedua kategori tersebut. Para santri dan guru pembimbing rela mengucurkan tenaga, pikiran, uang dan emosi demi pentas satu malam karena mereka senang melakukannya.
Boleh jadi rasa senang itu bukan pada pagelaran itu sendiri, melainkan senang karena gengsi, kehormatan, dan identitas. Mungkin ada juga kesenangan karena sekedar bisa menunjukkan kebolehan di atas panggung. Bagaimanapun, itu tetaplah kesenangan.
Di lain pihak, para hadirin antusias menonton pentas seni akbar itu karena PG adalah hiburan yang memberi kesenangan. Anda tidak perlu duduk jaim dan mengikuti rangkai demi rangkai acara dengan kaku dan tegang seperti dalam acara-acara formal. Tugas anda sebagai penonton hanya membiarkan diri anda merasakan kegembiraan.
Perhatian yang begitu besar terhadap PG atau pentas seni di lingkungan sekolah pada umumnya, boleh jadi, karena memang (hanya) itulah kegiatan yang memberi kesenangan. Dalam tradisi pendidikan kita kegiatan-kegiatan keilmuan belum memberi kesenangan semacam itu. Kegiatan ilmiah lebih terasa sebagai kewajiban ketimbang kegembiraan.
Apakah suatu saat nanti kita akan menemukan kegiatan keilmuan yang membuat gembira dan mendapat sambutan dan perhatian seperti PG dan pentas seni? Bisa saja, cuma saat ini belum ditemukan formulanya.[]