Di udara kita mengenal Pemandu Pesawat, di jalan raya dikenal Polisi Lalu Lintas, dan kalau di laut kita kenal Kepanduan. Ketiganya memiliki peran hampir sama yaitu memberi layanan pemanduan lalu lintas kendaraan bergerak dari satu lokasi hingga akhir perjalanan dengan selamat dan lancar. Berbagai alat bantu navigasi yang digunakan masing-masing pemandu, diantaranya radio komunikasi, radar, cctv, dst dst. Tingkat keberhasilan pemanduan ditentukan oleh ketertiban setiap kendaraan yang melintas pada jalur udara, jalan raya maupun alur laut.
Pemandu sama-sama memiliki peran penting dalam pencegahan jarak dekat antar kendaraan yang dapat menimbulkan kecelakaan. Mereka juga berkepentingan dalam mewujudkan efisiensi kelancaran lalu lintas kendaraan serta aktif mengendalikan keadaan darurat terutama saat cuaca buruk selama bernavigasi. Esensinya, Pemandu adalah rekan kerja bagi Penerbang, Pengemudi serta Nahkoda dalam menyikapi berbagai rintangan yang akan terjadi.
Kasat mata, penerbangan memiliki tingkat risiko terbesar karena posisi pesawat berada dalam ketinggian, dan ketika situasi tidak menguntungkan dapat mengancam jiwa seluruh kru dan penumpang pesawat. Kemungkinan, jalan raya menduduki peringkat berikutnya, karena tingkat pertumbuhan kendaraan tidak sejajar dengan penambahan infrastruktur jalan sehingga volume kendaraan jalan raya sangat padat, dan rentan terjadi gesekan. Kalau pelayaran? Saya hanya melihat trend kecelakaan kapal menurun dalam dua tahun terakhir, dan sangat mungkin imbas dari frekwensi gerakan kapal akibat pandemi.
***
Berbagai kemiripan peran dari penjaga keselamatan perjalanan tersebut, menyisakan pemandu kapal yang masih mempertahankan tradisi interaksi langsung dengan costumer-nya. Pemandu Pesawat dan POLANTAS tetap dapat menjalankan tugas meskipun dari pos pantau, sementara pemandu kapal wajib naik kapal yang dipandu dalam memberi layanan kepada nahkoda. Kendala cuaca dan keterbatasan sarana prasarana seringkali membatasi kecepatan gerak pemandu untuk mendekat ke kapal yang akan dipandu.
Slogan under master command and pilot advice jamak berlaku sebaliknya kalau di Indonesia, karena pemandu setelah di atas kapal, ia akan menerima tongkat komando nahkoda untuk melanjutkan hingga penghujung pelayaran. Setelah timbang terima dilakukan secara singkat, pemandu dinilai telah menguasai karakter kemudi dan mesin kapal yang dipandu. Kapal melanjutkan pelayaran, pemandu memperhatikan gerakan kemudi seraya memastikan kesesuaian haluan dengan angka haluan yang diorderkan.
Keterbatasan pemantauan sebuah kapal terhadap keadaan sekeliling membutuhkan bantuan kapal lain sebelum pemandu memutuskan dimulainya pemanduan. Dalam beberapa kasus, jika hal ini diabaikan dapat berakibat fatal, seperti kandas, tabrakan, dan kebakaran. Pemandu juga memerlukan informasi darat untuk memastikan kesiapan dermaga ketika kapal akan bertambat di pelabuhan.
Panjang kapal, jarak antar kapal, akurasi kran terhadap muatan menjadi suplemen rutin yang harus dipahami pemandu sebelum kapal memasuki pelabuhan. Untuk sandar kapal, pemandu selalu mempertimbangkan potensi risiko, dan kapal disandarkan dengan haluan menghadap ke luar atau bow out. Selain faktor keselamatan, sandar bow out juga dimaksudkan ketika kapal mendapat perintah gerakan mendadak proses keluarnya tidak perlu memutar haluan.
***
Dalam pemanduan kapal, komunikasi melalui interaksi langsung jauh lebih efektif daripada non fisik. Modulasi suara dibarengi mimik wajah dan gerakan tubuh para komunikator dapat memperkecil salah tafsir yang mengakibatkan komunikasi tidak produktif. Salah tafsir sangat berbahaya karena dapat menyebabkan kapal bergerak tanpa arah dan dapat mengancam keselamatan kapal itu sendiri. Sangat humanis, ketika susah, senang, sedih, senyum, dan emosi dapat tergambar ketika pemanduan dilakukan secara tatap muka.
Tingkat kritikal alur pelayaran tinggi membutuhkan pemikiran dan keputusan bertindak serba cepat. Tradisi nahkoda kapal menyerahkan komando sepenuhnya, agar pemandu kapal dapat bertindak cepat dalam mengantisipasi segala kemungkinan yang akan terjadi selama pelayaran. Dalam prinsip under master command and pilot advice, meskipun komando ditangan pemandu tidak mengurangi tanggung jawab dan risiko kecelakaan kapal terlepas dari pundak seorang nahkoda.
Perspektif sudut berbahaya yang tidak terlihat atau blind spot berlaku bagi pemandu kapal. Pemandu kapal tidak suka jumawah saat memandu terutama dalam menganalisa situasi dan kondisi alam di sekitarnya sehingga mereka tetap membutuhkan informasi dari orang lain atau kapal lain yang memiliki perspektif kebaruan. Pemandu kapal dan kapal sebagai satu kesatuan saling membutuhkan untuk melindungi dari ancaman keselamatan.
Kebutuhan sandar kapal menghadap keluar atau bow out, seringkali dipahami pemandu sebagai pekerjaan yang merepotkan dan memerlukan waktu lebih lama. Ditambah lagi, jika keadaan air laut transisi dari pasang ke surut atau sebaliknya, maka alternatif menunggu pasang atau surut tetap harus dilakukan. Pemandu kapal menyadari bahwa jeda transisi merupakan periodisasi alam yang wajib dihormati, dan tidak boleh dihindari kalau kita berharap alam tetap menyayangi kita.
Sekian artikel naratif saya, semoga bermanfaat.
Wahyu Agung Prihartanto, Penulis dari Sidoarjo