Hal yang tidak bisa disangkal oleh manusia dalam hidup adalah hidup itu sendiri. Bila seseorang menyangkal hidup berarti ia menyangkal dirinya sendiri. Dan bila seseorang menyangkal dirinya itu sama halnya ia sedang menuju ketiadaan melalui jalan kematian. Namun siapakah yang menginginkan kematian?
“No party that never ends,” tidak ada pesta yang tidak akan berakhir. Semua manusia pada akhirnya akan meninggalkan dunia ini, sama seperti Birgaldo Sinaga (pegiat medsos), Rachmawati Soekarnoputri (putri Bung Karno), M. Sani (musikus senior), Jane Shalimar (aktris, penyanyi, presenter, penyiar radio, politikus, model, sukarelawan, dan orator), dan orang-orang lain yang sudah mendahului kita.
Di masa pandemi ini kematian seakan begitu dekat. Ia seperti berdiri di depan pintu kamar kita. Dan juga ia layaknya seperti organ tubuh kita yang selalu berjalan bersama ke mana saja kita berlangkah. Hal ini sangat jelas telah kita lihat dan ketahui dari pengalaman para korban covid yang mati dan mungkin tidak dapat dihitung lagi jumlahnya hingga saat ini.
Sebuah pengalaman menarik untuk melihat pengalaman menuju kematian ini bahwa sejak masa pra Masehi para biksu Buddha di India sering pergi ke tempat pemakaman untuk mengamati jenazah yang ditinggalkan di sana agar dimakan hewan liar dan serangga. Bagi mereka hal ini adalah cara yang sangat berharga dan menghemat waktu untuk memahami betapa dekatnya kehidupan dengan kematian.
Kita semakin disadarkan bahwa kehidupan manusia itu begitu singkat. Semua pekerjaan atau aktivitas seseorang, sepopuler apa pun orang itu, juga akan berakhir. Hal ini menunjukkan bahwa sekeras apa pun kita berusaha, kita tidak bisa lepas dari kematian.
Mungkin juga, tidak sedikit dari antara kita berusaha menyangkali kematian, sebagaiman kata Ernest Becker, seorang antropolog budaya Amerika, dalam bukunya "The Denial of Death" yang memenangkan penghargaan Pulitzer, bahwa “Ironi dari kondisi manusia adalah kebutuhan terdalamnya untuk terbebas dari kecemasan akan kematian dan kehancuran."
Tentu tidak dapat dipungkiri bahwa tidak ada seorangpun yang mau mati. Bahkan orang yang ingin masuk surga pun tidak ingin mati untuk mencapainya. Umpanya bahwa andaikan saja kematian itu adalah pilihan, maka sudah pasti orang memilih untuk tidak ingin mati. Namun, realitas hidup tidak sejalan dengan keinginan itu.
Kematian adalah proses alami kehidupan dan sebuah tujuan yang tak terelakkan bagi kita semua. Sementara itu, hidup sejatinya adalah perjalanan menuju kematian itu sendiri sehingga setiap orang perlu berlatih mempersiapkan kematian sepanjang hidupnya, sebagaimana yang dikatakan oleh Seneca, seorang filsuf Romawi, bahwa hidup adalah proses menuju kematian.
Seneca juga pernah berujar bahwa “perlu seumur hidup untuk belajar bagaimana menjelang ajal.” Memang benar refleksi filosfis yang mendalam dan sangat memotivasi dari Seneca ini. Waktu dan kekuatan kita memang terbatas. Sehebat dan sekuat apa pun tubuh kita saat ini, suatu hari akan sakit juga, melemah, tak berdaya, lalu mati.
Oleh karena itu, dengan mengetahui dan menyadari kematian menanti di ujung hayat, kita menjadi sadar kalau kita diundang untuk belajar memandang kematian sebagai pengingat kehidupan.
Dengan mengingat akan kematian membawa hidup kita ke dalam gambaran yang lengkap. Kita mengetahui bahwa suatu hari kita akan menemui babak akhir hidup kita masing-masing, walau tidak tahu dengan cara seperti apa dan kapan hari itu akan tiba.
Sama halnya juga seperti yang dikatakan oleh Ernest Hemingway, seorang novelis (sastrawan) Amerika, bahwa “hidup setiap orang berakhir dengan cara yang sama. Hanya detail bagaimana dia hidup dan bagaimana dia mati itu yang membedakan seorang dengan yang lainnya.”
Kita juga disadarkan dengan apa yang diajarkan oleh Epiktetos, seorang filsuf Stoa, bahwa hidup adalah mempersiapkan diri menuju kematian secara rasional.
Hal ini juga menunjukkan bahwa dalam proses menuju kematian setiap orang dituntut untuk menggunakan akal budinya dengan bijaksana dalam mengelola nafsu dirinya. Selain itu juga menuntut orang agar menata hidupnya menjadi hidup yang mengandung nilai estetis, mengagumkan dan menggairahkan.
Dalam pengelolaan nafsu diri dan penataan estetika kehidupannya, manusia diajak juga untuk menerima kematian sebagai proses alami kehidupan.
Namun, melampaui ajaran Stoa di atas, secara eksistensial kita juga boleh memahami bahwa hidup bukanlah sekadar mempersiapkan diri menghadapi kematian secara rasional, tetapi menjalani hidup sesuai panggilan Sang Pencipta.
Dengan pemahaman akan hidup kita yang sangat singkat ini, kita menjadi sadar bahwa hidup kita tidak lain ialah ikhtiar mempersiapkan diri menghadapi kematian dengan memenuhi panggilan Sang Khalik atas hidup kita.
Hidup kita layaknya sebuah perziarahan. Kita adalah musafir yang sedang melakukan sebuah perjalanan dalam panorama kehidupan, terlebih dengan keadaan dunia yang sedang menderita karena penyakit covid yang melanda saat ini.
Sebelum kita menyusul saudara-saudari kita, Birgaldo Sinaga, Rachmawati Soekarnoputri, M. Sani, Jane Shalimar, dan orang-orang lain yang sudah mendahului kita, maka hari-hari ini adalah kesempatan lain bagi kita untuk bertindak bajik bagi diri sendiri dan juga sesama yang lain.
Mari kita kobarkan tindakan kebajikan di dalam diri dan hidup kita masing-masing dengan terus berusaha mengatasi penyakit covid yang terus menggerogoti hidup kita hingga saat ini. Terutama dengan mematuhi aturan medis yang berlaku demi keselamatan dan kesejahteraan hidup kita.
Di samping itu, marilah kita juga terus menghidupkan dan mengamalkan nilai-nilai pancasila dalam hidup kita dengan melawan pelbagai pihak dan persoalan yang mau mengganggu keutuhan Pancasila dan kesejahteraan hidup kita sebagai warga negera tercinta, bangsa Indonesia.