Virus adalah makhluk hidup, memerlukan makan minum dan bernafas. Tempat hidup,  atau habitatnya adalah substansi yang terdapat dalam tubuh makhluk hidup lain, yakni manusia dan hewan. Sifatnya ialah benalu. Tak mampu memperoleh kebutuhan hidup sendiri. Bergantung pada tubuh inangnya dimana dia berada. Ia bagai seorang bayi yang baru lahir. Bergantung pada asi ibunya.

Selama berabad-abad berbagai jenis virus hidup dalam tubuh hewan inangnya. Ia tak merusak sang inang, sebab keduanya sudah beradaptasi sedemikian rupa. Kebersamaan mereka bisa abadi, jika tidak ada faktor yang merusak sistem kekerabatan mereka.

Tersebab manusia memilih beberapa jenis hewan liar, seperti kelelawar, rakun, tupai, monyet, baik sebagai teman dan bahkan dikonsumsi pula sebagai gagah-gagahan saja sebenarnya, maka si virus baik baik bagi hewan ini, dalam proses mempertahankan dirinya,  harus menggerogoti tubuh manusia tempat dimana ia berada dengan inang barunya manusia.  Sarang makanannya adalah paru-paru manusia yang dipenuhi butir-butir darah dan protein  yang segar baginya. Kalau sudah paru-paru dirusak, apa daya manusia, selain menjadi korban. Akan menemui kematian, sebab belum ditemukannya anti virus ini. Dan spesies Corona Virus Desease-19 (Covid-19), merupakan virus baru yang saat ini penyebab pandemi di seluruh dunia.

Dengan kondisi pandemi, mau tidak mau, kita terpaksa atau justru dengan sukarela harus beradaptasi dengan kondisi ini. Virus corona tak pandang bulu. Menyerang siapapun yang lemah imunitas tubuhnya.

Pada bulan Maret 2020, lebih setahun silam, Presiden RI Joko Widodo mengumumkan virus Covid-19, yang bermula dari Wuhan, China, sudah sampai menular ke Indonesia. Masyarakat waktu itu tak terlalu terkejut dengan pengumuman ini, karena sejak awal tahun pemberitaan mengenai Covid-19 sudah santer. Dua warga Depok dinyatakan positif terinfeksi Covid-19. Kecemasan tumbuh. Pemerintah melalui departemen kesehatan menghimbau masyarakat agar melakukan pencegahan terhadap Covid-19 dengan melakukan tindakan 3M: memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak. Mengeluarkan peraturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) juga.

Di bulan Februari 2020 anakku Heikal (24 tahun) wisuda di Universitas Sumatera Utara. Wisuda terakhir tatap muka di Auditorium Universitas. Sesudahnya pada bulan Mei 2020 USU melakukan wisuda daring pertama terhadap para sarjana hingga para doktornya yang baru lulus. Hingga kini, sudah setahun lebih pandemi, sekolah-sekolah dan perguruan tinggi masih ditutup. Siswa dan mahasiswa seluruh Indonesia belajar daring. Para pekerja dan guru yang biasa berkantor juga di rumahkan. Jutaan orang kehilangan pekerjaan karena banyak perusahaan yang harus tutup.

Warga kota Medan, tempat saya berdomisili dan seluruh bangsa Indonesia, juga penduduk dunia dimana pun berada dicekam ketakutan dengan pandemi ini. Cemas dan bertanya-tanya. Bahkan sampai ada yang panik. Banyak cerita simpang siur mengenai penyakit yang diakibatkan oleh virus ini. Masalahnya bahwa anti-virus belum ada, belum ditemukan.  Korban di seluruh pelosok dunia terus berjatuhan. Sejak Maret 2020, pemerintah Provinsi Sumatera Utara bahkan sudah menyediakan lahan khusus pekuburan korban Covid-19 di Simalingkar B, kecamatan Tuntungan, Medan. Kuburan khusus korban Covid ini membuat masyarakat tambah takut. Sudah mati saja, virus masih bisa-bisanya mengancam manusia.

Demikianlah adanya, keadaan aku bersama Heikal di awal-awal masa pandemi ini sangat tidak menguntungkan. Keadaan ekonomi kami buruk sekali,  karena pemasukan uang habis terpangkas. Beasiswa Heikal dari USU sudah dihentikan. Harian Analisa, sebuah media cetak di Medan, tempat aku dan Heikal menulis, tiba-tiba menghentikan pembayaran honor untuk tulisan apa saja. Dan, aku, baru kehilangan suami, Damiri Mahmud, yang biasanya memberi sebagian biaya hidup, wafat tanggal 30 Desember 2019.

Sebenarnya sejak minggu kedua Januari 2020, aku tengah mempersiapkan sebuah buku untuk mengenang almarhum suami suamiku tersebut, seorang sastrawan dan budayawan. Di penghujung Februari 2020 buku setebal 200 halaman, yang sebagian besar berupa tulisan-tulisanku yang telah dimuat di media tentang karyakarya Damiri sudah selesai dikerjakan. Aku pilih judul buku tersebut, “Teriakan dalam Senyap”.

Berpikir saat itu banyak penerbit yang tidak bisa menerbitkan buku selama masa pandemi, lagi pula aku bukanlah seorang penulis yang sudah terkenal, aku hanya membuat buku tersebut akhirnya dengan dijilid sendiri. Alhamdulillah satu-dua buku terjual. Harga patok Rp 100 ribu rupanya tak memberatkan kawan-kawan pembeli. Hitung-hitung sekalian membantu teman bagi mereka.

Di bulan Februari 2020, rumah kontrakan Rp 500 ribu perbulan masih bisa sanggup dibayar. Namun bulan berikutnya, hanya bisa dibayar mingguan, Rp 100 ribu perminggu, dapat keringanan Rp 25 ribu dari pemilik rumah yang ekonominya juga kepayahan. Akhirnya tanggal 24 Maret 2020, aku dan Heikal memutuskan meninggalkan  kota Medan yang sedang dalam puncak-puncak musim panas. Kami bermaksud pulang kampung ke kota Tanjungbalai (180 km sebelah tenggara kota Medan). Kami masih tercatat sebagai warga atau penduduk Tanjungbalai, sekalipun sudah hampir lima tahun berdomisili di Medan. Kami punya uang 1 juta hasil penjualan beberapa buku yang kami miliki. Sekali lagi saya sebutkan, ternyata dalam kondisi ekonomi sulit, ada saja orang yang berbuat baik. 

Tentunya tak biasanya kami menjual buku. Tapi kali ini kami berubah. Alhamdulillah bila saja ada yang mau membelinya, bahkan dengan harga miring sekalipun buku pasti dijual. Gurau-gurauku begini, biarlah buku-buku juga perlu dibaca orang lain. Buku yang dijual rata-rata sudah kami resensi.

Di Tanjungbalai selama hampir dua bulan, kami mendapat bantuan sembako senilai Rp 250 ribu dari Pemko berpenduduk sekitar 250 ribu jiwa ini. Seperti banyak tetangga dan warga Tanjungbalai lainnya, bahkan se-Indonesia, sama juga aku mengharap bisa dapat bantuan Rp 600 ribu perbulannya selama 3 bulan dari pemerintah. Tapi rupanya belum rezeki. Sudah setahun berlalu pandemi, aku hanya mendapat bantuan Rp 1 juta dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI sebagai pekerja seni yang sangat terdampak oleh pandemi. Begitu juga Heikal, bulan Februari 2021 mendapat juga bantuan sejuta tersebut. Selama setahun pula, Heikal menunggu bantuan Prakerja, dan pada Maret 2021 baru mendapatkannya.  

Menjelang masuknya bulan Ramadhan 1440 H,  seorang jaksa yang punya kesukaan berlebih menulis puisi bertugas di Kejaksaan Tinggi memberi bantuan kepada beberapa orang seniman Medan. Bantuan sembako seharga Rp 500 ribu sangat menggembirakanku. Dengan bantuan ini bisa pula aku berbagi dengan saudara lain yang membutuhkan. Mereka keluarga yang mempunyai anak tiga sampai empat orang yang sangat merasakan dampak merosotnya ekonomi.

Selama sebulan penuh Ramadhan tahun 2020 aku mengerjakan dua esai (salah satunya Corona sebagai Blessing in Disguise) dan empat cerpen, yang satunya berjudul Opas Mansyur berhasil menjadi juara harapan dalam Sayembara Cerpen Sumatera Utara. Dibulan Agustus 2020 aku mengantongi hadiah Rp 500 ribu yang langsung digunakan membayar kontarakan bulan itu. Cerpen lain bertema Covid-19 berjudul Ominara berhasil dimuat di Kompas Digital.  

Karena himbauan pemerintah untuk tidak keluar rumah, mendukung aku betah mengerjakan tulisan-tulisanku di bulan Ramadhan itu. Selesai berbuka puasa memang aku dan Heikal tak mengikuti salat tarawih. Khawatir aku membawa virus sebagai warga pendatang. Kami berpendam di rumah. Tak juga menonton televisi dan bertandang ke rumah saudara disekitar pun tidak. Waktuku tersita membaca dan menulis.

Rupa-rupanya semangatku menulis tak surut di masa pandemi ini. Beberapa buku reward resensi berdatangan dari beberapa penerbit mayor. Daya membacaku yang biasanya lemah, menjadi bertambah. Ada kekuatan dalam diriku tiba-tiba muncul. Rata-rata setiap bulan aku menulis empat tulisan. Aku semakin mahir pula membuat resensi. 

Aku telah berubah. Biasanya untuk membaca novel dibawah 500 halaman saja bisa selesai bermingu-minggu. The Buried Giant (2019)  karya Kazuo Ishiguro setebal 480 halaman, misalnya. Hampir tiga bulan baru selesai. Termasuk novel The Good Earth (2019) karya Pearl S. Buck, makan waktu cukup lama.

Selepas jeda Lebaran beberapa hari, kembali aku menulis dan membaca. Kami sudah mengontrak rumah di Deli Serdang. Tak ada buku baru, buku lama pun kubaca. Aku membaca ulang Dataran Tortilla (2009) dan To A God Unknown (2019) John Steinbeck, Blink (2018) Malcolm Gladwell, The Great Gatsby (2014) F. Scott Fitzerald, One Hundread Years of Solitude Gabriel Garcia Marquez (2018), Hujan Bulan Juni (2018) Sapardi Djoko Damono, dan buku-buku lain-lain termasuk biografi Alexander Ferguson (2014). Buku terakhir ini tak pernah kubaca habis, karena mungkin aku lebih tertarik sama-foto-fotonya yang eksklusif.

Aku juga menonton beberapa film lama. Karena ingin menjadi seorang penulis yang bagus. Tiga kali aku menonton Genius (2016) yang berkisah kehidupan Thomas Wolfe.  Dalam Film ini muncul Ernest Hemingway dengan ikan marlinnya,  F. Scott Fitzerald dengan kesusahan keuangannya, ditambah kondisi Zelda istrinya yang sakit jiwa makin memburuk,  dan James Joyce disebut-sebut juga. Selain tentunya Thomas Wolfes, sang genius, yang meninggal dunia dalam usia muda karena serangan TBC.

Di awal Januari tahun ini, aku berinisiatif meminjam buku dari Perpustakaan Sumatera Utara. Wah, senang sekali aku bisa membaca Lapar (2013) Knut Hamsun, Gone with the Wind (2014) Margaret Mitchell, Fall of Giant (2010) Ken Follett, The Bell Jar (2011) Sylvia Plath, Pulang (2013) Leila S. Chudori. Murah meriah! Ongkos pulang pergi ke perpustakaan hanya Rp 10 ribu. Jadi dalam sebulan aku dua kali mengunjungi perpustakaan yang tak sesepi gedung-gedung universitas selama pandemi ini. Orang-orang terus membaca rupanya.

Cukup banyak buku yang kubaca selama setahun pandemi. Aku dan buku menjadi sejoli. Seperti sepasang belangkas yang tak pernah berjalan sendiri, kecuali dengan pasangannya menyusuri pantai dan celah bebatuan. Aku selalu bersama buku. Buku-buku 200 halaman bisa kutaklukkan dalam waktu  dua hari. One day one hundred pages menjadi sloganku. Mengapa tidak, kukira?

Kini, buku yang sebelumnya dijilid sendiri Teriakan dalam Senyap sudah diterbitkan terbatas oleh penerbit indie yang ada di Medan. Saat ini kumpulan cerpenku yang berisi 14 cerpen sudah sedia untuk diterbitkan. Sepuluh diantaranya kutulis selama tak sampai penuh setahun Covid-19. Mulanya cerpen terakhir kesepuluh kutulis Januari 2021. Tapi di bulan Maret 2021 aku menyelesaikan sebuah cerpen lagi, Centeng Simpang Amaliun, judul yang kurencanakan menjadi judul kumcerku ini. Cerpen ini diilhami oleh cerpen Hulk Gang Melayu Kiki Sulistyo.

Setelah kuhitung ada sekitar 30 buah buku Gramedia Pustaka Utama milik kami yang tersisa saat ini. Karena faktor ekonomi, ada beberapa yang berpindah tangan. Menyisakan rindu rupanya juga dengan buku-buku yang telah dijual ini. Menyisakan luka yang mudah-mudahan segera kering, sebab hal ini adalah termasuk salah satu perjuangan mengadaptasi selama masa sulit pandemi Covid-19.

Hari-hari dalam masa pandemi yang tak tahu akan berakhir kapan ini, kukerjakan awal-awal novel, cerpen-cerpen dan esai yang hampir setiap minggunya muncul di koran Medan. Ini sangat membahagiakanku.

Kini proses vaksinasi Covid-19 sedang berlangsung diseluruh Nusantara. Diseluruh dunia, bahkan sudah mendahuluinya. Aku belum divaksin. Di usia masuk 60 tahun ini, muncul perasaan was-was. Saat ini aku baik-baik saja. Sebagaimana definisi orang sehat adalah orang yang bisa mengurus dirinya sendiri. Bahkan aku masih bisa menulis yang sedemikian banyak orang tak mudah melakukaknnya. Bukankah menulis masih merupakan kegiatan yang kurang diminati, dicap susah dan banyak menghabiskan waktu. Dengan perkataan lain aku masih punya penghasilan.

Tak terasa waktu begitu cepat berlalu Dalam berbagai terpaan badai hidup dan kecemasan, Ramadhan sudah tiba kembali. Ramadhan kedua di masa pandemi, 1441 H.

Saat ini, mengingat Covid-19 tak serba terus mengingat mati segera menghampiri seperti perasaan di awal-awal menerima kabar akan ganasnya virus ini. Hidup  bersama virus Covid-19 menjadi normal saja akhirnya. Toh, dalam tubuh kita berhibernasi berbagai virus lainnya. Bakteri dan kuman disekitar kita juga bergentayangan. Dengan kesadaran ini, perlu menjaga imunitas tubuh dengan nutrisi yang baik dan tetap mempunyai harapan dan cita-cita.

Apa yang kita perlukan saat ini adalah sikap optimis menghadapi berbagai penyakit, termasuk penyakit yang disebabkan virus corona. Adalah mengadaptasi, satu-satunya jalan. Menghindari kerumunan, menjaga jarak, mencuci tangan, makan makanan bergizi, tinggal atau bekerja di rumah. Adaptasi adalah cara manusia bisa berkembang membentuk hidup yang lebih baik, karena sesungguhnya adaptasi adalah bagian tak terpisahkan dari diri kita sebagai manusia.

Buku dengan fungsi sosialnya telah membantuku mengatasi masalah ekonomi, Dan fungsi utama keberadaannya membantu mengubah pandangan dan cara hidup untuk menjadi  manusia yang lebih baik. Covid-19 mengimajinasi karya, cara hidup dan kesetianku pada passion sebagai penulis.

Medan, 15 April 2021

*Nevatuhella, lahir di Medan, 1961. Alumnus Teknik Kimia Universitas Sumatera Utara. Menulis untuk Azahar Revista Poetica, Waspada, Jawa Pos, Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Koran Sindo, Basabasi.co, Cendananews.co, dan lainnya. Buku ceritanya Perjuangan Menuju Langit (2016) dan buku puisinya Bila Khamsin Berhembus (2019). Di tahun 2021 ini menerbitkan buku Teriakan dalam Senyap, sebuah biografi sastrawan Damiri Mahmud.