ISU POLITIK IDENTITAS

Belakangan ini Indonesia kembali dihadapkan pada isu politik Identitas terutama dalam menyongsong Pemilu dan Pilkada Serentak pada tahun 2024. Politik identitas adalah sebuah alat politik suatu kelompok seperti etnis, suku, budaya, agama atau lainnya untuk tujuan tertentu misalnya sebagai bentuk perlawanan atau sebagai alat untuk menunjukkan jati diri suatu kelompok tertentu. 

Biasanya politik ini muncul akibat adanya konflik yang melibatkan kelompok satu dengan kelompok yang lain. Dalam situs berita daring kompas.com, Ahmad Koirul Umam selaku Managing Director of Public Policy Institute menyatakan jika isu politik identitas akan tetap mewarnai jalannya Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 nanti, sebab baginya politik identitas merupakan alat politik yang efektif dan murah bagi kelompok-kelompok yang akan menggunakannya.

Selain itu beliau juga menambahkan jika presiden Jokowi tidak serta merta mengatasi permasalahan politik identitas yang sudah santer di tengah masyarakat – seolah-olah isu tersebut tetap dipelihara dan beliau menyasarkan ini pada parpol PDI-P yang menang pemilu tahun 2014 dan 2019 dan PKS yang mendapat suara dari pemilih kelompok Islam, terutama Islam kanan. 

Beliau menyayangkan minimnya ruang dialogis yang memadai terkait demokrasi Indonesia – ia berharap bahwa politik identitas yang mengangkat isu-isu SARA tidak terjadi lagi seperti pemilu-pemilu sebelumnya. Sehingga beliau pun menyarankan agar edukasi politik tetap dilakukan oleh pemerintah dalam menyongsong Pemilu serentak 2024.

DEMOKRASI DELIBERATIF

Demokrasi yang bersifat deliberatif berarti demokrasi yang diusung merupakan proses validasi terhadap kebijakan publik yang harus melalui pengujian konsultasi publik atau dalam bahasa Habermasian ialah “diskursus publik”. Diskursus publik memberikan ruang selebarnya bagi masyarakat untuk berkontribusi dalam pembentukan kebijakan politik dan hukum – diskursus publik menjadi ruang dialog yang rasional.

Sebagaimana Habermas menyatakan bahwa komunikasi adalah ciri utama kehidupan bersama, yakni bagaimana negara menyediakan ruang publik bagi masyarakat sebagaimana dikutip dari Habermas, demokrasi deliberasi menerima pertimbangan dari masyarakat sebagai masyarakat yang berdaulat sebagai sumber legitimasi politik. 

Maka demokrasi deliberatif sangat menekankan partisipasi publik yang bersifat dialogis dan sintesis di mana diskursus yang terjadi dalam ruang publik yang menekankan argumen, inklusivitas, kebebasan berpendapat, dan konsensus (intersubjektivitas) di mana opini mayoritas akan menentukan sistem yang akan berlaku sebagai hasil dari tindakan komunikatif.

Demokrasi deliberatif yang dikemukakan oleh Jüergen Habermas kemudian mendapat tempat dalam diskusi Yudi Latif terkait demokrasi permusyawaratan di mana keutamaan diskusi dan musyawarah atas dasar hikmat kebijaksanaan mampu mengantar diskusi tersebut secara toleransi dalam satu kemufakatan bersama. 

Kemufakatan inilah yang kemudian disebutkan dahulu oleh Habermas sebagai ciri khas komunikasi yang bersifat argumentatif, inklusif, kebebasan berpendapat, dan intersubjektif, selain karena komunikasi adalah ciri khas dalam hidup bersama, juga menerima pertimbangan masyarakat sebagai masyarakat berdaulat sebagai sumber legitimasi politik.

Demokrasi dalam dunia kontemporer saat ini justru mengarahkan pada demokrasi yang lebih kompleks dengan segala macam keberagaman yang terjadi dalam ruang-ruang dialogis terkait. 

Dalam hal ini seperti yang telah disampaikan oleh Yudi Latif, model konsep demokrasi permusyawaratan selaras dengan demokrasi yang senantiasai mengedepankan komunikasi yang mengajak pihak masyarakat untuk terlibat aktif dalam dialog terkait hidup bernegara, yakni model konsep Demokrasi Deliberatif yang menekankan “diskursus publik” demi tercapainya kesepatakan valid terkait kebijakan publik.

DEMOKRASI DELIBERATIF: SOLUSI POLITIK IDENTITAS DI INDONESIA

Dalam hal ini, permasalahan politik identitas yang santer dalam masyarakat Indonesia menjadi satu fenomena yang kemudian dapat dipahami sebagai patologi masyarakat modern terkhusus di Indonesia yang mana secara khusus terjadi relasi saling dominasi, yakni dominasi lebenswelt terhadap sistem – dominasi mayoritas kelompok tertentu demi mencapai tujuan politis atas kepentingan mereka, sehingga nuansa politik di Indonesia saat ini dalam rangka menyongsong Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 nanti bisa dikatakan memiliki kecenderungan untuk tidak transparan. 

Politik identitas seakan menutup diskursus publik yang argumentatif, inklusif, bebas berpendapat, dan intersubjektif karena berfokus atas kepentingan intern mereka.

Perseorangan atau golongan tertentu yang menggunakan politik identitas demi memenangkan kontestasi politik karena politik identitas sendiri merupakan atribut yang murah dan mampu menarik perhatian masyarakat – semacam wacana yang mudah melekat dalam diri masyarakat. 

Politik identitas sendiri merupakan ironi yang dipastikan muncul dalam negara yang menjunjung kesatuan karena sekalipun berlatarbelakang keberagamaan, namun kesatuan berangkat dari kesetaraan yang terjadi di antara mereka yang darinya menuju suatu komunitas ideal yang mampu menjunjung persatuan dalam keberagaman.

Namun, kedaulatan masyarakat hanya sebatas berpartisipasi dalam Pemilu nanti, namun dinamika politik yang dijalankan justru jauh dari diskursus yang komunikatif secara rasional. Maka seperti yang telah dikatakan sebelumnya – ruang dialogis perlu dibuka oleh negara agar demokrasi masyarakat Indonesia menjadi lebih sehat dan konsisten – tujuan baik di baliknya adalah untuk mengajak masyarakat berpartisipasi dalam konsensus atas kebijakan publik secara khusus Pemilu Serentak nanti.

Ruang diskursus ini bisa dikatakan sebagai pengalaman perjumpaan setiap kepentingan yang berbeda-beda, namun kemudian melebur menjadi satu atas dasar kesetaraan yang dalam musyawarah tanpa memandang latarbelakang Suku, Ras, Agama, Budaya, maupun golongan. 

Namun ketika dalam keadaan kekhasaan masing-masing pribadi ada yang jauh di dalam kekhasan tersebut yang daripadanya mampu memahami dimensi kebersatuan di dalam keberagaman yang kemudian dijelaskan bahwa di dalam demokrasi ada perwujudan nilai-nilai metafisis manusia sebagai makhluk ber-Tuhan yang diperjuangkan dalam-bersama dengan kemanusiaan universal yang dalam keberagamannya yang dari itu semua ditujukan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (common good) sebagai konsekuensi berkelanjutan.

Dengan demikian, bisa dikatakan ruang diskursus di mana negara yang menghasilkan semacam wacana tandingan demi menandingi politik identitas yang bergerak atas dasar hikmat kebijaksaan di dalam musyawarah demi mencapai kemufakatan (konsensus). 

Maka jika ruang diskursus memang sungguh-sungguh dihadirkan di tengah masyarakat oleh negara maka selain kedaulatan rakyat yang dijunjung, politik identitas dapat diredam sedemikian rupa – masyarakat mampu mengamati para wakil rakyat yang dipilih dalam ruang dialogis di mana sungguh-sungguh toleransi, persatuan dalam keberagamaan dan tentu saja kedaulatan rakyat dalam Pancasila relevan bagi mereka yang mewakilkan masyarakat Indonesia.