Batuan painting terkenal sejak 1930. Sejak masa itu di daerah desa Batuan, terkenal dengan pusat seni lukisan dan pahat. Ada beberapa pelukis yang mengawali Batuan sebagai teknik asli dari Ubud, Gianyar yakni Nyoman Lempard. Sementara dari Desa Batuan dipengaruhi oleh I Nyoman Ngendon, selain itu Ida Bagus Made Togog. 

Ada beberapa artis dari era pre-modern yakni I Dewa Nyoman Mura dan I Dewa Putu Kebes, yang terknal juga sebagai pelukis wayang, dengan style temples ceremonial textiles. Hal ini juga disampaikan oleh Made Griyawan dalam pembukaan pameran lukisan Batuan di Kafe Ubud awal Maret 2022. 

Sementara itu acara yang akan diselenggarakan di Sanggingan di Restoran Indus bertajuk Sacred Garden, akan memamerkan berbagai karya lukisan I Wayan Januariawan.

Made Griayawan menuturkan bahwa ada pengaruh-pengaruh western dalam lukisan Batuan secara intens di Ubud. Gergeous Bali melansir dan menggambarkan bagaimana saya melihat kesulitan pada batuan paintings untuk bisa diikuti dan ditiru. 

Gradation of black to white ink washes laid over most of the surface, so as to create an atmosphere of darkness and gloom. Begitulah teknik batuan yang ada harusnya dapat mencapai standard gradasi gelap terang yang terkesan agak gloomy. Lalu saya teringat lagu Gloomy Sunday yang terkenal itu. Agak tak nyambung tapi mungkin bisa menggambarkan pula kerumitan batuan ini untuk pelukis pada umumnya. Tidak mudah ditiru dan hasilnya belum tentu bisa seindah pelukis dengan teknik asli sesuai pakemnya. 

Kebanyakan pelukis di Bali menyarankan seniman lukis untuk menciptakan karya-karya yang bisa dinikmati oleh turis (turists consumption). Meski bisa apa saja. Batuan di masa ini menangkap cerita folklorepada umumnya yang ada di masyarakat. Balinese folklore with a modern eye a high degree of individuality, begitu seperti yang dipaparkan oleh Made Griyawan dalam acara tersebut. Dan beliau adalah salah satunya. 

Ada sebuah lukisan yang cukup menarik dan mengalihkan perhatian banyak orang yakni, Karang Awak, diilhami dari Hari Saraswati, sebagai perayaan dimana turunnya ilmu pengetahuan, dari dulu para leluhur mengajarkan ilmu pengetahuan sebagai hal yang paling utama atau sebagai senjata yang mampu menolong diri kita sendiri. Banyu pinaruh digambarkan dibawa oleh seorang perempuan, seorang Ibu yang membawa kuali dengan air kasih sayangnya.

Lukisan Made Griyawan menggambarkan hal itu. Karang awak berarti tubuh, tumbuh-tumbuhan sebagai lambang ilmu pengetahuan yang tumbuh, wanita dalam lukisan ini adalah sosok seorang ibu sementara air adalah dharma atau kasih sayang atau welas asih. Lukisan ini sangat mengundang perhatian. Ditulis di instagram Made Griyawan, “Yen sing ngelah karang sawah, awake to tanduri” artinya kalau tidak punya sawah, maka tubuhnya lah yang ditanami ilmu pengetahuan. Karya Made Griyawan diilhami dari pepatah ini.

Banyaknya cerita tentang desa Batuan di Bali, tetap menjadi tempat favorit yang banyak dikunjungi di Bali khususnya bagi mereka yang suka akan karya seni dari Bali dan juga lukisan asli Bali. 

Pak Made dan Ibu Claire yang datang saat pameran menyarankan saya untuk berkunjung ke desa Batuan. Untuk lebih dekat melihat proses dan karya-karya yang dihasilkan oleh para seniman batuan Bali di sana. Batuan village adalah centranya. 

Ada sebuah cerita tradisional Bali, Mahabarata dan Ramayana. Ada satu hal yang sangat terkenal, cerita Wheel of Life yang menjadi bagian dari epic tradisional di Bali. Bagian dari epic ini mengilhami proses pembuatan lukisan Batuan di Bali oleh banyak pelukis.

Di Bali, sendratari Ramayana bisa dinikmati di Uluwatu. Hal ini untuk memahami bagaimana sebuah lukisan diceritakan. Dan memahami tentang apa lukisan tersebut sebenarnya. Ada kisah-kisah di dalamnya yang perlu dipahami kadang-kadang. Menurut Tripadvisor, Uluwatu masih menjadi tempat terbaik untuk menonton Sendratari Ramayana di Bali. 

Meski masih banyak pengunjung atau wisatawan dari luar Bali yang merasa kesulitan untuk memahami maknanya. Mungkin sebagian hanya memahami bagian awal ceritanya, sebagian hanya tengahnya saja. Beberapa mungkin tidak memahami sama sekali ceritanya.  

Berbeda dengan pameran dari pelukis I Wayan Januariawan yang diadakan di Indus Restaurant, Jalan Raya Sanggingan, bertajuk Sacred Garden, pada hari Sabtu 2 April 2022. Lukisan yang dipamerkan bergaya realisme. Dalam kesempatan ini pula penulis berkesempatan bertemu dengan pelukis lainnya, yakni Made Sutarjaya, yang memiliki teknik ekpresionisme yang juga turut datang dalam acara ini. 

Beliau Made Sutarjaya dan I Wayan Januariawan menuturkan bahwa telah melukis sejak masih Sekolah Dasar dan sejak itu pula beliau telah terbiasa menjual lukisan-lukisannya. Begitu kiprah melukisnya ketika masih kanak-kanak. Bagaimana pun Ubud dan Bali adalah tempat lahirnya seniman lukis. 

Sementara itu, wisatawan asing sebagai pangsa pasar yang paling utama dalam hal jual beli karya seni lukis dan pahat seingkali juga mengalami kenaikan dan penurunan. Seringkali kepada wisatawan asing yang datang ke Bali. Beliau menuturkan banyak yang datang ke Bali untuk membeli lukisannya, khususnya kolektor mancanegara. Di tahun 1999 kebanyakan wisatawan asing langsung membeli beberapa lukisannya.  

Berbeda dengan sekarang, para wisatawan tidak langsung membelinya. Ada keterbatasan finansial yang dirasakan sebab selera wisatawan asing pada karya seni lukis Bali sepertinya tidak pernah berubah dari waktu ke waktu. 

Sementara itu, dalam kesempatan ini ada pengunjung berasal dari Norwegia & Ireland. Ada  hal tertentu yang ditemui setelah pandemi, para wisatawan asing tidak langsung membeli lukisannya yang dibandroll dengan harga ratusan juta. Harga yang sebenarnya terjangkau bagi kolektor. 

Pada pameran lukisan kali ini, para pengunjung pameran pada pembukaan pameran lebih suka dengan karya Pak Wayan dalam gambar di atas. Lukisan favorit pengunjung yang datang ada pada dokumentasi di atas. Berlokasi di sawah belakang atau kebun belakang Arma, lukisan tersebut. Sementara lukisan favorit pelukis adalah Banana Garden. Sangat ciamik!