Pukul setengah lima pagi aku sudah bangun. Ibu belum pergi ke pasar seperti pagi-pagi sebelumnya. Pada hari biasa, ibu akan berangkat pukul setengah lima dan tepat pukul enam masakan sudah siap makan. Tapi tidak untuk hari ini. Aku heran tapi enggan menanyakan.

"Sudah lapar?” tanya ibu dari dalam kamar. Pertanyaan yang kelewat dini dan tentu aku belum merasa cukup lapar pagi ini. Aku hanya menjawab tidak, kemudian ibu berlalu saja masuk ke kamar mandi. Selepas mandi ibu bertanya lagi “Ingin makan menu apa hari ini?”. Aku menjawabnya cukup lama sebab aku tidak benar-benar ingin makan sesegera mungkin pagi ini.

“Jika sudah lapar beli saja nasi ke warung Bu Eni. Hari ini ibu tidak masak,”

        “Baik, jika sudah lapar nanti aku akan ke sana,”

        “Uangnya ada di atas kulkas. Warungnya baru buka pukul tujuh,”

        “Kenapa hari ini Ibu tidak masak?”

        “Ibu harus ke rumah Kakek. Penyakitnya kambuh lagi,”

        “Sampai kapan?”

        “Mungkin tiga hari,”

Aku diam. Tidak melanjutkan percakapan. Sementara ibu mengemas barang-barang yang akan dibawa ke rumah kakek.

        “Ibu sediakan uang di atas kulkas. Bisa kamu gunakan untuk makan beberapa hari ke depan. Jika tak mau sendiri di rumah, Hasan bisa bareng Ibu berangkat ke rumah Budhe dan tinggal beberapa hari di sana,”

        “Oke, aku tinggal di rumah Budhe saja. Aku malas sendirian,”

Aku memasukan beberapa pakaian ke dalam tas, kemudian kami berdua berangkat. Ibu sudah paham jika aku tidak akan pernah mau ditinggal sendirian di rumah. Semenjak bapak sering mengantar barang ke luar kota, aku dan ibu tinggal berdua di rumah. Rumah kami tidak telalu besar. 

Sederhana saja. Perabotan pun tidak banyak. Hanya saja lokasi rumah yang cenderung jauh dari keramaian dan lebih banyak dikelilingi pohon-pohon besar menjadikan aku malas tinggal di rumah sendirian. Aku tumbuh sebagai anak yang penakut dan pada titik tertentu ibu benci itu.

Sesampai di rumah budhe, tampak budhe duduk di beranda rumah dan sudah sangat siap untuk berangkat. Aku mematikan motor. Ibu turun kemudian aku mencium tangan budhe. Davi keluar dari dalam rumah dan menyapaku dengan senyuman. Budhe mengatakan kepada ibu bahwa pemberangkatan ke rumah kakek pagi ini perlu disegerakan. 

Aku tidak tahu pasti apa penyakit yang diderita kakek beberapa tahun belakangan. Yang aku tahu, ibu sekali waktu bercerita bahwa kakek sedang mengidap aritmia; semacam penyakit jantung. Tak jarang ibu membawanya ke rumah sakit untuk cek kesehatan. Mungkin karena usia kakek yang telajur tua, sehingga imun tubuhnya terlalu kalut ketika menopang penyakitnya.

“Bulek minta tolong temani Hasan. Jangan kaget jika dia minta diantar ke kamar mandi ketika malam hari. Memang dasarannya anaknya penakut,” ucap ibu pada sepupuku, Davi.

        “Memang ada apa? Tidak ada apa-apa, kok. Selagi tidak berbuat hal yang aneh-aneh kenapa harus takut?” sahut budhe.

        “San, dengarkan ucapan Budhemu!”

        “Iya. Paham…”

Kemudian ibu dan budhe berangkat. Aku dan Davi masuk ke dalam rumah. Kami berdua bermain game selama berjam-jam. Ketika masuk waktu siang, kami rehat sejenak untuk salat dan makan kemudian melanjutkan main lagi hingga petang. Masuk pukul tujuh malam hujan turun cukup lebat. 

Aku merasa kantuk. Davi mengajak untuk melanjutkan permainan namun aku tak bisa menahan katup mata yang semakin letih. Aku memutuskan untuk tidur sementara Davi melanjutkan sendiri permainannya.

Hari berganti pagi. Kuamati lingkungan sekitar rumah selepas hujan deras tadi malam. Tanah tampak basah oleh genangan air. Dedaunan masih meneteskan air bekas guyuran hujan. Sinar matahari belum tampak menyinari lingkungan rumah. Langit masih membeberkan awan mendung. Padahal jam hampir masuk pukul sembilan.

“Pagi ini makan lauk telur sama sambal, ya. Aku sedang malas keluar rumah,” tawar Davi.

        “Terserah, yang penting makan,”

Memang pagi ini badan terasa sangat malas untuk melakukan aktivitas. Sebenarnya kami juga sedikit malas untuk masak. Berhubung lapar, akhirnya kami masak seadanya.

Davi memberi tahu, bahwa ada warung langganan keluargnya ketika mereka sedang tidak masak. Tapi warung itu jaraknya cukup jauh dari rumah. Sekitar lima belas menit jika menggunakan motor. Sementara sekarang motor di rumah budhe sedang rusak.

“Jika mau sedikit capek, bisa pakai sepeda ontel di halaman belakang,” ucap Davi.

        “Bergerak saja aku malas sekali, apalagi beli makan pakai sepeda ontel,”

        “Iya juga, sih,”

        “Cuaca memang sedang mendukung kita untuk bermalas-malasan,”

        “Berarti pagi ini kita makan seadanya?”

        “Iya, seadanya saja,”

Kami pun memasak bahan-bahan seadanya yang ada di dapur. Menggoreng telur dan meracik sambal tentu tidak membutuhkan waktu lama. Lima belas menit masakan siap makan. Kami berdua langsung melahapnya. Selepas makan, kuperhatikan langit dari bilik jendela. 

Terlihat masih mendung, bahkan mendungnya semakin paripurna dari sebelumnya. Perasaan hati semakin tidak nyaman. Tapi aku menjaga untuk tidak mengatakan itu kepada Davi. Jika sampai Davi tahu, ia pasti akan semakin menakutiku.

 Hujan lebat menyelimuti malam kedua di rumah budhe. Suasana semakin mencekam ketika gemuruh petir dan hembusan angin mengoyak pepohonan di sekitar rumah. Kami memilih untuk berkumpul di ruang tengah. Aku bermain ponsel, Davi menonton TV. Sekitar pukul sepuluh, hujan berangsur reda. 

Menyisahkan gerimis dan gemuruh petir yang menggema di langit. Kulihat Davi sudah tertidur, sementara TV masih menyala. “Asem, Davi sudah tidur!” umpatku lirih. Kumatikan ponsel, aku mulai menonton TV. Tak ada siaran yang menarik untuk ditonton. Ada beberapa film, namun sialnya pernah kulihat sebelumnya. Tak apalah, daripada tidak ada suara TV.

Malam semakin larut. Jarum jam hampir menyentuh pukul dua belas malam. Tampaknya di luar hujan benar-benar reda. Tak sedikit pun terdengar suara gemericik air. Bagiku itu lebih menjengkelkan. Suara hewan-hewan malam dan hempasan angin kencang yang mengoyak pepohonan, seakan menjelma suara-suara aneh ketika tertangkap oleh telingaku. 

Sesekali kulihat Davi, ia tampak tidur nyenyak sekali. Aku tetap menonton TV dengan suara yang cukup keras. “Krek…krek…” tiba-tiba telingaku menangkap semacam suara gesekan dari atap rumah. Aku berusaha tenang. Mungkin itu hanya perasaanku saja. Aku menambah volume suara TV agar tak ada perasaan aneh yang timbul.

“Krek…krek…” suara itu terdengar lagi untuk kedua kalinya. Suara yang berada tepat di atas kepala Davi. Nyaliku mulai ciut. Tapi aku mencoba untuk tatap tenang. Volume suara TV semakin kutambah hingga mencapai volume paling tinggi. 

Aku mencoba membangunkan Davi, tapi ia telanjur lelap. Aku tidak bisa berbohong dengan ketakutanku. Aku mulai panik dan perasaanku mulai kalup. Meski suara itu terdengar kecil karena tertutup oleh suara TV, namun cengkraman udara malam menjadikan suara itu melekat jelas di telingaku. Aku positif thinking bahwa itu suara tikus yang sedang seliweran di atap rumah. Tapi sialnya aku tidak bisa. Suara itu lebih mirip seperti suara kuku-kuku panjang yang digesekkan ke pintu kayu.

 “Hush…hush!” Sesekali kulemparkan usiran ke arah suara itu. Suara berhenti, namun hanya beberapa detik, kemudian muncul lagi. Aku coba menghiraukan dengan menonton TV. Lamat-lamat, suara itu tidak terdengar lagi. Aku merasa sedikit tenang, lalu kembali menghadap TV.

 “Blub…” tiba-tiba lampu mati. Aku terkejut bukan main. “Bangsat! Godaan apalagi ini,” ucapku sedikit keras. Memang suasana mati lampu kerap terjadi selepas hujan turun. Namun aku sangat tidak setuju jika kenyataan itu kuhadapi malam ini. Untung saja suara dari atap rumah sudah tak terdengar lagi. Tapi pikiranku tidak bisa berhenti untuk terus menghadirkan hantu-hantu yang sering aku tonton di film horror.

Sejurus kemudian aku kebelet kencing. Tapi kamar mandi cukup jauh dari ruang tengah. Tepatnya berada di halaman belakang dan terpisah dengan bangunan rumah. Davi masih tertidur. Aku pun memutuskan untuk membuang air kecil di samping rumah. Aku tahu bahwa membuang air kecil di sembarang tempat adalah keputusan buruk, namun pada titik tertentu ketakutan sering kali menggugurkan kredo yang telah kupercayai. 

Seusai buang air kecil, aku memilih untuk pindah ke dalam kamar. Kamar yang ukurannya sangat kecil. Di dalamnya penuh dengan perabotan. Sesampai di kamar aku menghidupkan ponsel lagi. Mencari film pilihan yang bisa membuatku lupa dengan suasana malam ini. 

Setelah mendapatkan film yang kucari, headset kupasang dan kukeraskan volume suaranya. Agar kenikmatan semakin sempurna, kubalutkan selimut ke sekujur tubuhku. Suasana sedikit tenang. Tak ada lagi suara yang mengganggu. Tak ada juga pikiran yang aneh-aneh. Yang kurasakan hanya keseruan adegan-adegan film di setiap menitnya.

Hampir tiga puluh menit aku menikmati film itu. Tiba-tiba selimut di bagian kaki seperti ada yang menarik-narik kecil. Namun kuhiraukan. Aku tetap menikmati film yang sedang aku tonton. Tapi lama kelamaan, tarikan itu terasa sangat jelas. Perasaanku mulai tidak enak. Kubuka perlahan selimut yang membalut tubuhku. 

Lampu masih mati, sehingga tak tampak satu pun benda yang ada di kamar ini. Kunyalakan lampu senter dari ponsel, kuarahkan tepat di sekitar kakiku.

 “Astaghfirullah!” aku sangat terkejut melihat sosok anak kecil dengan posisi jongkok tepat di depan kakiku. Aku hanya sempat melihatnya sepersekian detik. Rongga matanya bolong, tak ada bola mata di sana. Entah bocah itu laki-laki atau perempuan, yang kulihat sosok kecil itu memiliki rambut panjang seleher.

Ponselku terjatuh di samping tubuhku. Lampu senternya masih menyala. Kucoba raih ponselku tapi tangan terasa berat sekali untuk digerakkan. Aku berusaha menjerit, tapi jeritanku hanya mentok di tenggorokan. Sekujur tubuhku terasa dingin membeku. Napasku berat sekali. Tapi sosok bocah kecil itu masih enggan menghilang. Tetap jongkok dan menghadap ke arahku. Pandanganku mulai kabur. Hingga akhirnya aku tak sadarkan diri.

Keesokan harinya, terdengar samar-samar suara Davi memanggil. Tapi mataku terasa sangat berat untuk dibuka. Karena tidak merespons, Davi menghampiriku dan menggoyang tubuhku.

 “Ayo makan, masakan sudah matang,” ucapnya lirih. Aku berusaha membuka mata meski kepala terasa sangat pusing. “Sejak kapan kamu pindah ke kamar?” imbuhnya. 

Tak satu pun kata yang terucap dari mulutku. Aku masih terbayang-bayang sosok bocah kecil yang menghantuiku kemarin malam. Aku pun teringat perkataan budhe beberapa waktu lalu sebelum ia berangkat menuju rumah kakek. Aku kualat.