Baru juga sebulan lebih beberapa hari,  sentilan Pakde Jokowi agaknya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Padahal, saat Rakornas Kepala Daerah dan Forkopimda di Sentul, Jawa Barat, pada 17 Januari lalu, Pakde menyindir para kepala daerah yang melarang kegiatan dan pendirian rumah ibadah bagi warga selain muslim.

Bisa jadi, sindiran Pakde tidak mempan atau memang mereka mbalelo. Mbalelo”, adalah istilah bahasa Jawa yang artinya susah diatur, atau bahkan membangkang perintah atasan. Alih-alih introspeksi dengan kondisi daerahnya, persekusi terhadap minoritas semakin menjadi-jadi. 

Adalah Sukabumi dan Sintang, dua daerah yang Bupati bersama jajaran Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda)-nya mempersulit ibadah kelompok minoritas. Dalam kasus Sukabumi, Bupati  H. Marwan Hamami dan Forkopimda Sukabumi melarang Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Parakansalak membangun sarana peribadatan maupun kegiatan keagamaan lainnya.

Setali tiga uang dengan Sukabumi, kejadian serupa terjadi di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat pada  26 Januari 2023.  Forkopimda Sintang, Kalimantan Barat, mengekang Ahmadiyah dengan melarang melakukan aktivitas keagamaan tertentu. 

Apa yang terjadi pada Ahmadiyah adalah fenomena gunung es. Terhadap kelompok Ahmadiyah dan Syiah saja yang notabene masih dalam ruang lingkup bahasan Islam sudah diperlakukan sebagai “liyan”, lalu bagaimana dengan minoritas nonmuslim lainnya ? Faktanya, di lapangan masih mengkhawatirkan. Sepanjang 2022 Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) mencatat ada 23 gereja yang mengalami gangguan. Data ini terus meningkat sampai hari ini.

Bagaimana nih, kelakuan anak buahmu Pakde ? Engkau mengatakan agar “konstitusi tidak kalah oleh kesepakatan” namun pada kenyataannya, konstitusi, selalu di KO-kan aparat-aparatmu sendiri. 

Tentu, para Kepala Daerah bukan anak kemarin sore yang perlu diajari bahwa kebebasan menganut agama dan menjalankan keyakinan adalah salah satu pilar demokrasi. Mereka tahu itu kok, masalahnya apakah mereka mau menjalankan itu semua ?

Pada akhirnya mereka lebih takut kepada konstituennya dibanding kepadamu, Pakde. Mereka takut tidak terpilih lagi di pemilihan berikutnya. Kasarnya, peduli setan dengan minoritas, asalkan mereka mendapat garansi dengan melarang Ahmadiyah, dengan mempersulit pendirian gereja maka mereka akan terpilih lagi untuk duduk di singgasana kenikmatan.

Aku sesungguhnya angkat topi kepadamu, Pakde. Engkau sudah tegas dengan dua ormas intoleran seperti FPI dan HTI. Engkau bubarkan mereka, sebuah gebrakan luar biasa, di mana Presiden sebelumnya malah membiarkan kedua ormas ini tumbuh dan berkembang selama dua periode. 

Mereka –FPI dan HTI- merasa sebagai polisi moral yang berhak menuduh kelompok lain sesat, mereka merasa berwenang, melebihi aparatmu untuk men-sweeping dan mengobrak-abrik tempat-tempat yang mereka anggap menyebarkan maksiat.

Tapi, kemudian bawahanmu gagal paham. FPI dan HTI hanyalah wadah atau cangkang saja, sementara ideologinya nyaris tak tersentuh. Ideologi intoleran, radikalisme masih menyebar bagai sel-sel kanker. Dan, maaf saja, pemerintahan Pakde belum berbuat banyak untuk mencegah dan mereduksi ideologi ini.  Proyek deradikalisasi belum kedengaran gaungnya, siapakah targetnya, bagaimana efektivitasnya sampai hari ini ?

Mirisnya, terjadi pembiaran di tengah-tengah masyarakat. Seakan-akan sah-sah saja menyegel masjid milik Ahmadiyah. Boleh-boleh saja, melarang umat Kristiani untuk beribadah. Dengan pembiaran, bahkan parahnya, pelibatan aparat seperti satpol PP, pemerintah daerah berkelindan dengan ormas intoleran sebagai pelaku intoleransi.

Dengan demikian fenomena yang terjadi di tanah air berkebalikan dengan klaim bahwa negara dan masyarakat kita sangat toleran. Praktik-nya di lapangan, toleransi yang terjadi adalah sebuah “lazy tolerance” toleransi setengah hati atau bahkan toleransi malas-malasan. 

Di sini, kami sebagai warga negara yang masih peduli dengan perjalanan hidup bangsa ini memohon ketegasanmu kembali Pakde. Jewerlah para bawahanmu yang mbalelo ! Kalau perlu berikan mereka SP 1 sampai SP 3 ! Bukankah perilaku mereka sesungguhnya menggerogoti kewibawaanmu ? Moso belum juga satu bulan, pesanmu di Sentul itu sudah mereka lupakan ?

Jangan biarkan kasus persekusi, intoleransi berulang yang seakan mengiyakan perkataan Goerge Santayana, “mereka yang tak mampu mengingat masa lalu, dikutuk untuk mengulangnya.” Maka, agar Bangsa selamat, tidak mengalami perpecahan seperti negara Balkan atau Timur Tengah, toleransi, keberagaman, dan kebhinekaan harus tetap dirawat dan diruwat. 

Sejatinya inilah modal sosial bangsa ini. "Sebuah bangsa dapat mengalami kehancuran bila toleransi sosial, agama, dan budaya tidak mantap," tulis Buya Syafii Ma’arif, guru bangsa yang belum lama ini meninggalkan kita.

Sisa waktu pemerintahan Pakde tinggal setahun lagi. Apakah “Nawa Cita” adalah realitas atau sekadar slogan belaka ? Kebhinekaan terus diuji dan negara tidak boleh kalah dan didikte kelompok-kelompok intoleran. 

Engkau pun sejatinya tahu, pemerintahan yang baik adalah yang menjamin kemerdekaan hakiki rakyatnya, termasuk kemerdekaan untuk memeluk kepercayaannya tanpa takut diintimidasi, dipersekusi oleh pihak lain. Benarlah yang diungkap Richard Schoch, dalam bukunya “The Secret of Happines” “Definisi pemerintah yang baik : pemerintah yang memungkinkan Anda tidur dengan tenang di malam hari, meyakini tenggorokan Anda tidak akan digorok, putri Anda tidak akan diperkosa, dan rumah Anda tidak akan dibakar.”

Ayo, Pakde, tunjukan ketegasanmu sekali lagi !

Referensi :

https://nasional.tempo.co/read/1691948/kewibawaan-presiden-jokowi-dipertanyakan-karena-kasus-intoleransi-beragama-masih-marak-terjadi

https://tirto.id/banyak-persekusi-sindiran-jokowi-soal-rumah-ibadah-tak-digubris-gCuJ

https://tirto.id/banyak-persekusi-sindiran-jokowi-soal-rumah-ibadah-tak-digubris-gCuJ