Kini Jakarta menjadi lengang dan kembali dingin setelah sekitar dua hari panas dibakar amarah. Bentrok yang terjadi antara oknum pengunjuk rasa dan oknum keamanan membuat Jakarta mencekam. Ia layaknya kota mati, sepi dari segala bentuk aktivitas keseharian yang lazim.

Para demonstran mulai kembali pulang, perlahan tapi pasti meninggalkan Jakarta sebagai pusat para demonstran berteriak menuntut keadilan. Diakui ataupun tidak, mereka rela menyudahi aksinya setelah Prabowo mengajak mereka untuk pulang dan menyatakan bahwa ia akan menempuh jalur hukum untk menggugat hasil pemilu.

Lantas banyak tokoh yang mengapresiasi langkah Prabowo dan tak jarang menyebutnya sebagai pahlawan karena berhasil meredakan ketegangan dan bentrok massa aksi dengan pihak keamanan, sehingga Jakarta kembali menjadi tenang. Iya, dia memang seorang pahlawan, tapi pahlawan kesiangan.

Kalau dia memang seorang pahlawan, seharusnya aksi massa para pendukungnya itu tidak boleh sampai terjadi. Dia harus melarangnya, meski pada hakikatnya aksi demonstrasi atau menyatakan pendapat di muka publik telah diamini undang-undang; tetapi dalam konteks aksi atas ketidakpuasan pemilu kali ini, pertimbangan kemaslahatan harus diprioritaskan.

Sehingga ketika aksi demonstrasi itu tidak terjadi, maka kemungkinan besar bentrokan yang memakan banyak korban dan menelan kerugian, baik materil maupun immateril, tersebut tidak perlu terjadi. Toh, pada akhirnya, kubu Prabowo-Sandi menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Seandainya Prabowo dan para pengikutnya sejak pertama kali KPU mengumumkan hasil pemilu tegas menyatakan kepada publik, terutama kepada para pendukungnya akan menggugatnya ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan tidak mencla-mencle teriak-teriak people power, maka aksi demonstrasi itu tidak akan pernah terjadi.

Saya sama sekali tidak menyalahkan Prabowo, tetapi hanya sangat disayangkan kenapa aksi massa itu sampai terjadi. 

Lalu apakah saya menyalahkan aksi massa? Tidak. Aksi massa itu dijamin dan dilindungi undang-undang, kok. Tetapi perlu diketahui, aksi massa atau mobilisasi massa dalam konteks (kepentingan) politik rentan ditunggangi pihak-pihak berkepentingan dan rentan disusupi provokator, sehingga aksi menjadi anarkis dan kerusuhan menjadi pecah.

Prabowo sebagai tokoh yang telanjur dianggap sebagai penyelamat dan pahlawan, meski “kesiangan”, oleh massa pendukungnya seharusnya mampu mendinginkan massanya di saat suhu konstelasi perpolitikan kita memanas. 

Narasi kecurangan pemilu dan keberpihakan penyelenggara pemilu kepada salah satu calon tidak perlu diteriakkan semasif mungkin ke hadapan publik. Karena jika benar dan ada bukti bahwa pemilu kita diselimuti kecurangan, seharusnya dibuktikan melalui jalur hukum. 

Hal itu lebih elegan dan bermartabat sebagai seorang pahlawan (kesiangan). Jadi jihad dan perangnya di Mahkamah Konstitusi (MK) dengan menghadirkan bukti dan saksi sebanyak mungkin, bukan di jalanan.

Membawa ketidakpuasan pada hasil pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK), apalagi meyakini ada kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif selama proses pilpres, bukan saja merupakan langkah yang terhormat, tetapi juga merupakan kewarasan dalam berdemokrasi dan menjadi pendidikan politik bagi publik kita yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi.

Nilai-nilai demokrasi lambat laun sudah mulai luntur dalam kehidupan berpolitik kita dewasa ini. Perbedaan pendapat dan berbeda pilihan politik telanjur dianggap sesuatu yang menjijikkan, sehingga ia menjadi alasan untuk saling mencaci dan menegasi antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. 

Padahal perbedaan adalah sesuatu yang lazim, jika tidak bisa disebut fardhu di dalam alam demokrasi. Bahkan, menurut saya, perbedaan merupakan prasyarat dalam esensi demokrasi. Karena dengan perbedaan kita mampu mengetahui seberapa kuat demokrasi itu dalam praktik politik masyarakat kita.

Memang sangat disayangkan, kondisi politik kita jauh panggang dari nilai-nilai demokrasi yang menjunjung tinggi perbedaan, baik perbedaan pendapat maupun perbedaan pilihan politik. 

Politik kita dewasa ini lebih didominasi oleh politik Machiavellian yang begitu akrab dengan kebiadaban politik. Pandangan politik yang menghalalkan segala cara demi mendapatkan kekuasan. Kekuasaan yang berani mengorbankan kepentingan masyarakat banyak demi kepentingan elite penguasa dan politisi busuk.

Kemudian dalam konteks aksi massa di Jakarta, saya yakin bahwa Prabowo adalah seorang negarawan yang tidak mungkin mengorbankan fanatisme para pendukungnya untuk kepentingan politik dan kekuasaan yang nikmatnya sesaat itu. Tetapi dia terlambat menenangkan massa dan mengajaknya pulang ke rumahnya masing-masing. Amarah telanjur menjadi membara, membakar Jakarta.

Kalau memang Prabowo, misalnya, tidak ingin dan tidak mampu melarang massa pendukungnya untuk melakukan aksi, maka seharusnya dia bersama elite politisi 02 ikut turun aksi ke jalan sambil mengomandani jalannya aksi. Semata-mata supaya aksi tersebut mudah dikendalikan dan tidak mudah disusupi provokator dan perusuh. 

Jika itu yang dilakukan Prabowo, maka dia pantas disebut pahlawan tanpa embel-embel. Misalnya, pahlawan kesiangan menjadi "pahlawan" saja.