Manusia adalah mahluk yang secara psikis terus berkembang. Berbagai hal di dalam kehidupan manusia dapat membentuk pemikiran manusia tentang berbagai hal. Salah satunya adalah bagaimana manusia dapat memiliki pola pikir ekstrimis di dalam dirinya. Ekstrimisme di dalam diri manusia tidak terbentuk begitu saja. Faktor di dalam dan di luar diri manusia sangat mempengaruhi psikis ekstrimis manusia.
Definisi ekstrimisme dapat diartikan sebagai sebuah pemahaman yang mengupayakan segala cara untuk menunjukkan eksistensinya dan menghalalkan berbagai cara untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai. Ekstrimisme dapat membuat manusia memandang sesuatu sangat berbeda. Ekstrimisme dapat membuat manusia memandang manusia lainnya lebih rendah.
Jika melihat dari definisinya, ekstrimisme menjadi sebuah paham yang membuat manusia dapat memandang manusia lain yang berbeda dengan dirinya lebih rendah. Akan tetapi pemahaman lain dari ekstrimisme yang paling dasar adalah adanya pembedaan di dalam kehidupan. Artinya ekstrimisme akan melahirkan upaya diskriminasi atas dasar perbedaan, baik dilakukan secara sadar dan terorganisir atau tidak.
Manusia dan ekstrimisme di dalam dirinya bukanlah perilaku dan pemahaman psikologis yang hadir begitu saya di dalam diri manusia. Ekstrimise terbentuk di dalam diri manusia karena faktor di dalam dan di luar diri manusia yang berproses dalam membentuk nilai-nilai yang menjadi dasar pemahaman dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Perilaku ekstrimis tidak terbentuk alami sepenuhnya di dalam diri manusia. Berbagai bentuk campur tangan pihak luar dapat menjadi faktor signifikan dalam terbentuknya pemahaman ekstrimis
Jika melihat dari bagian tersebut, maka ekstrisme memiliki akar mula kemunculnya. Artinya ekstrimise tidak muncul begitu saja dari dalam diri manusia. Salah satu pembentuk pola pikir dan perilaku ekstrimis dalam diri manusia adalah psikologi manusia dan dinamika di dalamnya. Akan tetapi psikologi manusia itu sangat luas, maka idealnya ada salah satu nilai yang ditanamkan dalam psikis manusia yang berdampak signifikan dalam pola pikir ekstrimisme.
Salah satu sifat yang melahirkan ekstrimisme yang mempengaruhi psikis untuk melakukan kekerasan adalah rasialisme. Sebuah pemikiran yang disadari atau tidak sering kita lakukan di dalam kehidupan sehari-hari. Sebuah pemikiran yang sering kali kita ucapkan atau kampanyekan untuk menolaknya, namun kita sering tidak sadar melakukannya kepada orang lain.
Rasialisme menurut definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah prasangka berdasarkan garis keturunan atau bangsa, perlakuan berat sebelah terhadap suku bangsa yang berbeda. Selain itu menurut KBBI definisi lain dari rasialisme adalah paham bahwa ras sendiri adalah ras yang paling unggul.
Jika ditarik kesimpulan sederhana dengan cakupan yang lebih luas, maka rasialisme dapat diartikan sebagai sebuah pemahaman yang memandang rendah orang atau kelompok orang yang berbeda identitas dengan kita. Rasialisme tidak dapat dijadikan dasar untuk hidup bersama dalam komunitas yang plural seperti bangsa Indonesia, karena akan merusak persatuan bangsa.
Rasialsme juga dijelaskan dalam teori evolusi Darwin. Perbedaan warna kulit dan bentuk tubuh membuat adanya perbedaan yang signifikan di dalam kehidupan manusia. Lalu di dalam kehidupan manusia berkumpul dengan orang-orang yang memiliki kemiripan dan memiliki garis keturunan yang sama. Sehingga manusia berkumpul untuk mewujudkan supremasi klan atas klan lain yang berbeda dengan mereka.
Manusia secara psikis memiliki kemampuan untuk membedakan manusia lainnya. Manusia pada dasarnya memiliki kemampuan untuk membedakan orang lain yang berbeda dengannya. Kemampuan tersebut ada secara alami di dalam diri manusia. Bentuknya adalah berupa kepekaan untuk melihat perbedaan identitas yang ada di dalam dirinya dan di dalam orang lain.
Kemampuan manusia untuk membedakan dirinya dengan orang sekitarnya sebenarnya memiliki manfaat di dalam kehidupan. Manfaat tersebut adalah manusia dapat membentuk eksistensi berdasarkan kesamaan yang ada. Manusia dapat membentuk comfort zone dan berbagai nilai di dalam kehidupan, bersama dengan orang-orang berlatarbelakang serupa.
Kemampuan pembeda ini ternyata membawa dampak buruk di dalam kehidupan manusia. Kita terkadang memandang orang lain yang berbeda, baik individu maupun kelompok. Hal tersebut pada mulanya hanya sebatas pembeda kita dan orang lain yang berbeda. Akan tetapi pada akhirnya faktor pembeda tersebut menjadi sumber pembeda, lalu berkembang menjadi rasialisme.
Klaim mungkin muncul bahwa kita tidak memandang rendah orang lain yang berbeda dengan kita. Akan tetapi tindakan kita sehari-hari dapat menggambarkan rasialisme sering kali kita lakukan. Tindakan-tindakan tersebut tanpa kita sadari atau tidak telah kita lakukan, lalu tindakan tersebut ikut melanggengkan rasialisme di dalam kehidupan kita sehari-hari.
Contoh tindakan rasis yang sering kita lakukan adalah menilai orang lain yang berbeda dengan prasangka. Kita menilai orang dengan prasangka, entah itu muncul dari dalam diri kita berdasarkan pengalaman, atau narasi yang disampaikan orang lain. Penilaian berdasar prasangka akan membawa kita tidak objektif di dalam menilai dan berinteraksi dalam keberagaman. Hal tersebut membuat kita tidak mendapatkan pengenalan yang utuh dari proses interaksi.
“Suku X orangnya kasar-kasar, agama Y penuh kekerasan”. Itulah salah satu contoh prasangka yang sering kita jadikan penilaian. Pengalaman memang dapat menjadi sebuah landasan nilai dan pengetahuan. Hal tersebut bahkan ada di dalam salah satu cabang filsafat. Akan tetapi dalam menilai seseorang prasangka berdasarkan pengalaman tidak sepenuhnya benar, apalagi prasangka yang berasal hanya dari orang lain tanpa adanya proses refleksi di dalam diri kita yang menyampaikan prasangka tersebut menjadi sebuah dasar penilaian terhadap orang yang berlatarbelakang berbeda.
Faktor diluar manusia mempunyai peran membentuk pemikiran rasial atau rasis dalam diri manusia. Prasangka yang muncul juga dapat berasal dari orang lain atau nilai-nilai yang ada di dalam lingkungan sekitar. Psikis manusia tidak terbentuk sepenuhnya di dalam diri manusia. Interaksi manusia dengan dunia luar mempengaruhi pola pikir seseorang dalam memandang dirinya dan dunia.
Rasialisme merupakan sebuah proses yang terjadi antara manusia dan lingkungan di luar dirinya. Rasialisme tumbuh karena kemampuan manusia membedakan dirinya dengan lingkungannya berpadu dengan berbagai nilai dari luar dirinya. Nilai-nilai tersebut yang membuat manusia dapat bersikap atas berbagai hal di dalam kehidupannya.
Pemupukan rasialisme sering terjadi di dalam kehidupan manusia. Berbagai narasi yang terbentuk tentang perbedaan yang terbangun membuat rasialisme makin berkembang. Sayangnya berbagai narasi tentang perbedaan yang timbul tidak disaring terlebih dahulu untuk memilih mana yang patut dan tidak patut dilakukan di dalam kehidupan yang majemuk ini.
Pemupukan nilai rasialisme sering terjadi tanpa kita sadari. Sedari dini kita melihat orang-orang di sekitar kita bertindak rasis. Lalu sejak usia dini kita terbiasa untuk menduplikasi kebiasaan orang-orang di sekitar kita, karena menganggap hal tersebut sebagai suatu hal yang lumrah. Sampai pada usia dewasa kebiasaan rasis tersebut terbawa-bawa hingga usia dewasa.
Kita juga sering sekali berkumpul dengan orang-orang yang memiliki kesamaan dengan kita. Hal tersebut bukanlah sesuatu yang jahat. Bahkan bisa menumbuhkan sense of belonging dalam kehidupan sosial. Akan tetapi bila kita terlalu menenggelamkan diri pada suatu kelompok dan identitasnya, maka kita cenderung akan sulit untuk memahami perbedaan yang ada di luar kelompok. Lalu perbedaan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang mengganggu.
Perbedaan menjadi hal yang sering dijumpai tapi enggan untuk dipahami. Hal tersebutlah yang membuat rasialisme semakin berkembang di dalam kehidupan. Kita terpengaruh oleh orang-orang di luar diri kita. Lalu terikat di dalam suatu tatanan yang sangat menekankan singularitas nilai dan identitas. Sehingga kita hanya mengetahui perbedaan tanpa kemampuan untuk memaknainya.
Perbedaan yang hanya dilihat dapat menimbulkan ketakutan. Ketakutan akan perbedaan membuat individu atau kelompok menganggap perbedaan tersebut sebagai ancaman. Hal tersebut akan membuat kelompok dengan nilai singularitas dan menekankan rasialme akan mengatur mekanisme yang dapat melindungi identitas mereka yang dianggap terancam eksistensi dan keutuhannya.
Rasialisme dan ketakutan akan perbedaan adalah bagian dari dinamika psikologi seseorang. Salah satu dampaknya adalah ekstrimisme yang dapat berkembang. Hal tersebut membuat psikologi kekerasan semakin berkembang. Alam bawah sadar manusia yang menyimpan potensi kekerasan dapat bangkit dan berpadu dengan rasialisme ekstrim, dan menjurus pada kekerasan atas nama keberlangsungan identitas dalam berbagai bentuk.
Situasi sosial-politik semakin memperkuat psikologi kekerasan berbasis rasialisme ekstrim. Keadaan sosial-politik dapat mempengaruhi perkembangan kelompok ekstrimis di dalam kehidupan sehari-hari. Lagi-lagi situasi tersebut akan menjadi faktor yang mempengaruhi keinginan atau bahkan ketakutan kelompok ekstrimis dalam upaya mempertahankan identitasnya.
Pertanyaannya adalah bagaimana upaya yang harus dilakukan untuk mencegah psikologi kekerasan dan ekstrimisme ini terus berkembang? Pertanyaan ini penting untuk direnungkan dalam upaya kita menjawab tantangan akan kekerasan yang berbasis rasial. Perkembangan kekerasan rasial yang tidak lagi terbatas pada suku, melainkan sampai pada perbedaan agama bahkan pandangan politik.
Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah tidak menggunakan prasangka sebagai standar nilai utama. Untuk mengenal suatu individu atau kelompok yang berbeda pada fase pengenalan awal, prasangka dapat menjadi gambaran sementara. Akan tetapi gambaran sementara yang sifatnya semi-hipotesa tersebut tidak dapat dipakai terus seiring interaksi yang terjadi.
Relasi dengan orang yang berbeda identitas akan lebih baik bila diiringi dengan relasi yang minim prasangka. Pasalnya prasangka bisa membatasi relasi kita dan pola pikir kita tentang perbedaan. Prasangka sering kali membangkitkan ketakutan kita, yang justru menghambat pertemanan atau relasi yang terjalin. Biarkan prasangka hilang dengan sendirinya seiring dengan interaksi yang terjalin.
Sebisa mungkin hindarilah candaan rasis. Candaan memang suatu hal yang menyenangkan dan menusuk jiwa sekaligus. Candaan rasial membuat kita kurang peka dengan keadaan orang-orang di sekitar kita. Hal tersebut membuat psikis kita menganggap hal tersebut menjadi hal yang biasa. Bila dibiarkan bisa menjurus pada ekstrimisme yang merugikan banyak pihak
Berteman dengan orang yang berbeda latar belakang untuk menghindari pemahaman ekstrimisme rasial di dalam kehidupan sehari-hari. Pertemanan adalah salah satu hal yang paling menyenangkan dan menyehatkan di dunia ini. Pertemanan dengan berbagai latar belakang membuat kita menghargai perbedaan yang ada.
Satu hal yang perlu dipahami dan yang paling penting adalah perbedaan sebagai sebuah takdir yang dihidupi. Perbedaan akan senantiasa kita jumpai di dalam kehidupan kita sehari-hari. Jangan takut dengan perbedaan yang ada. Tanamkan di dalam benak kita bahwa perbedaan ada untuk membuat hidup saling melengkapi dan lebih berwarna.
Psikis kita memang memiliki kemampuan untuk membedakan perbedaan rasial. Psikis kita juga memiliki kecenderungan untuk nyaman dengan orang atau kelompok yang berlatarbelakang sama. Akan tetapi jangan sampai kita membuat perbedaan menjadi sebuah hal yang ditakuti, lalu mengupayakan beragam cara hanya untuk mempertahankan identitas kita, tanpa menghiraukan nilai-nilai kemanusiaan yang ada.