Artikel sederhana ini lebih kepada upaya pribadi saya untuk memberi gambaran umum seputar hal-hal penting berikut. (1) Kembali mengingatkan betapa manusia itu bermartabat lewat adanya Hak Asasi yang melekat, (2) menunjukkan bahwa Gereja sesungguhnya mempunyai perhatian besar pada Has Asasi Manusia, dan (3) bahwa memperjuangkan martabat manusia merupakan tugas setiap orang, khususnya anggota Gereja.
Hak Asasi Manusia
Hal paling fundamental yang harus disadari dan dipahami ketika berpikir atau berbicara tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disingkat HAM) ialah bahwa HAM itu melekat pada diri setiap manusia. Dengan lain perkataan, setiap manusia memiliki dalam dirinya sendiri, HAM.
Entahkah manusia itu laki-laki atau perempuan, berkulit hitam atau putih, Asia atau Afrika, Lamaholot atau Sunda, Hindu atau Islam, penjahat atau orang saleh, warga sipil atau militer, tua atau muda, politisi atau rakyat biasa, petani atau pilot, dosen atau mahasiswa, semuanya sama, yakni memiliki HAM. Atau, entitas paling substansial serentak universal yang mampu menyamakan semua manusia ialah HAM.
Mengingat betapa penting dan mendasarnya HAM, sikap atau respon terhadapnya juga mesti menjadi penting dan mendasar. Hal ini secara tegas menyata dalam bagaimana HAM setiap orang itu diakui, dijamin, dan dihargai, dalam sebuah komunitas masyarakat tertentu.
Karena setiap orang memiliki HAM yang sama, maka tidak ada apa yang disebut sebagai yang arogan atau yang superior. Sederhananya, tidak ada orang lain yang diperbolehkan membatasi apalagi secara radikal mencabut HAM seseorang, meskipun orang tersebut oleh alasan tertentu dianggap pantas untuk dibatasi. HAM, apa pun argumentasinya, tetap tidak dapat diganggu gugat.
Gereja dan Hak Asasi Manusia
Ada beberapa sumber yang dapat digunakan sebagai referensi untuk menemukan pijakan atau basis argumentasi ketika memperbincangkan HAM, misalnya Konstitusi Pastoral ‘Gaudium et Spes’ dan Ensiklik ‘Pacem in Terris’. Dengan mengelaborasi secara detail pokok-pokok fundamental di bawah tema Martabat Pribadi Manusia, ‘Gaudium et Spes’ hendak menunjukkan bahwa akar-akar HAM mesti dirunut secara lebih reflektif dan eksistensial dalam hakikat manusia sebagai yang bermartabat.
Manusia memiliki hak asasi karena manusia memiliki martabat yang bersifat pribadi. Tanpa mengabaikan catatan penting dalam ‘Gaudium et Spes’, saya akan memfokuskan uraian ini pada Ensiklik mendiang Paus Yohanes XXIII, ‘Pacem in Terris’, yang banyak berbicara tentang HAM.
‘Pacem in Terris’ menyebutkan beberapa hak yang disebut sebagai HAM, yakni; hak untuk hidup (art. 11), hak untuk dihargai (art. 12), hak untuk memperoleh pendidikan yang layak (art. 13), hak untuk beragama dan beribadat (art. 14), hak untuk menentukan corak hidup (art. 15), hak untuk berkarya dan mendapat upah (art. 18 dan 20), hak untuk memiliki harta benda (art. 21), hak untuk membentuk serikat atau organisasi (art. 23), hak untuk bertempat tinggal (art. 25), hak untuk terlibat aktif dalam kehidupan sosial (art. 26), dan hak untuk mendapat perlindungan hukum (art. 27).
Dengan menunjukkan secara tegas hak-hak mana yang disebut sebagai HAM, Ensiklik ‘Pacem in Terris’ lantas menekankan bahwa sumber paling fundamental dari HAM itu tidak ditemukan di luar diri manusia, bukan diserahkan oleh sebuah komunitas religius atau Negara, atau bukan berkat pencapaian suatu gelar akademik tertentu, melainkan ditemukan dan in se dalam diri manusia sendiri, dalam relasinya dengan Sang Pencipta.
Maka, ‘Pacem in Terris’ senada dengan ‘Gaudium et Spes’ yang menggarisbawahi hakikat dasariah manusia yang memiliki hak asasi karena manusia memiliki martabat yang bersifat pribadi. Oleh karena itu, HAM sekaligus bersifat universal, tidak terbatas pada golongan manusia tertentu, tanpa pilih kasih.
Kendatipun otonom (karena martabatnya yang mempribadi), manusia serentak bersifat sosial (ens sociale). Dalam hidupnya, manusia yang satu mesti mengalami perjumpaan dan ada bersama dengan yang lain. Maka, jelaslah, HAM juga saling bertemu. Untuk itu, seperti mata uang, mesti ada sisi yang lain. ‘Pacem in Terris’ menyebut sisi lain itu sebagai kewajiban-kewajiban.
‘Hak-hak kodrati yang diuraikan hingga sekarang, tidak terceraikan dari sekian banyak kewajiban, yang semuanya berlaku bagi pribadi yang sama. Hak-hak maupun kewajiban-kewajiban itu bertumpu pada hukum kodrati, ditopang olehnya, dan karenanya, tidak terhapuskan.
Seraya memberi hak-hak, hukum kodrati menggariskan kewajiban-kewajiban’ (art. 28). Hal ini berarti, HAM selalu diikuti KAM (Kewajiban Asasi Manusia), KAM selalu bersama HAM, dua entitas yang mana satu tak bisa jauh terlepas dari yang lain.
Ada kewajiban untuk memelihara hidup sendiri dan orang lain (art. 29 dan 32), kewajiban untuk mengakui dan menghormati sesama (art. 30), kewajiban untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat (art. 31), kewajiban membangun masyarakat (art. 33), serta kerja sama dan tanggung jawab (art. 34).
Tugas Kita
Kini, dengan amat benderang kita dapat menangkap apa kata Ensiklik ‘Pacem in Terris’ tentang HAM. Bahwasannya, HAM itu melekat erat pada setiap manusia sebagai magnum miraculum yang bermartabat. Dan, HAM selalu diikuti dengan kewajiban-kewajiban. Akhirnya, dan sekiranya tidak diabaikan begitu saja, poin kunci yang menjadi landasan bagi berdirinya relasi timbal-balik HAM dan KAM ialah kebenaran dan keadilan (art. 35).
Sampai di sini, setelah kita, baik langsung maupun tidak langsung mendengar atau menyaksikan maraknya pelanggaran HAM di mana-mana, kita, terutama anggota Gereja tidak diharapkan untuk diam, bungkam.
Entah dalam skala yang paling global, lalu nasional, dan lokal dalam keseharian hidup kita, ‘Pacem in Terris’ hendaknya menjadi landasan dan kekuatan untuk berjuang bagi kemanusiaan kita dan sesama kita. Kita sedang mengikuti Kristus yang wafat demi membela HAM orang-orang kecil dan ‘Pacem in Terris’ menjadi semacam nutrisi baru bagi perjuangan kita.