Apa yang kita lakukan bila rumah mengalami kerusakan dan bentuknya mulai terasa kurang memenuhi kebutuhan? Maka kita perlu segera memperbaiki kerusakannya agar tidak merembet kemana-mana dan memperbarui bentuknya sesuai yang kita butuhkan. Ada tiga metode yang bisa dipilih, yaitu fokus memperbaiki bagian yang rusak saja, atau memperbaiki sekaligus memperbarui (renovasi), atau membongkar rumah secara total untuk mendapatkan bentuk rumah yang betul-betul baru.

Ketiga pilihan metode perbaikan tersebut tentunya dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan kita. Akan tetapi ada satu persamaan dari ketiga metode itu, yang dapat mendukung kesuksesan upaya perbaikan yang kita lakukan, yaitu "konsep yang jelas dan terukur". Metode perbaikan apa yang kita pilih, bagaimana konsep perbaikannya, siapa pelaksana perbaikannya, berapa besar biaya yang dibutuhkan dan berapa lama target waktu yang akan dicapai.

Selain itu, kita juga perlu memikirkan bagaimana nasib para penghuni rumah selama proses perbaikan. Apakah mereka tetap aman bertahan di dalam rumah, ataukah perlu mengungsi ke tempat lain. 

Agar tidak terganggu kebisingan, serta resiko terhadap kesehatan dan keselamatan. Apalagi bila perbaikan membutuhkan waktu yang cukup lama. Pasti kita tidak akan membiarkan penghuni rumah terlantar, tertimpa reruntuhan, kehujanan dan kepanasan dalam waktu yang tidak bisa ditentukan.

Analogi pada Perbaikan Organisasi

Bila kondisi rumah tersebut kita analogikan dengan sebuah organisasi, harus disadari bahwa perubahan pasti terjadi. Organisasi perlu terus memperbaiki diri untuk menyesuaikan dengan berbagai perubahan terhadap pesatnya pertumbuhan, merasa organisasi mengalami kemunduran, perubahan bentuk, jenis dan intensitas persaingan, perubahan dalam peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan pemerintah, perubahan sosial dan politik negara di mana organisasi bergerak (Nugroho, 2008).

Perbaikan terus menerus dengan melibatkan seluruh elemen organisasi telah menjadi tuntutan bagi setiap organisasi saat ini. Hal tersebut dilakukan untuk mengurangi pemborosan, menyederhanakan proses bisnis, meningkatkan kualitas dan kinerja organisasi. 

Harapannya dapat menimbulkan lingkungan yang kondusif untuk berinovasi, meningkatkan kreativitas dan meraih keunggulan bersaing (Mulyati H., irmapa.org). Namun organisasi juga perlu memperhatikan, perbaikan seperti apa yang diperlukan agar tepat tujuan dan sasaran.

1. Konsep yang Jelas dan Terukur

Dalam upaya perbaikan,  manajemen harus dapat menentukan metode yang tepat dengan "konsep yang jelas dan terukur". Apakah fokus pada bagian yang rusak saja, atau memperbaiki sekaligus memperbarui sesuai kebutuhan, atau perlu membongkar total untuk mendapatkan bentuk organisasi yang baru. Membiarkan kerusakan berlarut-larut, akan berdampak kerugian bagi organisasi dan para pihak yang berkepentingan dengan organisasi secara luas.

Manajemen juga harus dapat menentukan bagian organisasi mana yang perlu diperbaiki, bagaimana konsep perbaikannya, siapa pihak-pihak yang terlibat dalam proses perbaikannya, berapa banyak sumber daya yang dibutuhkan dan berapa lama target waktu yang akan dicapai. Konsep ini menjadi mapping bagi manajemen untuk menentukan arah perbaikan yang jelas. Sehingga tujuan dan sasaran perbaikan organisasi dapat tercapai, untuk segera bisa bersaing di kancah global.

2. Identifikasi Kerusakan dan Fokus Memperbaiki

Manajemen sebaiknya tidak bertindak konyol dengan membongkar total organisasi hanya karena kerusakan kecil di beberapa bidang atau bagian. Apalagi bila tidak punya konsep yang cukup jelas untuk membangunnya kembali. Manajemen harus bisa mengindentifikasi kerusakan dan fokus memperbaikinya. Seberapa besar kadar kerusakannya, apa permasalahannya dan bagaimana dampaknya. Manajemen juga harus memperhitungkan berapa banyak tenaga, waktu dan biaya yang diperlukan, sehingga dapat menentukan prioritas perbaikan.

Identifikasi yang benar akan membuat manajemen menemukan cara yang tepat melakukan perbaikan. Bukan sekedar tambal sulam dengan hasil instant, yang tidak bisa bertahan dalam jangka panjang. Manajemen harus mengatur agar upaya perbaikan tidak mengganggu proses bisnis yang sudah berjalan. 

Jangan sampai semua proses bisnis "mandeg" karena proses perbaikan yang tak kunjung usai. Hal ini justru merugikan organisasi karena harus mengulang semua proses bisnis dari awal, termasuk membangun kembali hubungan dengan para pemangku kepentingan.

3. Evaluasi dan Mitigasi Risiko

Perlu diingat, yang paling merasakan dampak perbaikan adalah manusia yang ada di dalamnya. Manajemen harus memikirkan bagaimana caranya agar pegawai tetap dapat bekerja dengan nyaman. Melakukan perbaikan secara bertahap dan memberikan kesempatan pada pegawai untuk menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan. 

Dalam setiap tahap perbaikan, manajemen dapat melakukan evaluasi dan mitigasi risiko. Karena tidak ada rencana yang sempurna, maka harus selalu ada upaya mengurangi risiko dan dampak negatif dari perbaikan.

Jangan membiarkan pegawai terombang-ambing tanpa kepastian di tengah situasi yang serba membingungkan. Manajemen perlu menciptakan keterbukaan informasi, memberikan pendampingan serta memberikan feedback positif dari setiap masukan dan saran dari pegawai. 

Manajemen harus bersedia memberikan dukungan yang memadai untuk mengimbangi segala konsekuensi dari upaya perbaikan yang mungkin bisa berdampak positif ataupun negatif. Sehingga organisasi mendapat dukungan sepenuhnya untuk berubah menjadi lebih baik.

Bukan Ajang Uji Coba dan Bongkar Pasang Tanpa Tujuan

Kebijakan yang terus menerus berubah dalam prosesnya, membuktikan tidak adanya konsep perbaikan organisasi yang jelas dan terukur. Ibarat rumah yang terus menerus direnovasi, tentu melelahkan bagi penghuninya. 

Apalagi bila terus menerus bongkar pasang karena model atau kualitas bangunan yang tidak kunjung cocok, pasti menghabiskan sumber daya yang sangat besar. Dan tentunya sangat mengganggu aktivitas keseharian para penghuninya.

Kondisi ini justru bertentangan dengan prinsip efektivitas dan efisiensi yang awalnya menjadi tujuan organisasi memperbaiki diri. Organisasi bukannya mencapai kemajuan, tapi malah semakin mengalami kemunduran.

Bagaimanapun metodenya, proses perbaikan pada organisasi tidak seharusnya menjadi ajang uji coba dan sekedar bongkar pasang tanpa tujuan.  Apalagi bila hanya untuk memenuhi ambisi segelintir orang pada level pimpinan atau semata untuk kepentingan politis.

Selain itu, upaya perbaikan organisasi juga tidak seharusnya membuat pegawai terlantar tanpa kepastian. Sumber daya manusia adalah salah satu faktor yang sangat penting, bahkan tidak dapat dilepaskan dari sebuah organisasi. Sehingga mereka perlu dilibatkan untuk berpartisipasi aktif mendukung upaya organisasi memperbaiki diri, serta tetap harus diutamakan dan diperhatikan pengelolaannya dengan baik. (IkS)