Negara-negara mayoritas Muslim sedang menghadapi tantangan yang sama, yaitu mengejar ketertinggalan atas dominasi Barat. Selama seratus tahun terakhir, peradaban Islam tampak makin meredup, kehilangan arah, bahkan amnesia atas kejayaan abad pertengahan (The Golden Age of Islam)

Ilmuan Muslim seperti al-Tusi, Ibnu al-Nafis, dan Jabir bin Hayyan, misalnya, atau kejayaan Dinasti Umayyah dan Abbasiyah abad pertengahan, tak mampu lagi mendongkrak identitas keilmuan umat Islam, terlebih bidang teknologi, industri, dan militer yang menandai modernitas sekaligus kemajuan Barat.

Kondisi umat Islam yang tak mampu menyaingi Barat menuai beragam respons. Ada kalangan yang tetap bersikukuh bahwa dari sisi peradaban, Islam tetap unggul dari Barat. 

Superioritas Barat saat ini tak lepas dari peran Islam di masa lalu. Memandang sinis apa pun produk Barat termasuk kemajuan industri dan teknologi, mereka tetap meyakini segala kemajuan Barat akhirnya dimanfaatkan atau hanya alat untuk membentuk teritori kolonial dan mengubah struktur norma sosial dengan opium liberalisme, kapitalisme ekonomi, dan sekularisme.  

Pemikiran ini masih terbelenggu dalam romantisme kejayaan yang kemudian terkubur bersama kejayaan Islam yang tegak selama puluhan abad dan musnah pada tahun 1924, yang kini hanya menyisakan bangunan sejarah bukti generasi Islam pernah berkuasa. Sementara pemikir lain berupaya melakukan redefinisi penggambaran Islam sebagai agama ilmiah. 

Tokoh antikolonial sekaligus aktivis seperti Jamaluddin al-Afgani meyakinkan umat Islam bahwa agama Islam merupakan agama yang paling dekat dengan sains dan pengetahuan. Abu A’la al-Maududi, generasi berikutnya, melakukan hal yang sama, mengklaim Islam membawa penyesuaian antara nilai spiritualitas dan dunia material, kemudian membentuk kerangka ilmiah berbasis agama.

Menariknya, pandangan bahwa Islam adalah agama paling dekat dengan sains dan pengetahuan menjadi kebenaran universal. Bahkan, muslim di negara-negara Barat juga menghadirkan Islam sebagai agama rasional yang unik dengan daya tarik intelektual yang kuat. 

Menurut Jane I Smith dalam bukunya Islam in America mengungkap alasan masyarakat Anglo-Amerika masuk Islam, yaitu memilih Islam karena beberapa alasan, di antaranya daya tarik intelektual dari sebuah peradaban besar dan pencapaian budaya luar biasa sekaligus sebagai penangkal (antidot) iklim sekuler yang kental dalam budaya Barat.

Saya sependapat dengan klaim di atas. Islam dan sains tidak hanya hidup berdampingan dalam harmoni yang lengkap, melainkan Islam dan sains dapat mendukung satu sama lain, sudah jelas bahwa ilmu pengetahuan, teknologi, dan aspek teknis adalah penemuan Barat yang dapat ditransplantasi tanpa merusak integritas budaya Islam.

Meskipun pijakan universal bahwa Islam agama rasional dan ilmiah, ada beberapa pertanyaan yang masih mengendap dalam kepala, yaitu kenapa ilmu pengetahuan modern tidak muncul di dunia Islam, melainkan di Eropa? Atau pertanyaan konkretnya, kenapa setelah lebih dari satu abad mencoba mengejar ketinggalan, justru negara-negara mayoritas Muslim terus tertinggal dalam kemajuan teknologi dan bidang lainnya? Apakah budaya Islam stagnan karena menyimpang dari semangat wahyu atau adakah tentang Islam itu sendiri yang harus diatasi?

Pertanyaan lain, seberapa besar pengaruh kolonialisme Barat dan kapitalisme global memengaruhi perkembangan sains dunia Islam? Perubahan institusional dan sosial seperti apa yang dibutuhkan umat Islam jika ingin membangun komunitas ilmiah yang maju?

Islam dalam Lintas Sejarah 

Ekspansi Islam pada abad pertama membawa pengaruh besar terhadap perubahan iklim sosial, budaya, dan intelektual. Ini bukan hanya menguntungkan Islam, tapi juga budaya penerima. Pada saat yang sama, revolusi sosial membuka ruang bagi peradaban Islam untuk mengadopsi sumber pengetahuan Yunani, Persia, dan India. Proses revolusi sosial dan penerimaan Islam terhadap corak kebudayaan baru tidak akan terjadi tanpa kemampuan peradaban penerima dalam menyerap nilai-nilai tersebut.

Artinya, Islam membuka ruang seluas-luasnya untuk menerima kebudayaan lain sehingga menghadirkan tradisi keilmuan dalam bingkai multireligius dan multietnis. Hal ini merupakan proses dinamis yang melibatkan ulama, sarjana, ilmuan, dan penguasa dalam membangun peradaban di bawah payung Islam. Setelah proses interaksi ini terjalin, dibentuk lembaga pengetahuan yang ditopang di atas dasar ilmu AlQuran, filologi, tata bahasa, yurisprudensi, dan cabang studi pendukung lain.

Argumentasi ini sekaligus mengurai benang merah atas pertanyaan tentang kondisi stagnan peradaban Islam saat ini, apakah karena menyimpang dari semangat wahyu atau ada faktor lain yang harus diatasi?

Saya melihat, memudarnya peradaban Islam bukan karena menyimpang dari ajaran murni yang bersumber dari nash suci. Buktinya betapa berimanannya kalangan tradisionalis dalam beragama. 

Masalah terbesarnya adalah karena umat Islam tak lagi mampu mendefinisikan konsep normatif (ajaran agama) dan kemudian diaplikasikan dalam kaidah-kaidah positivistik berupa observasi dan penelitian berkelanjutan. Dengan kata lain, umat Islam hari ini sibuk bergulat dengan halal dan haram, bagaimana pribadi berhubungan dengan Tuhan agar selamat di dunia dan di akhirat. Sedangkan bangunan peradaban hilang begitu saja.

Faktor lain atas fenomena kemunduran peradaban Islam adalah karena kerancuan politik dan imperialisme Barat. Menurut Ira M. Lapidus, imperialisme Barat memaksa pola institusi dan sosial terhadap Islam. intervensi politik dan kontrol berlebihan mengubah wilayah teritorial birokratik yang kemudian membentuk batas-batas negara tertentu. 

Konstruksi teritorial mengakibatkan perubahan universal pada semua lini umat Islam, termasuk tradisi, komunitas ilmiah, dan institusi pengetahuan. Akibatnya, akses pengetahuan yang sebelumnya mudah didapat tersekat oleh wilayah administratif di bawah kendali Barat.

Islam vs Barat 

Pelbagai cara dilakukan untuk mengidentifikasi faktor kemunduran peradaban Islam. Seperti telah saya uraikan, gagalnya interpretasi teks terhadap sains, kondisi politik, dan imperialisme Barat menjadi penyebab utama kemandegan peradaban Islam. Selanjutnya, pertanyaan tentang kenapa pengetahuan modern muncul di Eropa bukan di negara-negara muslim?

Dalam buku yang berjudul An Illusion of Harmony: Science and Religion in Islam, menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan Eropa lahir dari proses sekularisasi, yaitu upaya pemisahan antara dimensi agama dengan ilmu pengetahuan. Bahwa agama hanya boleh menyentuh dimensi spiritual, maka dimensi pengetahuan merupakan kehendak rasional sekaligus kebebasan kehendak manusia untuk terus berinovasi.

Pemisahan yang jelas antara otoritas, posisi pengetahuan, dan kehidupan intelektual Barat berbeda dengan Islam. Di Barat, hukum tidak berada di puncak hierarki intelektual. Dengan demikian, penalaran hukum kemudian dapat menjadi model bagi kemandirian sains. Sehingga ketika ekonomi Eropa mengalami proses transisi kapitalisme, sains tetap memiliki kesempatan untuk mengukuhkan kemandiriannya sebagai sebuah institusi.

Selain itu, ada periode fluiditas (pergeseran) antara lembaga dan sikap intelektual dalam agama-agama ortodok Eropa yang memberikan alternatif menarik bagi elite berpendidikan, seperti Rene Descartes dengan tajam memisahkan alam dan dunia ghaib. Descartes memberi alam bergerak dan beroperaasi sesuai dengan hukum mekanis (dasar bagi penyelidikan ilmiah). Hari ini, filsafat mekanistik dan dualisme Cartesian menjadi pondasi bagi sains, bahwa sains dan agama memiliki otonomi yang berbeda.

Sejarah perkembangan peradaban Barat juga berbeda dengan Islam. Jika di Barat melalui sekularisme menguntungkan bagi perkembangan ilmu pengetahuan, maka dalam Islam terminologi sekular adalah tabu sebab spiritualitas dan pengetahuan merupakan satu bingkai harmonis. Sebaliknya, sekularisme bagi saya makin menghambat laju peradaban Islam itu sendiri.

Saya memandang konsepsi Islam tentang pengetahuan berkembang dalam satu garis egaliter. Ulama dan ilmuan memiliki peran yang sama, yaitu mentransmisikan nilai Islam dan membangun komunitas ilmiah. Oleh sebab itu, antara otoritas, rasionalitas, dan spirit ilmiah saling berkaitan satu sama lain. 

Jauh berbeda dengan apa yang kita lihat hari ini, justru otoritas tak lagi menopang rasionalitas yang mendasari prinsip sains dan pondasi peradaban. Otoritas telah berubah wajah menjadi klaim tunggal, siapa yang diangap beriman, kafir, dan sesat.

Oleh sebab itu, saya meyakini bahwa sudah saatnya umat Islam berbenah. Peradaban Islam abad pertengahan adalah pencapaian spektakuler generasi itu, sedangkan umat Islam hari ini memikul tanggung jawab besar mengembalikan kejayaan yang telah hilang. Maka saatnya kita berpacu untuk mengejar ketinggalan. Segala hal positif dari peradaban Barat kita terima. Sebaliknya, apabila berbenturan dengan dasar agama kita, ditinggalkan.

Sumber: 

Jane I Smith, Islam in America, (New York: Columbia University Press, 1999).

Muzaffar Iqbal, Science and Islam, (United State: Greenwood Press, 2007)

Taner Edis, An Illusion of Harmony: Science and Religion in Islam, (New York: Prometheus Book, 2007)