Selamanja saja hidoep, selamanja saja akan berichtiar menjerahkan djiwa saja goena keperloean ra’jat. Boeat orang jang merasa perboetannja baik goena sesama manoesia, boeat orang seperti itoe, tiada ada maksoed takloek dan teroes tetap menerangkan ichtiarnja mentjapai maksoednja jaitoe HINDIA MERDIKA DAN SLAMAT, SAMA RATA SAMA KAJA SEMOEA RA’JAT HINDIA. ~ Semaoen, 24 Djoeli 1919
Sesaat sebelum terbentuknya Partai Komunis Indonesia (PKI), paham komunis dinilai sebagai gagasan yang paling progresif menentang kolonialisme di Hindia-Belanda. Komunis dianggap sebagian intelektual pribumi sebagai ideologi revolusioner dengan konsep yang paling jelas dan tegas kala itu.
Sekitar akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, banyak massa yang mulai terpincut dengan komunisme. Hingga akhirnya pada tahun 1920 di Hindia-Belanda diresmikan Partai Komunis Indonesia (PKI). PKI yang merupakan metamorfosa dari Sarekat Islam merah dijadikan corong politik untuk membebaskan Hindia-Belanda dari proyek kolonialisme dan imperialisme yang mendukung ekonomi serta politik pribumi.
Selama perjalanan politiknya, banyak sejarah yang terukir oleh PKI. Baik itu sejarah manis hingga kelam. Namun, kata kelam tampaknya menjadi kosa kata yang paling tepat untuk menggambarkan PKI.
Berbagai pemberontakan, pengkhianatan, dan pembunuhan menjadi asupan lazim menggambarkan komunisme di Indonesia. Puncaknya ketika Orde Baru berkuasa. Apa pun yang berbau kata komunis harus ditumpas habis.
Hingga masa reformasi, komunisme masih menjadi bahan terlarang. Bahkan, lembaga atau sekelompok orang yang membuka diskusi tentang sejarah komunisme biasanya akan mendapat pertentangan. Sudah lumrah terdengar di setiap September terjadi pembubaran forum-forum yang dinilai akan menimbulkan bibit komunisme.
Baru-baru ini gedung LBHI menjadi sasaran amuk massa dari beberapa Ormas. Terngiang kabar di gedung lembaga bantuan hukum itu sedang melakukan seminar untuk mencetak kader-kader komunis. Walau menurut pihak kepolisian tudingan tersebut tidak terbukti.
Stigma serta citra kenapa komunisme dianggap sesuatu yang terkutuk sudah menjadi rahasia umum. Konstruksi sejarah selama 32 tahun pada masa Orde Baru kiranya sudah menjawab kenapa komunis dianggap biadab. Di tahun ini bahkan pemerintah mengupayakan film G30SPKI buatan Orde Baru menjadi tontonan wajib rakyat Indonesia.
Memahami komunisme memang harus bersifat kompleks. Pertanyaan apa itu komunisme tidak bisa dijawab dengan peristiwa 1948 dan 1965 semata. Hal ini membuat pemahaman komunisme terkesan segmentatif.
Tetapi membahas komunisme dari sisi epistemologi dan sejarah memang panjang dan rumit. Namun, ada baiknya publik sedikit demi sedikit membuka cakrawala pengetahuannya tentang komunisme. Bagaimana memahami komunisme, bukan hanya pada sisi politik praktisnya saja, tetapi juga wacana berpikirnya.
Marx yang Bukan Seorang Marxis
Ideologi komunisme tidak bisa lepas dari seorang tokoh sosialis abad ke-18, Karl Marx. Beliau bahkan dinyatakan sebagai bapak komunis dunia. Tetapi pada kenyataannya Karl Marx menyesali karya pikirnya. Marxisme yang menjadi cikal bakal komunisme sangat ditentang Marx yang menurutnya tidak sesuai dengan epistemologi filsafatnya.
Ajaran Karl Marx menjadi sangat populer di Eropa abad ke-18 karena memiliki cita-cita kemanusiaan (humanism) untuk kaum buruh. Monopoli industri yang kapitalis mengakibatkan kesenjangan yang kentara antara pemilik modal (borjuis) dan para pekerja (proletariat). Marx hadir dengan konsep kesetaraan satu sama lain (egalitarian) dan mengusung cita-cita masyarakat tanpa kelas (class society).
Ketika Friedrich Engels (1820-1895) dan Karl Kautsky (1854-1938) membakukan ajaran Marx dengan istilah Marxisme, maka filsafat Marx menjadi lebih praktis dan sederhana. Tetapi, seperti yang diungkapkan George Lukacs bahwa 'Marxisme klasik' adukan Engels dan Kautsky itu menyimpang dari apa yang sebenarnya dimaksudkan Marx (Magnis Suseno, 1999: 5).
Varian ajaran Marx mencapai puncaknya takkala Marxisme dijadikan landasan mencapai kekuasaan. Marxisme bukan lagi terkonsep pada gerak berpikir, tetapi pada keadaan yang lebih praktis, yaitu terjun ke politik.
Tujuan-tujuan Marxisme untuk memperjuangkan kaum buruh, mencapai kesetaraan, terbentuknya masyarakat tanpa kelas tidak bisa tidak harus menempuh jalur kekuasaan. Kondisi-kondisi praktis ini menyebabkan Marxisme mengkristal menjadi komunisme.
Revolusi komunisme pecah pada Oktober 1917 di Rusia di bawah pimpinan Vladimir Ilyc Ulyanof atau dikenal dengan nama Lenin. Sejak saat itu, Lenin mengkonstatir Marxisme-Leninisme sebagai ideologi 'resmi' ajaran komunis.
Pelembagaan pemikiran Marx menjadi ideologi tersebut menimbulkan kesalahpahaman masyarakat atasnya. Bahkan, terkesan mereduksi makna sebenarnya dari apa yang dilontarkan oleh Marx (Listiyono Santoso dkk, 2012: 36). Marxisme-Leninisme yang dibungkus dengan revolusi komunisme menjadi sesuatu yang menakutkan dan kejam.
Komunisme mengakibatkan pengikut-pengikut Karl Marx menjadi dogmatis dan fanatik. Padahal, Marx menurut Michael Hurrungton selalu menginginkan kebebasan berpikir. Hampir di setiap karyanya Marx mengutuk dogmatisme.
Karl Marx melihat teori-teorinya menjadi salah tafsir. Dari kenyataan yang menyakitkan ini, dirinya pun berujar, "sepanjang yang saya tahu, saya bukan seorang Marxis." (Muhammad Hatta, 1975: 17).
Kesalahpahaman ini menyebabkan komunisme menjadi ideologi yang oportunis. Komunisme rela melakukan apa saja untuk mencapai cita-citanya. Tujuan komunisme untuk membentuk kemanusiaan yang setara tidak sesuai dengan cara revolusinya yang tidak manusiawi. Hal ini terbukti dalam sejarah kelam bangsa ini.
Terbelokkannya Sejarah
Publik tampaknya sudah mengetahui secara pasif tentang revolusi komunis yang sangat kejam. Selain penculikan sepuluh jenderal yang ditulis dalam buku sejarah secara sadis dan in-manusiawi, pemberontakan Madiun 1948 juga menjadi perhatian. Fakta sejarah memang menunjukkan banyak santri dan ulama-ulama menjadi korban.
Falsafah dasar komunisme adalah kudeta. Di mana komunisme tumbuh, maka di situlah kudeta harus dilakukan. Pemberontakan menjadi keniscayaan selama negara belum menerapkan komunisme secara formal.
Kesadisan-kesadisan PKI memang sesuatu yang tidak bisa dinafikan. Tetapi, bukan berarti bangsa ini harus kabur dari pandangan sejarah yang sebenarnya. Berbagai upaya pelurusan sejarah pasca rezim Orde Baru runtuh coba dilakukan, tetapi semuanya terhambat karena mereka akan dianggap seperti 'dukun' yang mencoba membangkitkan 'arwah' PKI.
Padahal tak mesti harus menjadi PKI ketika ingin membuka kebenaran sejarah. Ketika sejarah itu terbuka dengan apa adanya, tidak berarti komunisme akan tumbuh. Bagaimanapun, Pancasila adalah falsafah dasar negara yang final. Meluruskan sejarah PKI hanya sekadar mengajak publik untuk berpikir secara netral yang tidak terkonstruksi oleh rezim apa pun.
Misalkan dalam buku sejarah kebanyakan, sangat jarang dibahas bagaimana peran Amerika pada peristiwa 1965. Sebagai penganut blok kapitalis, Amerika mempunyai misi menyemai ideologi anti-komunisme.
Wijaya Herlambang dalam bukunya 'Kekerasan Budaya Pasca 1965' mengatakan ada dua strategi Amerika untuk membangun anti-komunisme di Indonesia. Pertama, melalui pendidikan. Mereka memberikan beasiswa pendidikan ke Amerika melalui Ford Foundation dan Rockeferrel Foundation.
Beasiswa itu gencar dilakukan pada dekade 1950-an. Diharapkan, lulusan-lulusan Amerika ini bisa mendapat peran sentral dalam mengambil kebijakan-kebijakan politik dan ekonomi di Indonesia.
Strategi kedua, ialah melalui kebudayaan. Diarsiteki Central Intelligence Agency (CIA) dengan Allan Dulles sebagai direkturnya pada saat itu dan didanai lembaga-lembaga filantropi seperti Ford Foundation dan Rockeferell Foundation, misi pun dilancarkan dengan didirikannya Congress for Cultural Freedom (CCF) yang kemudian bermarkas di Paris.
CCF yang diketuai Michael Josselson saat itu berada di bawah Office of Policy Coordination (OPC) yang diketuai Frank Wisner. CCF melakukan pengiriman buku secara besar-besaran ke Indonesia. Buku-buku yang dikirimkan terutama dengan isi yang mendukung misi penyemaian ideologi anti-komunisme.
Pengiriman buku-buku itu dilakukan oleh program officer CCF untuk Asia, Ivan Kats. Kats mengirimkan buku-buku ke-20 perpustakaan di Indonesia dan juga kepada 100 orang lebih intelektual Indonesia (Herlambang, 2013: 78).
Misi penyemaian ideologi anti-komunisme ini berjalan sukses, terutama ketika mendapat dukungan dari militer (Herlambang, 2013: 89). Melalui produk budaya, publik didikte tentang gagasan apa yang nantinya dianggap benar dan gagasan apa yang dianggap berbahaya.
Selain budaya yang secara kognitif masuk ke alam bawah sadar publik, hal lain yang lebih vital dalam menggambarkan PKI adalah melalui dekonstruksi sejarah. Nugroho Notosusanto merupakan sosok yang krusial dalam membentuk narasi peristiwa 1965.
Dalam narasinya yang berjudul "40 Hari Kegagalan G30S" menyebutkan bahwa PKI adalah dalang satu-satunya kudeta 1965. PKI pun didefinisikan sebagai ideologi anti-Tuhan. Ideologi ini sangat tidak sesuai dengan kultur masyarakat Indonesia.
Narasi itu pun mendapat pertentangan dari tiga orang akademisi, yaitu Ruth McVey, Ben Andersson, dan Frederick Bunnell. Dalam tulisan berjudul A Preliminary Analysis of October 1, 1965 Coup in Indonesia, ketiga akademisi tersebut menolak argumen bahwa PKI adalah pelopor utama G30S.
Tulisan itu berargumen bahwa peristiwa G30S adalah klimaks dari konflik internal Angkatan Darat. Penelitian ini juga menampilkan penolakan terhadap justifikasi kekerasan atas kaum komunis serta berdirinya rezim baru di bawah kendali Soeharto. (Herlambang, 2013: 156).
Kebijakan pemerintah untuk mempelopori gerakan nonton film G30SPKI adalah hal yang wajar. Bagaimanapun juga, publik harus tahu bahwa ideologi komunis adalah ideologi revolusioner akut yang memberangus nurani-nurani kemanusiaan. Komunis bisa dibilang diktator ala rakyat.
Tetapi, alangkah lebih adilnya bila forum-forum untuk membuka sejarah komunisme di Indonesia juga tersedia. Selain film G30SPKI, biarkan publik juga mengadakan diskusi film "The Act of Killing" dan "The Look of Silent" karya Joshua Oppenheimer.
Kiranya, bangsa ini bisa membuka cakrawala sejarah yang real. Bila hanya sekadar dialog dalam wilayah akademisi, maka tak elok bila harus dibubarkan. Kecuali memang terbukti secara nyata, baik tersirat dan tersurat akan potensi komunisme, sangat layak forum itu dibubarkan dan pelopornya pun diadili sesuai hukum yang berlaku.