Latar Belakang
Tulisan ini diterbitkan selain sebagai tujuan syarat tugas akhir semester perkuliahan, juga merupakan sebagai dukungan pada tulisan salah satu teman, yakni berjudul “Menakar Tren Geopolitik-Ekonomi AS dan Cina” yang ditulis oleh Fahmi Fahrurroji. Ketertarikan kami untuk sama-sama mengikuti issue terkait negara Cina, tentu saja dipicu oleh kemunculan Cina sebagai aktor internasional yang dikhawatirkan oleh Amerika Sertikat (AS) dapat mengancam hegemoni moneter global karena kepemilikan Cina atas kekuatan investasi domestik serta cadangan devisa yang melimpah serta kebangkitan Cina di Asia yang dapat menggantikan posisi AS.
Bahkan beberapa media akhir-akhir ini membahas perihal perang dagang Cina dengan AS yang memperlihatkan tidak adanya ketakutan Cina untuk membalas pengenaan tarif bea masuk oleh AS terhadap produk impor Cina,sebaliknya Cina berusaha untuk merangkul negara-negara tetangga bergabung dengan Pakta Regional Comprehensif Economic Partnership (RCEP). Reaksi yang ditunjukkan oleh Cina terhadap usaha AS memberlakukan sanksi padanya, memperlihatkan adanya kepercayaan diri Cina menghadapi AS, dengan modal power ekonomi yang kini dimiliki oleh Cina.
“One Belt One Road” sebagai Produk Strategi Geokonomi Cina
Konsep geoekonomi dalam tulisan ini merujuk pada definisi yang disampaikan oleh Bob William dan Jennifer Harris pada buku yang berjudul “War with Other Means”, yang secara garis besar mengartikan geoekonomi sebagai penggunan instrumen ekonomi untuk tujuan geopolitik. Yakni untuk mencapai tujuan pemerintah atau kepentingan geopolitik suatu bangsa, mencakup bantuan luar negeri, kebijakan perdagangan, embargo ataupun sanksi ekonomi. Bahkan didalam bukunya tersebut, Bob dan Jennifer mengklasifikasikan negara-negara yang dikategorikan “mahir” untuk penerapannya.
Cina sebagai negara yang paling tepat dalam penggunaan strategi geokonomi tersebut, bahkan mengalahkan AS yang hanya fokus menggunakan kekuatan ekonomi negaranya untuk memberikan bantuan dalam bidang militer bahkan memberikan sanksi-sanksi tegas dalam bentuk kekerasan atau aksi-aksi militernya, meski belum bisa dikatakan sempurna dalam penerapan geoekonominya.
Untuk membuktikan analisa kedua penulis diatas, maka akan dikaji perihal produk ekonomi Cina yang saat ini sedang populer, terutama bagi negara-negara berkembang yakni pada tawaran bantuan ekonomi “One Belt One Road (OBOR)”, yang diperkenalkan oleh Xi Jinping pada tahun 2013 dengan tujuan awal untuk menggunakan devisa Cina yang melimpah agar lebih produktif dengan cara meminjamkannya kepada negara-negara berkembang.
Pinjaman tersebut kemudian ditranslasikan menjadi proyek pembangunan infrastruktur dan lainnya. Dalam 13th Five-Year Plan nya dijelaskan bahwa program tersebut bertujuan untuk membangun masyarakat makmur pada 2020 dengan output per-kapita dua kali lipat dari tahun 2010. Targetnya adalah 65 (enam puluh lima) negara di Asia, Afrika dan Eropa dengan total nilai kerjasama USD$ 4.4 triliun. Mekanisme program OBOR ini adalah dengan cara membuka proposal kerjasama pada negara-negara yang menjadi target OBOR dalam dua bidang, yakni Silk Road Economic Belt (SREB) dan Maritime Silk Road (MSR).[1]
Akan tetapi, negara-negara lain juga dapat mengajukan proposal kerjasama dalam rangka memperluas cakupan OBOR. Tenor atau jangka waktu peminjamannya adalah selama 20 tahun dengan interest rate atau bunga maksimal sebesar 3%. Mengenai persyaratan pinjamannya, tidak lah baku karena akan disesuaikan dengan masing-masing negara atau dengan kata lain persyatan di negara Malaysia belum tentu berlaku sama di negara Indonesia.
Jika dianalisa dari tujuan program nya, bahwa dengan adanya OBOR diharapkan dapat membangun masyarakat makmur dengan output perkapita dua kali lipat dari tahun 2010 ke tahun 2020, maka yang menjadi pertanyaan adalah masyarakat siapa yang dimaksud? Dunia kah? Negara berkembang kah? atau masyarakat negara pemilik modal itu sendiri alias Cina?
Skeptisme muncul jika kita analisa secara ekonomi bahwa ketersediaan modal awal untuk memberikan pinjaman bagi negara berkembang, bukan berasal dari dana sosial melainkan bersumber dari hasil devisa Cina itu sendiri, tentu saja harus mempertimbangkan laporan laba rugi (profit & loss) dimana dana tersebut wajib untuk dikembalikan bahkan dalam jumlah yang jauh berlipat ganda guna memperoleh keuntungan. Selain itu, jika tujuan program ini murni untuk membangun kesejahteraan negara berkembang, maka seharusnya prinsip kerjasama yang diberlakukan program ini adalah kemitraan.
Artinya bahwa setiap pinjaman yang diberikan tidak menggunakan sistem bunga atau rate atas pinjaman secara tetap, dimana pinjaman plus bunga wajib dibayarkan ke Cina meskipun proyek yang dibangun dari dana tersebut mengalami kerugian dan tentu saja pinjaman tersebut pada akhirnya akan menyebabkan malapetaka bagi negara yang menjadi peminjam. Seharusnya program OBOR Cina ini menggunakan sistem syariah, dimana perhitungan pengembalian dana pinjamannya menggunakan margin, yakni persentase keuntungan yang akan dibayarkan kepada pemilik dana akan disesuaikan dengan perkembangan proyek yang dijalankan dari dana tersebut.
Dengan demikian, baik Cina maupun negara yang menjadi peminjam akan sama-sama maksimal menggunakan dan memonitor dana sesuai tujuan awal proyek karena kerugian pun akan sama-sama dirasakan atau menjadi tanggung jawab bersama. Side Streaming atau penyalahgunaan dana atas pinjaman sangat rentan terjadi terutama pada negara-negara yang tingkat korupsi yang sangat tinggi, sehingga tujuan pinjaman tidak sesuai dengan Rancangan Awal Biaya (RAB).
Selain itu, faktor kesalahan analisa proyek juga bisa menjadi pemicu kegagalan bayar (default payment) atas pinjaman, dimana nominal pinjaman tidak sesuai dengan kebutuhan proyek (over financing) sehingga dana tersebut akan beralih ketujuan lainnya yang belum tentu akan menghasilkan keuntungan yang sesuai dengan perhitungan awal pinjaman.
Sri Lanka sebagai salah satu negara yang menjadi korban atas program ini contohnya, ketika pemerintahnya tidak dapat mengembalikan pinjaman dari program OBOR Cina sebesar 1,5 miliar dolar beserta bunga nya, Cina malah mendapat kendali penuh (disewakan) atas pelabuhan laut di Sri Lanka selama 99 tahun[2]. Dana tersebut pada awalnya digunakan oleh Sri Lanka untuk bandara baru Sri Lanka Airlines karena bandara lamanya sudah melewati batas kemampuan, dimana bandara baru ini diharapkan dapat menjadi kawasan industri dan proses ekspor, stadion kriket dan area hotel serta hiburan yang terkoneksi dengan jalan tol terbaik di Sri Lanka.
Kenyataannya, setelah beberapa bulan berjalan bahkan sudah membuka beberapa penerbangan baru, permintaan atas penerbangan tersebut sangat sedikit, yakni sekitar 7 penumpang per penerbangan. Proyek ini pun pada akhirnya mengalami kerugian dan tidak sanggup untuk mengembalikan dana atas pinjaman ke Cina, yang pada akhirnya bandara baru ini pun dijual ke India. Hal yang sama pun terjadi pada pelabuhan Gwandar di Pakistan Selatan dimana Cina mendapatkan hak konsensi pengelolaan selama 44 tahun.
Mengkaji program OBOR Cina yang sudah dimanfaatkan oleh beberapa negara ini, akan mengarahkan pada pertanyaan-pertanyaan yang mencurigakan “apa tujuan Cina dibalik progam tersebut? Mengapa negara berkembang yang menjadi target pasar nya? Bukankah terlalu berisiko untuk memberikan pinjaman pada negara yang memang sudah dikategorikan tidak mampu bayar? Apa yang menjadi garansi atau jaminan jika terjadi gagal bayar? Maka perlu kita kaji secara geoekonomi dan kembali pada definisi geokonomi sebagai penggunaan alat-alat ekonomi untuk mencapai tujuan politik baik dari sisi Eksternal maupun internal.
Investasi Cina dalam program OBOR ini secara geoekonomi memberikan keuntungan dan posisi strategis Cina dalam konstelasi geopolitik khususnya di kawasan Asia, sehingga mampu mempengaruhi power AS dalam bidang ekonomi. Negara-negara yang diberikan pinjaman oleh Cina akan mengalami ketergantungan dan kehilangan kendali atas wilayahnya. Inisiatif OBOR ini juga bisa dianalisakan sebagai agenda keamanan kawasan, yakni dalam rangka menjaga stabilitas dinamika dan politik internasional di kawasan berdasarkan pemikiran liberal dalam hubungan internasional.
Bahwa dengan membangun kerjasama ekonomi, negara-negara cenderung akan menciptakan saling ketergantungan dan menyepakati peraturan bersama sehingga dapat mengatur perilakunya dalam lingkungan internasional, lebih dapat memprediksi dan mengurangi kecurigaan atau kesalahpahaman antar negara, yang pada akhirnya konflik dapat dihindari dan dunia akan lebih damai.
Jalur perdagangan yang terintegrasi dalam OBOR melalui negara-negara yang berada dalam wilayah Eurasia seperti Laut Kaspia, Asia Tengah dan Siberia yang diprediksi oleh beberapa ahli sebagai wilayah yang kaya akan energi (gas alam). Secara kebutuhan domestiknya, Cina memiliki ketergantungan yang cukup besar akan batu alam (70%), dan OBOR dipercaya dapat memberikan konstribusi bagi Cina untuk pembangunan jalur transportasi pipa gas dari negara-negara Asia Tengah yang pada akhirnya akan dihubungkan ke Cina sebagai bagian dari kebutuhan energinya.
Proyek infrastruktur yang didukung oleh dana OBOR Cina juga membuat mudah untuk masuknya investasi ke Cina, kemudahan untuk akses pasar dan jalur perdagangan sehingga secara geopolitik pun Cina akan menjadi kekuatan yang dominan di Eurasia, sebaliknya kekuatan AS akan memudar dan kesulitan untuk melakukan intervensi ekonomi maupun militer karena negara-negara tersebut sudah bergantung dengan Cina.
Secara Internal, jalur perdagangan ini tentu akan mendorong pertumbuhan ekonomi Cina lebih maju. Suplai logistik Cina atas energi terutama gas alam pada dasarnya merupakan salah satu elemen kekuatan nasional suatu negara. Hal-hal tersebutlah yang pada dasarnya menjadi alasan utama Cina dikategorikan berani untuk mengambil risiko memberikan pinjaman pada negara-negara yang cenderung tidak stabil seperti di wilayah Asia Tengah, dimana negara-negara di wilayah Barat enggan untuk berinvestasi.
Cina secara bijak mampu memanfaatkan risiko tersebut menjadi peluang bahkan keuntungan sehingga dikategorikan sebagai negara pelaksana Geo-ekonomi yang paling mahir didunia meski belum sempurna, menurut Bob William dan Jennifer Harris pada buku mereka yang berjudul “War with Other Means”.
[2] Oleh Anita Munafia dalam “One Belt One Road (OBOR) dan Pembangunan Berkelanjutan” yang diakses dari situs internet https://medium.com/nekropolis/one-belt-one-road-obor-dan-pembangunan-berkelanjutan-menilik-kembali-pembangunan-new-yogyakarta-5b14dbbed728