Saya bukan seorang penikmat film dokumenter. Pengalaman menonton film dokumenter saya selama ini selalu berakhir dengan kebosanan. Entahlah, mungkin karena belum ketemu film dokumenter yang cocok dengan selera saya saja.

Lalu kenapa saya bersedia meluangkan waktu untuk menonton film Nyanyian Akar Rumput (2018)? Salah satu alasan kuat yang mendorong saya adalah karena sutradaranya, kira-kira 18 tahun yang lalu pernah jadi mahasiswa saya.

Boleh dong saya merasa bangga punya mantan mahasiswa yang karyanya diakui di level nasional dan internasional. Film ini banyak meraih penghargaan bergengsi, di antaranya penghargaan piala citra untuk kategori film dokumenter panjang terbaik FFI 2018.

Maka, saya menonton film Nyanyian Akar Rumput tanpa ekspektasi apa-apa. Saya cuma tahu kalau film ini bercerita tentang anak Widji Thukul, sastrawan dan aktivis pro-demokrasi yang sejak tahun 1998 hingga sekarang tidak pernah diketahui keberadaannya, diduga sengaja dihilangkan oleh rezim Suharto di era Orde Baru.

Film yang Emosional

Pada menit-menit pertama, di luar dugaan, ternyata saya sudah bisa menikmatinya. Film ini memang sudah emosional sejak awal, dan itu sangat memengaruhi saya. 

Saya ikut merasa marah mendengar cerita-cerita yang dituturkan oleh Fajar Merah dan Fitri Nganthi Wani, keduanya adalah anak Wiji Thukul. Belum lagi saat Siti Dyah Sujirah (Siphon), istri Widji Thukul, mengisahkan tentang hal-hal yang mereka alami pasca menghilangnya Widji Thukul.

Bentuk kenikmatan lain yang saya rasakan adalah musik-musik yang dimainkan oleh Merah Bercerita, band yang digawangi Fajar Merah, yang menjadi wahana baginya untuk menjadi dekat dengan sang ayah. Fajar tidak pernah benar-benar mengenal ayahnya karena mereka tak lagi berjumpa sejak ia berusia dua tahun. 

Fajar membuat lagu yang berlirik puisi-puisi ayahnya yang dimainkan bersama rekan-rekannya yang tergabung dalam Merah Bercerita. Dalam salah satu adegan, Fajar bercerita kalau dia tak pernah mengenal ayahnya. Lewat puisi-puisi sang ayahlah ia mencoba untuk mengenalnya. 

Memainkan musik dengan lirik-lirik puisi karya Widji Thukul merupakan cara Fajar untuk meneruskan perjuangan sang ayah.

Musik yang dimainkan Merah Bercerita kebetulan jenis musik favorit saya. Kadang terdengar merintih, kadang marah, Ini juga mendukung efek emosional yang saya rasakan, terutama di lagu Bunga dan Tembok

Kehilangan Fokus?

Cuma ada satu hal yang agak mengganggu saya. Ketika makin ke tengah, film ini seperti kehilangan fokus. Awalnya saya kira film ini adalah tentang Fajar Merah dan perjalanan bermusiknya bersama Merah Bercerita. Tapi kok sepertinya bukan. 

Film ini ternyata juga bercerita soal kasus HAM, soal politik, dan pemilihan presiden. Memang ada hubungannya, tapi saya sempat kebingungan, sebenarnya apa yang mau didokumentasikan oleh sang sutradara.

Tak hanya bingung karena kehilangan fokus, saya juga sempat merasa bosan saat suasana pemilihan presiden sampai demo menjelang keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyidangkan gugatan Prabowo atas hasil Pemilihan Umum banyak diekspos.

Tapi saya kembali bisa menikmati saat adegan kembali ke Fajar Merah dan bandnya yang sedang manggung. Saya membayangkan, apakah akan lebih menarik jika film ini menjadi semacam film dokumenter yang mengangkat kisah Fajar Merah, musisi yang kebetulan anak Widji Thukul? Atau justru melebarkan tema adalah pilihan yang tepat? 

Meskipun kadang bingung, toh saya masih bisa menikmati film ini sampai selesai. Kaki dan tangan saya bergerak-gerak mengikuti ketukan musik yang dimainkan oleh Fajar Merah dan kawan-kawan. 

Klimaksnya adalah saat adegan pementasan Merah Bercerita memainkan lagu Derita Sudah Naik Seleher yang teatrikal dan dramatis diikuti pembacaan puisi yang emosional dari Wani. 

Tentang Harapan 

Pulang ke rumah dari bioskop saya menyempatkan diri untuk googling, mencari informasi soal film ini. Saya temukan salah satu tulisan yang memuat hasil wawancara Yuda Kurniawan, sang sutradara yang mantan mahasiswa saya itu. Ia mengatakan bahwa awalnya dia tertarik untuk membuat film tentang Fajar Merah, namun belum tahu akan menggarap tentang apa. 

Jadi semua serba mengalir, hingga menjelang pencoblosan presiden tahun 2014 Yuda melihat keluarga Wiji Thukul sangat berharap besar kepada Jokowi, yang saat itu menjadi presiden, untuk dapat menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, termasuk kasus Wiji Thukul. 

Bu Siphon merasa Jokowi yang mantan walikota Solo dan sedang menjabat sebagai gubernur Jakarta, memiliki perhatian yang cukup besar padanya. Jokowi hadir di acara pernikahan Wani, dan bersedia datang ke rumahnya yang sangat sederhana.

Apalagi yang menjadi rival Jokowi adalah Prabowo Subianto. Seperti diketahui, Prabowo adalah mantan tokoh militer yang diberi sanksi administratif berupa pemberhentian dari dinas kemiliteran oleh Dewan Kehormatan Perwira (DKP) karena keterlibatannya dalam penculikan aktivis 98. 

Bagaimana kontestasi kedua kandidat presiden dalam pemilihan umum, hingga pelantikan Jokowi sebagai presiden di tahun 2014 cukup banyak diulas dalam film ini. Inilah yang tadi saya katakan bahwa seolah-olah film ini kehilangan fokusnya.

Merawat Ingatan

Baiklah, saya bisa paham dengan empati Yuda yang akhirnya memutuskan meluaskan tema, dari soal Fajar Merah hingga ke narasi HAM dan politik. Yuda sudah mengikuti perjalanan keluarga Wiji Thukul selama tiga tahun lebih. Yuda bercerita dia bahkan sampai tidur di kamar Fajar dan menyaksikan sendiri bu Siphon yang kerap mengigau tengah malam. 

Saya akhirnya bisa memahami spirit Yuda untuk memperkenalkan Widji Thukul pada generasi muda sekaligus merawat ingatan para generasi tua seperti saya. Dalam beberapa adegan, saya bisa menangkap misi Yuda untuk mengingatkan kita tentang persoalan HAM yang belum terselesaikan hingga berganti presiden beberapa kali.  

Di awal masa pemerintahan Jokowi, seperti keluarga Widji Thukul, saya menaruh harapan yang cukup besar pada Jokowi untuk menuntaskan persoalan HAM. Mulai dari peristiwa pembantaian 65, kasus pembunuhan Marsinah, Udin, Munir, tragedi 98, termasuk pemerkosaan perempuan keturunan Tionghoa dan penghilangan aktivis. 

Sejak presiden Gus Dur hingga SBY, belum ada kejelasan tentang dalang dan proses hukum untuk menyelesaikannya. Pada Jokowi saya berharap, mengingat dia memiliki latar belakang sipil, yang memiliki karakteristik yang “dekat” dengan rakyat.

Tapi sampai menjelang akhir masa pemerintahannya di periode pertama, saya belum melihat adanya perhatian serius dari Jokowi. Bahkan justru muncul kasus-kasus HAM baru, misalnya konflik Papua dan intoleransi.

Untuk itu, walaupun kehilangan fokus, film ini menjadi perlu disaksikan oleh masyarakat untuk merawat ingatan kita semua. Bukan hanya untuk kita sebenarnya, saya berandai-andai jika Jokowi juga berkesempatan menyaksikan film ini. 

Sekedar untuk mengingatkan kembali janji-janji dia di masa kampanye beberapa tahun yang lalu, bahwa abainya Jokowi pada persoalan HAM akan menyakiti rakyat yang dulu memilihnya sebagai presiden.

Pada saat film berakhir, sambil menunggu para penonton satu per satu keluar dari ruangan, saya bertanya-tanya. Melihat fenomena politik saat ini, ketika akhirnya Jokowi yang terpilih untuk kedua kalinya sebagai presiden namun belum mampu membawa angin segar bagi terungkapnya kasus Widji Thukul dan kasus HAM lainnya, ditambah keputusan Jokowi menggandeng Prabowo Subianto, rivalnya, menjadi salah satu menteri, kira-kira apa ya yang dirasakan keluarga Widji Thukul?