Pagi ini seperti pagi yang kemarin, tak ada firasat atau apa. Sarapan pun masih belum tuntas ketika sepupu Mas Nurel mengabarkan bahwa beliau meninggal pagi ini. Ya, Selasa 7 September 2021 akan selalu lain bagi kita yang dekat dengan sosok yang gigih mencari dan menjaga khasanah Sastra Indonesia.

Nur Laili Rahmat atau Nurel Javissyarqi, aku mengenalnya lebih dulu lewat tulisan- tulisannya sebelum akrab dengan orangnya. Tulisan Nurel banyak bergenre dengan sastra  baik puisi maupun kritik sastra. Dia jarang sekali menulis prosa.

Kecintaannya pada sastra ini sering diceritakan padaku dengan mengharu biru. "Sebelum mengenal mengenal mesin cetak konvensional, aku sudah membuat bukuku sendiri yang kufotokopi dan kujilid dengan lem rajawali," katanya dengan antusias waktu kutanya proses dirinya mempunyai jasa  penerbitan: C.V. Pustaka Pujangga. Ia menulis karena merasa mentok di bidang lukis. Sebelumnya ia bercita-cita melukis namun saat berinteraksi dengan teman-temannya di Yogya ia berubah pikiran.

Nurel termasuk salah satu anggota senior Komunitas Sastra dan Teater Lamongan  (KOSTELA). Kawan seangkatannya adalah Alang Khoirudin, Pringgo Hr, Bambang Kempling, Heri Lamongan, Syauqi Sumbawi,  Muiful Mundzuk, Ahmad Zaini, Imamuddin S.A. dan Harist Del Hakim.  Mereka inilah yang sedikit banyak mewarnai proses Nurel bersastra di Lamongan.

"Nurel itu sangat percaya diri dengan apa yang ia lakukan," salah satu rekannya di kostela pernah berujar. Mungkin ini diutarakan saat melihat bagaimana Nurel begitu berani berpendapat soal sastra, yang bahkan menurut, sebagian dari  mereka,  sangat di luar batas kemampuannya untuk mendedahkan sastra. Nurel memang demikian, sering memberikan pendapat yang berbeda tentang karya seseorang meski tokoh tersebut tergolong maestro pun tak luput dari kritiknya.

Ia berasumsi bahwa nama besar bisa dibuat, namun karya yang luar biasa bisa diciptakan oleh siapa saja asal dia intens dan istiqomah; ini adalah salah satu pendapatnya yang aku amini. Sepertinya, apa yang dilakukan oleh Nurel adalah wujud nyantriknya dengan beberapa ‘guru’ yang salah satunya adalah Suryanto Sastroatmodjo.

Cara dia berkarya dan berlaku hidup memang pernah  diceriitakan langsung pada penulis bahwa ia mengagumi Mas Sur, begitu Nurel memanggilnya. Mas Sur memang sastrawan yang tawadzuk dan sangat sepi ing pamrih rame ing gawe. “Setiap hari saya menulis entah itu mau jadi puisi atau esai pokoknya menulis terus. Aku punya tumpukan tulisanku setinggi satu meter, Mas,” katanya meyakinkanku.

Bagi saya,  semua pendapat Nurel adalah sarana dia untuk membuktikan kecintaanya pada sastra yang tidak setengah-setengah. Ia mempunyai banyak blog yang berisi kliping karya sastra dari para sastrawan Nasional, terutama kawan kawan yang dikenalnya baik secara personal maupun hanya sekedar kenal via medsos. Bahkan salah satu blog nya sastra-indonesia.com sering memuat tulisan yang sedang menjadi isyu dunia sastra nasional.

“Nggak pingin cari duit, mas? Kan blognya banyak yang berkunjung bisa diuangkan lho, cari iklan atau apa,” tanyaku suatu ketika.

“Duit akan menjeratku dan mengalihkanku dari keseriusan untuk menulis di blog karena berorientasi keuntungan. Aku nggak mau yang begitu.” begitulah jawabnya dengan percaya diri.

“Aku malah sudah ngomong dengan istriku bahwa hidupku yang pertama adalah untuk dunia yang sekarang ini kugeluti; tulis menulis. Pastinya ini beresiko tidak menghasilkan uang dan Alhamdulillah istriku mau mengerti,” tambahnya.

Itu adalah keputusan yang berani di era yang materialistis ini. Namun, Nurel mampu membuktikan pilihannya itu bisa dijalani. Ia tetap menulis menerbitkan buku, meski ia tahu bukunya beresiko tidak laku. Dan tentunya ia banyak ditemani oleh takdir yang  berpihak dengannya dengan memperistri Lathifah Akmaliyah seorang guru yang mau mengerti keberadaan dirinya. 

Selain dengan teman teman lamongan, Nurel banyak berinteraksi dengan rekan rekan penulis nasional. Ia menjadi salah satu dari kurator buku Apa dan siapa Penyair Indonesia. Hal ini karena begitu luasnya jaringan pertemanannya dengan sastrawan di tanah air tercinta ini. Nurel dianggap oleh Yayasan Hari Puisi tahu banyak kiprah sastrawan yang perlu dimasukkan di buku itu.

Di akhir pencariannya Nurel banyak berkecimpung di rumah sambil membuka kios buku sastra. Saya sering mampir ke kiosnya ini sambil ngobrol tentang sastra kontemporer, yang saya heran, ia masih mengikuti perkembangannya. Kadang saya kehabisan bahan untuk meladeni omongannya. Di kios bukunya ini sering kudapati buku buku sastra berkualitas dengan harga miring.

Dan yang paling menyenangkan jika mampir ke kiosnya, ia akan menawarkan buku tertentu yang dirasanya cocok untukku. Dan anehnya, seringkali pas dengan yang aku cari. Terima kasih Mas Nurel atas interaksinya selama ini. Sedikit banyak saya rasa ada nilai yang bisa kusimpan meski kita akrab belum lama.

Selamat Jalan Mas Nurel. Semoga Khusnul Khotimah