Nikel adalah logam mineral keras berwarna putih keperakan yang biasa kita temui sehari-hari, mulai dari baterai yang menghidupkan remote televisi sampai gunting stainless steel yang kita pakai.
Meskipun saat ini pemanfaatan nikel masih banyak digunakan sebagai bahan baku utama industri stainless steel, peningkatan popularitas kendaraan listrik menyebabkan permintaan akan nikel semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir, dan akan terus meningkat dalam beberapa tahun ke depan.
Hal tersebut disebabkan oleh mayoritas dari baterai yang digunakan dalam kendaraan listrik berjenis Lithium-ion (Li-ion), di mana nikel merupakan komponen utamanya.
Peluang Indonesia
Ketika berbicara soal nikel, Indonesia patut berbangga diri karena Indonesia merupakan negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia. Data dari BKPM menunjukan bahwa Indonesia memiliki 21 juta metrik ton cadangan nikel, atau sekitar 30% dari total cadangan nikel dunia.
Selain itu, Indonesia juga merupakan negara penghasil nikel terbesar di dunia, dengan produksi nikel pada tahun 2021 mencapai angka 1 juta metrik ton atau 37,04% dari total produksi di seluruh dunia
Melimpahnya nikel tersebut menjadi anugerah tersendiri bagi Indonesia, khususnya di era revolusi kendaraan listrik seperti sekarang.
Berdasarkan data dari Statista, terdapat peningkatan penjualan kendaraan listrik yang signifikan sebesar 51,8% pada tahun 2021 dibandingkan dengan tahun sebelumnya dengan total penjualan mencapai 6,5 juta unit. Jumlah tersebut diperkirakan akan terus bertambah hingga menyentuh 16,2 juta unit di tahun 2027.
Peningkatan jumlah kendaraan listrik juga berarti peningkatan kebutuhan baterai serta suku cadang yang terbuat dari nikel.
Stockport melaporkan bahwa akan terjadi peningkatan permintaan nikel untuk keperluan baterai Li-ion sebesar 567% di tahun 2025. Selain itu, situs berita ANTARA juga memprediksikan akan terjadinya peningkatan permintaan nikel sebesar 20 sampai 40 kali lipat di tahun 2030 nanti.
Tantangan Yang Dihadapi
Keberlimpahan nikel Indonesia tersebut tidak luput dari tantangan yang mengikutinya. Berbagai masalah datang, baik itu dari luar maupun dalam negeri.
Tantangan pertama yang harus Indonesia hadapi adalah gugatan dari Uni Eropa kepada World Trade Organization (WTO) pada tahun 2021.
Masalah bermula ketika Presiden Joko Widodo memutuskan untuk menghentikan ekspor bijih nikel sejak tahun 2020 dengan tujuan meningkatkan nilai ekonomi dari komoditas tersebut. Melalui kebijakan ini, bijih nikel tidak langsung diekspor ke luar negeri tetapi diproduksi terlebih dahulu di dalam negeri menjadi barang setengah jadi atau barang jadi.
"Kita terbuka, tidak tertutup. Silakan kalau ingin nikel RI. Silakan datang. Bawa pabrik ke Indonesia, bawa industrinya, bawa teknologinya ke Indonesia," ujar Presiden Joko Widodo saat menghadiri Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (Rabu, 24/11/2021).
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, manuver pelarangan ekspor bijih nikel berhasil meningkatkan nilai ekspor komoditas turunan nikel sebesar 263% dibandingkan dengan tahun 2019, dengan total pendapatan mencapai $12,35 miliar.
Kemudian, gugatan datang setahun setelahnya. Uni Eropa menggugat Indonesia ke WTO karena penghentian ekspor bijih nikel mengganggu rantai pasok industri stainless steel mereka.
Selain itu, mereka juga percaya bahwa apa yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia telah melanggar artikel 11 General Agreement on Tariff and Trade (GATT) mengenai pembatasan ekspor dan impor. Gugatan ini pada akhirnya dimenangkan oleh Uni Eropa dengan dilanjutkan pengajuan banding oleh Pemerintah Indonesia.
Upaya Yang Dilakukan
Selain upaya penghentian ekspor bijih nikel, Pemerintah Indonesia juga melakukan upaya-upaya yang lain. Misalnya, dengan membentuk organisasi seperti OPEC khusus bagi eksportir nikel.
Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) memiliki peran yang sangat signifikan dalam membentuk pasar minyak global, khususnya bagi negara-negara Timur Tengah. Berkat OPEC, ekonomi Timur Tengah mengalami kemajuan yang sangat pesat.
Pola yang sama sedang diusahakan oleh Pemerintah Indonesia. Melalui pembentukan organisasi pengekspor nikel ini, nantinya Indonesia dapat memiliki kuasa yang lebih dalam mengatur harga komoditas di pasar.
Mengutip laporan dari CNN (Senin, 5/12/2022), Indonesia sudah mulai melakukan lobbying kepada beberapa negara pengekspor nikel untuk membentuk sebuah organisasi sejenis OPEC demi meningkatkan koordinasi serta menyatukan kebijakan mengenai komoditas ini.
Tercatat, terdapat tiga negara potensial yang bisa Indonesia ajak gabung ke dalam organisasi, yaitu Rusia, Kanada, dan Australia.
Kesimpulan
Dengan potensi sumber daya nikel yang dimiliki, Indonesia bisa saja menjadi pemain utama dalam industri baterai di era revolusi kendaraan listrik seperti sekarang. Hal ini didukung oleh peningkatan permintaan akan baterai seiring semakin meningkatnya popularitas kendaraan listrik.
Kemudian, apa yang Pemerintah Indonesia lakukan sejauh ini juga sudah tepat. Penghentian ekspor bijih nikel mentah terbukti dapat meningkatkan pendapatan negara. Selain itu, usaha dalam membentuk organisasi khusus pengekspor nikel juga dapat semakin memaksimalkan potensi sumber daya nikel.