Lima Puluh Satu, 75, seribu, atau berapapun pegawai KPK pun, saya rasa tidak akan ada yang lolos wawasan kebangsaan pada intinya, kecuali mereka yang mengartikan pelanggaran etik –apapun bentuknya itu- sebagai sebuah pengetahuan adiluhung tentang nasionalisme –tentang wawasan kebangsaan- yang tidak diajarkan dalam pelajaran Kewarnegaraan atau PKN dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Merekalah yang pantas membentuk aturan untuk melakukan seleksi wawasan kebangsaan. Sederhananya ialah, manusia yang melanggar etik ialah manusia yang memiliki wawasan kebangsaan diatas rata-rata manusia manapun, apalagi hanya 51 pegawai KPK. Itu lah sekiranya yang menggambarkan simbol nasionalisme adiluhung.

Perihal simbol, bukan hanya Agama yang dijadikan simbol dalam percaturan politik di negeri ini –yang sudah saya tulis sebelumnya dalam Pertentangan Simbol dan Nilai Agama (Qureta, 2019). Yang menjadikan mereka yang kafir tidak pantas dipilih, dan hanya kalian yang pantas. Bukan hanya simbol ‘sorban’, ‘sholeh’ dan hal-hal apapun yang berbau agama dijadikan ‘senjata’ dalam merebut atau mempertahankan kekuasaan. Tetapi juga simbol nasionalisme, simbol siapa yang paling berkuasa atas tafsir paling nasionalis, simbol yang membedakan antara yang berwawasan kebangsaan dan tidak, antara kalian yang tidak memiliki pengetahuan dan pengabdian kepada bangsanya dan merekalah yang memiliki hal sebaliknya.

Tidak sampai mencapai apa yang diartikan sebagai sebuah bangsa, yang memiliki nasib yang sama. Malah mengarah kepada hal-hal simbol yang menunjukan kalau merekalah paling berwawasan. Dalam hal ini sebenarnya sudah menjadi pembahasan panjang terkait bahasa, simbol, dan tanda, yang secara filosofis dan akademis sudah dibahas jauh sebelum pelanggar etik lahir, kajian tersebut dinamakan kajian semiotika. Adalah bahaya jika mereka memahi pengetahuan tersebut, lalu dijadikan alat.

Pegawai KPK dalam hal ini, hanyalah skrup kecil yang sekiranya menjadi penghalang kecil dari kepentingan bersama mereka yang saling melindungi antara penganut nasionalisme adiluhung. Jangan harap skrup kecil tersebut bertahan dari kunci tang besar yang mencoba membongkarnya. Senjata berlindung dengan Komnas HAM pun, saya rasa setelahnya ada tafsir yang mengatakan merekalah yang memiliki simbol kemanusiaan paling absolut, sisanya jangan harap, mereka yang memiliki arti kemanusiaan lebih dari siapapun, bahkan Mahatma Gandhi sekalipun.

 

Kita semua tahu, semenjak UU KPK direvisi tahun 2019 silam, energi kita sudah banyak habis kepada pembahasan akan hal-hal yang seharusnya tidak perlu dibahas lagi semenjak tren IPK (Indeks Persepsi Korupsi) Transparency International meningkat. Kita sudah lelah dengan pertarungan dan polemik normatifistik ala Hans Kelsen dengan Stufenbau Theory-nya, yang tidak ada ujungnya, jika politik tetap –dan masih akan terus- menjadi lokomotif dari gerbong hukum -memang begitu sifat hukum dan politik yang tidak akan pernah ada habisnya dalam perdebatan keduanya. Akan selalu ada intervensi politik dalam setiap hukum yang bersifat normatifistik.

Apalagi jika cabang-cabang kekuasaan -jika meminjam Montesquieu dengan Trias Politica- ditambah lembaga ‘independen’ negara sudah ‘satu arah’ saling melindungi. Mau memasukkan kajian Lembaga Negara Independen nya Zainal Arifin Mochtar yang ditulis dalam satu buku untuk meluruskannya, tidak akan berguna. Akan kalah dengan kepentingan ‘mendesak’ sesamanya untuk saling melindungi. Itulah sifat ilmu pengetahuan -bahkan ilmu pengetahuan hukum sekalipun- akan kalah dengan keadaan politik yang mendesak. Setidaknya ini digambarkan Einsten bahwa sains –ilmu fisika- tidak serumit jika dibandingkan peristiwa politik yang banyak menimbulkan kemungkinan.

Apalagi hanya dalam urusan administratif, sekecil transparansi, akuntabilitas, bahan pertanyaan, rekaman, dan hal-hal kecil lainya. Urusan etika yang dulu saja tidak patuh. Sudah bisa dibayangkan betapa banyak pelanggaran kecil kedepan. Dan membayangkan urusan sekecil apapun, selagi tidak menghalangi, maka diperbolehkan. Maka berharap ada transparansi dalam hal seleksi wawasan kebangsaan ada hal yang sangat tidak dimungkinkan. Seperti menggapai bintang ketika kecil, bukan sulit tetapi tidak mungkin.

Lalu, berharap kepada PTUN untuk membatalkan SK hasil proses seleksi wawasan kebangsaan, sama halnya dengan berharap kepada Hakim Konstitusi yang juga ‘mantan’ aktivis yang lantang membela KPK ‘dulu’, Yang Mulia Saldi Isra, yang juga menjilat ludah sendiri atas apa yang dinamakan lembaga independen. Yang pada ujungnya hanya akan menambah kekecewaan.  

Jadi saya pikir, para pakar hukum tata negara atau para pakar politik yang sudah memiliki pengalaman akademik disekolah-sekolah terbaik di negeri ataupun luar negeri dengan segala penelitian dan gagasannya, yang coba menafsirkan secara akademik peristiwa ini, saya rasa percuma. Karena hanya merekalah diatas dan melampaui segala ilmu pengetahuan -yang bersifat pengujian ilmiah atau pengandaian rasionalisme sekalipun. Biar tuhan yang membuktikan –jika mereka tidak melobbynya.

  •

Tetapi apa daya, hal-hal seperti inilah yang mewarnai ‘sejarah’ politik hukum pemberantasan korupsi. Apa pula, mereka semua yang terlibat sekiranya bijak, karena ini akan dicatat dalam pergumulan sejarah bangsa ini. Jika asal dan serampangan, maka tinta, data, dan ingatan tidak bisa menafikkannya, dan pada akhirnya hanya kebenaran dan cinta yang akan menang, jika meminjam Mahatma Gandhi.

Sekiranya arti bangsa yang mereka artikan sebagai hal ikhwal dalam sebuah masyarakat yang merasakan nasib yang sama, sepernanggungan, yaitu dikhianati oleh para koruptor. Bukankah begitu cara kerja pendiri bangsa kita? Ketika masyarakat memiliki kesamaan akan kolonialisme kerajaan Belanda ketika itu terhadap pribumi. Sesederhana itu saja, wawasan kebangsaan yang menjijikan tidak bisa diejawantahkan, malah bertanya kegentingan yang bahkan tidak mendesak.   

Tidak, bangsa kita dibangun atas simbol-simbol apapun itu, apalagi simbol nasionalisme. Apakah teks proklamasi dijadikan acuan dalam membangun bangsa? Itu hanya simbol perayaan, tetapi pada intinya ialah bagaimana membangun bangsa yang merdeka. Apakah para pendiri bangsa hanya melihat teks proklamasi setelah merdeka? Tidak. Dia membangun sebuah sistem besar kenegaraan, sistem yang mengantarkan pada berjalannya sebuah negara. Saya rasa antar Soekarno-Hatta, tidak saling menunjukan diri –atau bahkan menuding- bahwa dirinya lah paling nasionalis dan kalian tidak.  

Nasionalisme atau wawasan kebangsaan atau apapun itu, jika hanya dinilai dari sebuah tes yang serampangan, kacau sekali. Apalagi ada hal ikhwal kepentingan bersama yang mesti dirumuskan bersama, yaitu bagaimana membangun peradaban bangsa ini tanpa korupsi. Atau setidak-tidaknya menjaring para koruptor yang haus akan hasrat kuasa, jika meminjam Nietzsche. Atau setidak-setidaknya membangun penegekan etik kepada setiap lembaga penegak hukum kepada seluruh pegawai termasuk pimpinannya, termasuk KPK.


Sekiranya begitulah gambaran dari apa yang dikatakan Nasionalisme ‘Salon’. Memang dalam kalimat-kalimat diatas tidak menggambarkan keindahan atau kerapihan ala Salon. Yang dimaksud salon ialah pseudo yaitu hiasan ‘nasionalisme’ dibalik pelanggaran etik dan banyak nya masalah yang terjadi. Bersifat riasan, tidak menyentuh kedalam substansinya. Dan kebetulan hal tersebut dijadikan alat untuk membedakan mereka dan kalian, dijadikan alat seleksi.

Saya rasa benar saja kita harus merayakan simbol nasionalisme ini secara besar-besaran, bahkan melebihi kegiatan-kegiatan 17 agustus sekalipun, agar mereka percaya bahwa mereka lah yang sekiranya benar akan nasionalisme adiluhung yang bisa mengatakan bahwa ada manusia lainya yang tidak nasionalis, tidak berwawasan kebangsaan yang tidak dapat dibina.