Tuhan itu Satu. Kamu tidak bisa mempertanyakan lagi hal yang sifatnya sudah absolut!

Ucapan Mas Pram itu terus terngiang di kepala, mengganggu malam-malamku. Di waktu pagi dan siang, pikiran dan tubuhku bekerja sekaligus melupakan Tuhan. Sementara di waktu malam, aku hanya duduk diam memikirkan segala sesuatu, termasuk memikirkan Tuhan.

***

Kudengar suara-suara dari sebuah corong di dekat indekosku. Siapa bilang hanya masjid yang memakai pengeras suara? Gereja juga memakainya. Setidaknya dua gereja di dekat indekos ini. Di hari minggu, suara-suara dari corong tak bisa dibendung. Mengganggu jam tidur yang seharusnya tiga jam lebih panjang dari biasanya.

Jarum jam berdenting menemani malam-malamku yang penuh tanya. Jika Tuhan benar hanya satu, mengapa semua memperebutkanNya dengan pengeras suara. Pikiranku terganggu. Tergoda untuk meninggalkan agama yang dihadiahkan orangtua padaku sejak masih di dalam rahim.

Masih kuingat, ibu mengajakku berdoa berjam-jam setiap hari, meminta persalinan lancar tanpa operasi. Menjelang kelahiranku, ia mengajakku berdoa lagi. Kali ini dengan erang kesakitan yang berulang-ulang. Begitulah terus hingga aku remaja, selalu mengajakku berdoa dengan cara yang sama. Yang kupelajari, ia mengajakku meminta-minta dalam doa. Pernah kukira Tuhan itu semacam toko serba ada, kita bisa memesan dulu lalu membayar kemudian saat barangnya sudah tersedia.

Ibu memberiku nama Lentera. Kata ibu, supaya kelak aku bisa menerangi sesama dengan cahaya kebenaran. Padahal aku tidak paham kebenaran apa yang dimaksud ibu. Seringkali kususuri Jalan Cik Ditiro untuk membeli buku-buku agama. Buku-buku bajakan yang memberiku pandangan soal agama-agama. Setidaknya buku-buku itu tidak secerewet guru agamaku di sekolah, dan aku bisa membaca kapan saja lalu berhenti sesukaku. Semudah menyala-matikan televisi saat acara debat politik yang dibumbui ceramah agama ditayangkan.

Di toko buku Karunia, los kedua dari barat, aku berkenalan dengan Mas Pram. Ia adalah mahasiswa Teologi di kampus dekat sekolahku. Awal temu kami di sana ialah saat mencari buku-buku. Ia selalu menyapaku lebih dulu. Basa-basi bertanya soal sekolahku. Dan rupanya, anak sekolah yang membaca buku-buku agama dianggap aneh olehnya. Mungkin seharusnya, bagi Mas Pram, anak sekolah hanya pacaran dan membaca buku-buku receh.

“Bolos Dek?”

“Jam kosong.”

“Terus-terusan baca buku agama, memangnya mau masuk jurusan teologi besok? Nanti tak laku sepertiku, mending milih jurusan ekonomi.”

“Entah, saya belum mikirin Mas!”

***

Lima tahun sudah aku bertemam dengan Mas Pram, terhitung sejak waktu itu. Sekarang aku di rumah Mas Pram. Sudah sepekan lebih. Dan hubungan pertemanan kita semakin dekat. Tidak seperti sepasang kekasih. Hubungan kami lebih pantas jika disebut sahabat dekat, tidak lebih.

Mas Pram menyelesaikan pendidikannya dengan baik lalu melanjutkan usaha orangtuanya. Dengan begitu, katanya, ia bebas dari perbudakan model apa pun. Sementara aku, aku meneruskan petualanganku di kota pelajar ini. Kota yang membuatku terus menjadi seorang pelajar. Tak kunjung berubah status menjadi pendidik, dan juga, selama ijazah belum kujemput, tentu saja aku belum pantas menjadi pendidik, begitu pikirku.

Bercakap dengan Mas Pram sudah menjadi agenda rutin. Walau, kataku, kami bukan sepasang kekasih. Duduk berjam-jam menikmati segelas kopi dan teh nasgitel untuknya, sambil membicarakan hal-hal yang mengusik pikiran. Tak pernah percakapan kami berujung debat seperti dalam pertemanan palsu di sosial media. Percakapan kami selalu gemuk dan sehat. Tak ada kata yang sia-sia.

Selama sebulan ini pikiranku kembali terusik soal Tuhan. Padahal, sudah sekian lama aku menutup buku-buku tentang agama yang semua mengaku memiliki Tuhan. Bagiku, Tuhan memang hanya satu. Tapi entah Tuhan berdiam di mana. Bisa jadi Tuhan berpindah-pindah tergantung persembahan dari agama mana yang lebih banyak. Ah, itu kata mereka. Tuhan pemilik segalanya. Hanya Tuhan yang Maha Tahu.

Pemikiran menjadi terusik lantaran keributan di sosial media. Keributan soal manusia yang sengaja membuat gaduh dengan membicarakan perilaku umat Tuhan. Siapa sih yang mau disindir-sindir dan dijadikan bahan gunjingan? Yang jelas, linimasaku menjadi ribut tak karuan. Begitu pun dengan otakku.

Aku punya ketakutan yang bisa membuatku nampak seperti manusia tanpa iman. Aku takut agamaku tak akan membawaku pada Tuhan. Pemikiran ini membuatku bertanya pada Mas Pram.

“Bolehkah aku mencari Tuhan di malam-malamku saja? Tanpa sarana dari agama apa pun, tanpa harus duduk sempurna, berbusana bagus dan bersikap baik? Bisakah aku menemui-Nya hanya dengan tiduran di dalam selimutku? Maukah Dia menemuiku di dalam selimutku?”

“Pikiranmu kambuh? Kukira kamu sudah berhenti mempertanyakan Tuhan dan agama. Kukira kamu sudah ikhlas menjalani agama yang sudah tertulis di KTP-mu.”

“Semalam aku bermimpi seperti mimpiku ketika masih kecil Mas! Tuhan berbicara padaku. Kata Tuhan, kitab-kitab itu bukan fiksi. Agamalah yang fiksi. Lalu membual sampai banyak orang percaya dan mengumpulkan uang demi kemegahan rumah ibadahnya.”

“Bukan agamanya. Oknumnya. Tirulah aku yang sudah berdamai dengan kenyataan. Semua ini adalah sistem. Sistem kehidupan. Sistem kepercayaan. Kita ini berada dalam sistem. Jika kamu masih terus ingin memberontak, membuktikan bahwa sistem ini salah, maka kamu perlu keluar dulu dari sistem. Mencari bukti valid untuk teorimu. Masalahnya, teorimu itu melibatkan hidup dan mati.”

“Tapi Tuhan sendiri yang berkata kepadaku Mas.” Kucondongkan tubuhku mendekat ke arah Mas Pram. Aku takut ada orang lain mendengar, bisa-bisa aku akan dituduh sebagai nabi palsu.

“Aku mendengar suara-Nya dengan jelas. Masih sama seperti dulu, tetap tidak menunjukkan wajah-Nya, hanya suara yang megah dibalut cahaya yang membuatku harus memejamkan mata.”

“Tuhan tidak akan menimbulkan ambiguitas. Tuhan itu satu. Absolut. Dia tidak membingungkan. Kalau kamu kebingungan memikirkan-Nya, berarti kamu sama ceteknya dengan oknum agamis itu. Kamu menjadikan Tuhan sebagai entitas, merendahkan-Nya.”

Perlahan diaduknya teh yang gulanya mulai larut, gelasnya berdenting perlahan. Asap masih mengepul dari cangkir tehnya. Mas Pram menuang teh panas ke lepek, lalu menyeruputnya dengan tenang. Tak terlihat tanda bahwa dia sedang membantuku memikirkan Tuhan.

“Lihat teh ini. Gelasnya adalah sarana tempat aku bisa menikmati teh. Tapi aku masih bebas bisa menikmati teh dari lepek keramik ini. Demikianlah fungsi agama. Intinya adalah Tuhan. Intinya adalah teh ini. Sarana untuk menuju kepadanya bisa beragam. Bisa juga kau menadahkan tanganmu, jika tahan terhadap panasnya.”

Lagi, Mas Pram menyeruput teh panas itu, nampak nikmat sampai aku terpesona melihat kesungguhannya menikmati teh.

***

Minggu ini aku tak menemui Mas Pram. Ia banyak berubah. Ia terus berkata bahwa aku butuh berobat. Ia bahkan berkata, yang kudengar bukan suara Tuhan, tapi suara jin. Bisa-bisanya Mas Pram menyalahkan jin.

Kuhabiskan waktuku untuk membaca tentang berbagai agama di dunia, seperti dulu. Bagiku, semuanya terlihat sama, semua mengejar Tuhan. Maka kubuat rencana-rencana mengejar Tuhan dengan caraku sendiri. Setidaknya jika caraku keliru, tak akan ada orang yang dikorbankan untuk menemaniku tenggelam dalam kekeliruan semacam ini.

Tentu aku tidak keliru. Tuhan menciptaku sebagai individu. Pastilah Ia juga bisa dicapai ketika aku menjadi individu merdeka. Kembali ke fitrahku sebagai satu pribadi merdeka, sama seperti saat aku dilahirkan. Bukankah tak ada bayi yang lahir bersamaan dari satu mulut rahim walau kembar sekalipun?

Aku membuat rencana-rencana. Melibatkan lampu, lilin, lentera, bunga, dupa dan kalung doa yang kurangkai dari batu dan buku catatanku untuk menemukan Tuhan. Semua kususun rapi di dalam laci di kamar indekos. Kucoret setiap tanggal menuju hari yang kunanti untuk menemui Tuhan, bukan Tuhan yang seperti di kitab-kitab. Tapi Tuhan yang menemuiku di mimpi-mimpiku.

Di suatu malam di bulan Desember, saat semua orang yang memiliki agama yang sama seperti agama di KTP-ku menyalakan lampu gemerlap tanda merayakan keselamatan, aku merayakan keselamatanku. Aku sudah membuat janji temu dengan Tuhanku.

Satu per satu kukeluarkan sarana yang kukumpulkan untuk menemui Tuhanku. Kususun di meja, kopi yang kubeli semalam. Kukunci pintu kamar agar tak seorang pun dapat menggangguku. Kunyalakan ponselku untuk merekam. Jika aku berhasil, dunia harus tahu.

Kunyalakan lampu, lilin dan lentera ini. Kubaringkan tubuhku di samping meja. Kulingkarkan erat kalung doaku ke leherku, terus, makin erat, sangat erat, dan kurasakan mataku akan melompat keluar.

Betul kata Mas Pram, Tuhan bisa dijumpai dengan berbagai sarana. Pilihanku memisahkan raga dan jiwaku membuatku mendekat lebih dekat ke Tuhanku. Tuhan yang Esa. Tuhan yang Satu. Yang diburu semua makhluk.

Kulihat tubuhku menyala ditemani kilatan cahaya. Kulihat cahaya lain di antara awan-gemawan. Kupikir, itulah pintu menuju rumah Tuhan. Sebentar lagi aku akan benar-benar bebas melayang ke sana. Semoga Tuhan menemuiku.