Istilah kolonial diperuntukkan kepada sekelompok orang (koloni) yang datang sebagai pendatang dan menancapkan kuasa. Sederhananya, seorang tamu yang bersikap menjadi tuan. Kolonialisme bisa dibilang satu pendekatan yang awalnya tidak terlalu represif. Era ini dibangun pada awalnya berdasarkan saling melindungi. Tapi lama-kelamaan kolonialisme berubah menjadi imperialisme, suatu bentuk pemikiran yang penuh dengan hegemoni dan keserakahan.

Proyek kolonialisasi masuk ke Nusantara berbarengan pasca penyebaran Islam. Mereka (kolonial) datang bukan semata hanya ingin menguasai tanah, ekonomi, serta politik negeri jajahan. Misi lain yang mereka emban adalah penyebaran agama Kristen atau yang dikenal dengan istilah Kristenisasi.

Kolonial yang erat dengan Kristenisasi ini berhadapan dengan Islam yang sudah lebih dahulu tersebar di Nusantara. Maka Islam dan Kristen disini bukan semata ajaran teologis tetapi sudah masuk dalam konsepsi politis.

Postcolonial Theory

Tanpa menutup-nutupi masa keemasan kerajaan Islam di negeri ini, pada zahirnya, sering terjadi ketegangan ketika Islam menjadi kekuatan dan komunikasi politik dalam lingkungan kerajaan. Baik secara internal maupun eksternal. Terjadi perebutan kekuasaan antar keturunan raja yang tak pelak membentuk kanal darah nan bersimbah membasahi tahta kerajaan. Seturut dengan itu, terjadi pula perselingkuhan antara kuasa raja dan kolonialisme.

Ahmad Baso menyebutkan, kuasa Jawa bertanggung jawab atas langgengnya kolonialisme di negeri ini. Hukum, politik liberal, dan pengetahuan atau pendidikan merupakan imune yang membuat penduduk menerima kolonialisme (Ahmad Baso, 2005: 105-182). Seperti yang diungkapkan Frances Gouda dalam bukunya Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia-Belanda berikut:

"Dengan mempelajari sebanyak mungkin tentang kebiasaan budaya, kosmologi, dan bahasa daerah berbagai kelompok etnis di kepulauan ini, sebagian besar pegawai sipil Belanda berharap dapat melaksanakan agenda filosofis mereka dan mewujudkan keyakinan “etik”nya…banyak di antara mereka yang memahami tugas pemerintahan kolonialnya sebagai orangtua yang sadar, yang sangat akrab dengan kebiasaan dan psikologi anak asuh pribuminya."

"Dengan demikian, ada jaminan bahwa Indonesia akan tetap berada di bawah pengawasan Belanda selama beberapa abad mendatang."

Pribumi dianggap sebagai anak asuh, sedang mereka, Belanda sebagai bapak yang selalu melindungi anaknya. Kolonialisme, seperti diungkap Baso, bukanlah cerita tentang pembesar yang memberi sabda atau perintah. Bukan pula persoalan penaklukan militer. Ia adalah ketegangan yang berakar dari bawah.

Baso menjelaskan, sebutan "bapak", "kanjeng", atau "bendoro", merupakan permainan representasi, imaji, dan pemaknaan. Pada masa kolonial, panggilan seperti itu akan terasa lebih dekat dan akrab merujuk kepada orang-orang Belanda daripada kepada orangtua sendiri (Ahmad Baso: 2005: 156).

Lebih lanjut Baso menjelaskan, representasi Bapak dan Anak menunjukkan bahwa kolonialisme merupakan seni mengatur dan memerintah atau governmentality, hal ini senada dengan istilah yang diungkapkan Michael Foucault.

Teori poskolonial hendak menguak ingatan kolonial yang telah terbentuk itu. Kolonialisme telah membentuk memori kolektif yang mengusi psikologi inlanders. Bukan sekadar pada momen kolonial, bahkan setelah kemerdekaan diraih. Karena apa, Ania Lomba menjawab, "Colonialism did not inscribe itself on a clean state, and it cannot therefore account for everything that exist in postcolonial societies." Ia membentuk ingatan kolonial sehingga melahirkan perasaan terpinggir dan sejarah yang monolitik.

Lahir dari rahim cultural studies, teori poskolonial menolak wacana oposisi biner, narasi besar, dan sejarah yang monolitik. Sejarah yang demikian, kata Baso, merupakan sejarah yang diresmikan.

Poskolonial menguak misteri di balik sejarah yang diresmikan itu. Sebaliknya, tidaklah mengungkap kenangan manis yang dianggap mencerahkan dan mamajukan peradaban. Kolonialisme, dengan demikian bertujuan untuk menganalisa struktur kekuasaan dan komunikasi yang terbentuk, ulah adanya momen kolonialisme dan juga imperialisme. Yaitu bentuk kuasa dan komunikasi kuasa yang membisukan kaum terpinggir; subaltern (Stephen Morton: 2008: 8).

Kolonialisasi dan Misi Keagamaan

Sekitar abad ke-19, VOC mendukung penuh proyek Kristenisasi di Nusantara. Ini adalah bahagian awal untuk membangun kembali kepercayaan terhadap al-Kitab yang perlahan hilang karena rasional modernitas di era kemajuan filsafat modern. Selain itu, Kristenisasi adalah bentuk legitimasi spritual untuk melanggengkan hegemoni kolonial.

Kepercayaan terhadap Kristen samadengan tunduk terhadap VOC. Proyek Kristenisasi yang dilakukan ini menyimpulkan ada ketakutan dari VOC yang tidak ingin kekuasaannya hilang terutama karena kuatnya pengaruh Islam di Nusantara.

Kedatangan Belanda bukan semata pertarungan kolonial-pribumi tapi juga ketegangan antara Islam-Kristen. Ketegangan ini juga berakar dari sejarah yang pelik antara kedua agama Ibrahimiah ini karena persoalan kekuasaan dan politik.

Sejak abad ke-11, Perang Salib pertama meletus. Pemicunya, ada tanggapan umat Kristen Timur meminta bantuan kepada Kristen Barat merancang kekuatan untuk membendung ekspansi Islam yang mengancam ibu kota Kerajaan Kristen Timur (Alwi Shihab, 2004: 9-15).

Kondisi itu terus terjadi hingga Perang Salib keenam pada abad ke-13. Pada saat yang sama, Turki berekspansi secara besar-besaran pada kawasan Balkan, Afrika Utara, dan menguasai Konstatinopel pada tahun 1453 serta pada tahun 1529 mengepung Vienna.

Mengutip pendapat Bernard Lewis, Alwi menulis, “sejak umat Islam menguasai Spanyol (Andalusia) dan melakukan pengepungan kedua terhadap Vienna pada tahun 1683, Eropa berada di bawah ancaman terus menerus dari kekuatan Islam."

Namun pasca Perang Salib, Islam mengalami keruntuhan. Andalusia kembali takluk ke tangan pasukan Kristen. Secara peradaban, Islam yang dikategorikan sebagai 'Timur' tak mampu bersaing dengan Kristen yang dikategorikan 'Barat' terutama pasca renansains.

Para pemikir Islam menanggapi hal ini dengan mencoba membangun kembali progresifitas peradaban Islam dengan aneka pemikiran, baik itu Islam modernis, revolusioner maupun eksklusif, seperti Jamaluddin Al-Afghani, Hasan Al-Bana, atau Muhammad bin Abd Wahhab. Wacana-wacana dari tokoh ini juga tersebar ke penganut Islam di Nusantara.

Seperti paham Wahabisme yang dipelopori Muhammad bin Abd Wahhab. Paham ini hadir ke Indonesia sejak politik liberal diberlakukan seiiring dengan dibubarkannya VOC pada tahun 1799. Muslim Indonesia, sedikit leluasa menunaikan ibadah haji ke tanah Mekah dan pulang-pulang, membawa ajaran Wahabi.

Sejak itu, pola hubungan Muslim yang merasa dijajah, dan umat Kristen yang dianggap penjajah, berbara api ketegangan. Padahal, sejarah mencatat tidak sedikit umat Kristiani yang ikut berjuang meraih kemerdekaan.

Belanda, terlebih sejak dinasehati oleh Islamolog Christian Snouck Hurgrounje, dengan gencar melakukan liberalisasi dan pada saat yang sama memproteksi gerakan kelompok Islam yang dianggap mengancam. Misal, keinginan menerapkan hukum Islam yang diproteksi lewat aturan-aturan pemerintah Belanda.

Keputusan Pengadilan Agama, umpamanya, tidak dianggap ingkrah bila tidak ditetapkan oleh pengadilan negeri, atau lazim dikenal executoir varklaring.

Mohammad Daud Ali dalam bukunya, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia menyebutkan teori Hurgrounje merubah sikap Belanda setelah sekian lama dipengaruhi oleh teori recptie in complexu Van Vollen Hoven. Formalisasi syari’at Islam, pada masa ini terus dibayang-bayangi sikap seorang “ayah” terhadap anaknya. Memberikan kebebasan dalam aturan-aturan nan ketat.

Muslim-Kristen membentuk satu pola ketakutan satu sama lain. Pihak Muslim takut dengan arus deras Kristenisasi dan pihak Kristen takut kekuasaannya tercabut terlebih diterapkannya formalisasi syariat Islam. Maka paradigma saling menguasai masih terbawa arus hingga saat ini.

Penutup

Setelah Nusantara meraih kemerdakaan dengan nama Indonesia, maka ideologi kenegaraan tidak berdasarkan golongan dan agama tertentu. Para pendiri bangsa menciptakan satu formasi falsafah bangsa dengan nama Pancasila.

Pancasila menggambarkan satu bentuk kemerdekaan secara konstitusi dan mental. Secara konstitusi, bangsa ini sudah merdeka puluhan tahun silam, tapi secara mental tidak sepenuhnya bebas. Ratusan tahun hidup dalam naungan kolonialisme, tidak begitu saja syndrom kolonial itu lepas.

Sentimentil berbau agama masih kentara di era modern-demokrasi sekarang. Wacana sekulerisasi, pluralitas, liberalisasi bagi umat Islam ini adalah wacana-wacana yang membahayakan yang disuguhkan kaum Kristiani. Sedangkan istilah syariat, jihad adalah istilah-istilah yang bagi kaum Kristen erat dengan terorisme dan radikalisme.

Harus ada jalan tengah agar pemahaman seperti ini tidak terus berakar ke anak-cucu bangsa ini nanti. Seperti pepatah orang Kalimantan dalam bahasa Banjar, "kayapa caranya kodok kada mati, kayapa caranya ular kada kelaparan," yang artinya bagaimana caranya kodok tidak mati dan bagaimana caranya ular tidak kelaparan. Maka harus ada titik tengah yang disebut dengan toleransi.

Tidak ada yang salah dengan agama, setiap agama mengajarkan kebaikan. Kesarakahan, haus kekuasaan yang ditunjukkan penganutnya menjadikan agama terlihat garang satu sama lain. Sekarang Indonesia bukan lagi negeri kolonial yang takut akan Kristenisasi.

Sekarang Indonesia bukan lagi negara yang membebaskan gerakan-gerakan Islam radikal. Indonesia sudah berada dalam ranah demokrasi yang setiap penganut agamanya berhak menjalankan ibadah, ajaran, dan dakwahnya tanpa intimidasi.