“Kebahagiaan” adalah suatu istilah yang terkesan sudah dipahami semua orang. Kebahagiaan juga merupakan sesuatu yang diinginkan semua orang. Bahkan kebahagiaan bisa jadi adalah ide yang menjadi causa finalis (tujuan akhir) bagi setiap apapun yang dikerjakan manusia dalam kehidupannya.

Kendati ide kebahagiaan bisa dibilang sangat dekat dengan tiap individu, namun pada kenyataannya kebahagiaan seolah tidak kerasan menetap pada diri manusia. Ia seolah hanya datang sesaat lalu pergi lagi. 

Hal tersebut akhirnya membuat kita bertanya, mungkinkah kita benar-benar bisa bahagia secara total? Bagaimana supaya kebahagiaan selalu menetap padaku hingga akhir hayatku?


Misteri Kebahagiaan

Kebahagiaan sebagai sesuatu yang diperjuangkan manusia untuk ditetapkan dalam hidupnya mempersyaratkan sebuah pengetahuan dalam rangka usaha untuk meraihnya. Masalahnya, ketika kebahagiaan mulai dijadikan sebuah objek diskursus, ia tak lagi menjadi persoalan yang sederhana – tidak se-simple ide kebahagiaan yang dipikirkan tiap manusia begitu saja dan bersifat taken for granted (diterima begitu saja)Ketika kebahagiaan dijadikan sebuah objek pengetahuan, kita akan terasa susah dalam memahaminya.

Apabila ada pertanyaan tentang kebahagiaan, mungkin yang langsung terfikirkan oleh kebanyakan orang adalah bukan sebuah definisi yang bersifat analitis, melainkan merujuk pada hal-hal yang berkaitan dengan kategori objek atau kategori aktivitas tertentu, misalnya; bermain musik, membaca buku, touring (kategori aktivitas) atau misalnya; uang, pacar, gadget canggih (kategori objek).

Kebahagiaan pada mereka bertitik tolak dari suatu perasaan-perasaan yang timbul ketika mereka sedang melakukan aktivitas yang merupakan hobi mereka atau ketika hasrat kepemilikan mereka terhadap suatu objek akhirnya terpenuhi.

Sebenarnya, kategori aktivitas dan objek ini bisa dibilang hampir tak ada bedanya. Sebuah aktivitas (fisik) selalu mempersyaratkan ada objek eksternal – misalnya, bermain musik membutuhkan alat musik – dan ketika seseorang menginginkan suatu objek – misalnya seseorang menginginkan uang – orang itu sebenarnya juga membayangkan suatu aktivitas atau kegiatan tertentu yang bisa ia lakukan setelah mereka memiliki objek (uang) tersebut – misalnya bisa jalan-jalan ke luar negeri.

Pemikiran seperti demikian sebenarnya tidak menjelaskan esensi dari kebahagiaan itu sendiri. Jawaban itu hanya menjelaskan faktor-faktor eksternal yang dianggap mampu merangsang datangnya kebahagiaan (bisa saja tidak mendatangkan kebahagiaan). 

Klaim kebahagiaan yang bertitik tolak dari faktor eksternal tersebut selalu bersifat temporer – seperti problem kebahagiaan yang di jelaskan di awal, ia datang dan pergi. Pada konteks ini, kesenangan atau kenikmatan dan kebahagiaan menjadi rancu dan terkesan tak ada bedanya.

Masalah lainnya adalah setiap manusia memiliki hasrat (kesenangan) yang berbeda-beda terhadap hal-hal eksternal yang dianggap mereka bisa mendatangkan kebahagiaan. 

Di sini tentu saja menjadi sulit untuk mencari tahu dan memahami esensi kebahagiaan karena esensi adalah inti dari suatu hal yang tidak berubah-ubah dan bersifat tetap, sedangkan aktivitas dan objek yang diklaim mendatangkan kebahagiaan pada manusia sifatnya relatif dan tidak tetap.

Pada filsafat Yunani Klasik, lahir aliran yang memberi pemahaman tentang kebahagiaan yang berkaitan dengan kesenangan. Aliran ini disebut Hedonisme1. Aliran ini beranggapan bahwa hidup yang bahagia adalah dengan mencari kesenangan dan kenikmatan sebanyak mungkin dan menghindari penderitaan-penderitaan sebisa mungkin. 

Namun, kebahagiaan seperti itu cenderung akan membawa kekacauan pada kehidupan sosial seseorang karena egoisme radikalnya. Kekacauan tersebut pada akhirnya juga akan menjadi faktor seseorang tidak bahagia.

Apa itu kebahagiaan? Bagaimana mengaktualkan hidup bahagia? Mungkinkah kita bahagia? Akhirnya kita tahu bahwa tidak sederhana menjawab pertanyaan tersebut. Ketika kita dihadapkan pada pertanyaan demikian, secara tiba-tiba mungkin kita akan terasa asing dengan kebahagiaan. 

Kebahagiaan menjadi sesuatu yang mendadak misterius apabila ingin kita dekati dengan akal. Padahal, bagaimana kita bisa mencapai kebahagiaan sejati, apabila kita masih belum tahu bagaimana menjawabnya

Problem misteriusitas kebahagiaan juga di afirmasi oleh Immanuel Kant, filsuf Jerman abad 17, mengatakan “konsep kebahagiaan adalah konsep yang sangat tidak jelas, sehingga sekalipun setiap orang menginginkannya, dia tidak pernah dapat dengan jelas dan konsisten mengatakan apa yang sesungguhnya diinginkan dan dikehendakinya”.


Memahami Penderitaan

Sesuatu yang diperlawankan dengan kebahagiaan adalah penderitaan. Apabila kebahagiaan selalu dicari dan berusaha digapai manusia demi kehidupannya, maka penderitaan adalah sesuatu yang berusaha dijauhi dan dihindari manusia.

Namun banyak ditemui suatu ironi, yaitu ketika seseorang mencoba memahami penderitaan, justru ia merasa lebih akrab dengan penderitaan dibandingkan dengan kebahagiaan.

Penderitaan seolah-olah lebih kerasan menghampiri manusia daripada kebahagiaan. Penderitaan yang datang terasa lebih lama, sedangkan kebahagiaan terasa sangat singkat kedatangannya2.  Pernyataan yang dipercaya banyak orang seperti ini tentu saja membuat mereka terjatuh dalam pesimisme.

Pesimisme pada dasarnya adalah sebuah paham yang meyakini bahwa segala sesuatu itu adalah keburukan. Dalam memandang hidup, kaum pesimisme akan melihat kehidupan ini adalah sebuah penderitaan yang tiada akhir. Sehingga pesimisme menganggap kebahagiaan – terlebih kebahagiaan sejati – itu tidak ada dan kalaupun ada itu hanyalah omong kosong.

Lalu apabila yang ada adalah penderitaan, dari mana asalnya? Menurut Arthur Schopenhauer3, gerak kehidupan, termasuk kehidupan manusia disebabkan oleh suatu energi metafisis yang disebut dengan kehendak. Dari kehendak universal itu lalu seorang manusia bisa memiliki kebutuhan dan keinginan (kehendak partikular).

Dari situ Schopenhauer akan mengatakan “Kehendak berasal dari kebutuhan, artinya ada sebuah kekurangan, dan kepuasan akan mengakhirinya. Tapi satu keinginan yang terpuaskan paling tidak ada sepulih keinginan lain yang tak terpuaskan. 

Apalagi hal itu berlangsung lama dan cenderung tak terbatas. Dengan demikian kepenuhan yang ‘akhir’ pun, bersifat sementara belaka”. Pernyataan Schopenhauer mengindikasikan bahwa penderitaan terjadi karena kita tak akan pernah selesai merasakan kekurangan terus-menerus.

Pada realitas kehidupan kita, apabila kita ingin memenuhi kebutuhan diri kita sendiri, kita harus memenuhi kebutuhan orang lain. Memang memenuhi kebutuhan diri sendiri membawa kepuasan namun, memenuhi kebutuhan orang lain bisa jadi adalah konsekuensi yang menjadi penyebab penderitaan kita pada kehidupan sehari-hari kita. Kehendak seorang individu, pada ruang publik akan bertabrakan dengan kehendak individu lain.


Kebahagiaan dan Penderitaan

Pada realita kehidupan, bisa kita postulatkan tak ada manusia yang selama hidupnya secara total ia bahagia dan tak ada pula yang secara total hidupnya menderita. Kebahagiaan dan penderitaan selalu menjadi bagian hidup setiap manusia. Hidup kita seolah seperti tempat persinggahan dua hal yang dianggap seperti saling bermusuhan tersebut. Ketika kebahagiaan dianggap datang, penderitaan pergi, begitu juga sebaliknya.

Seorang yang berpaham Hedonisme harus berusaha sebisa mungkin menghindari penderitaan-penderitaan secara radikal. Arthur Schopenhauer sebagai sang nabi pesimisme pun, masih mengakui ada perasaan-perasaan senang dan puas meskipun ia tak mengakui hal tersebut bersifat esensial.

Rupanya kebahagiaan tak bisa dipahami tanpa penderitaan, penderitaan pun juga susah dipahami tanpa ada lawan sepadannya.

Kebahagiaan dan Penderitaan nampaknya adalah sebuah keniscayaan dimana satu sama lain saling mengadakan dan saling meniadakan sekaligus. Apabila seseorang memilih kebahagiaan absolut dan menolak penderitaan secara mutlak, artinya ia juga sedang meng-cancel (menegasi) pilihan kebahagiaannya sendiri .

Mengapa kebahagiaan dan penderitaan susah didefinisikan? Karena pada dasarnya dua hal tersebut berasal dari sebuah penghayatan perasaan yang timbul dari sensasi kebertubuhan manusia. Namun timbulnya penghayatan tersebut mempersyaratkan adanya penangkapan rasio terhadap sensasi-sensasi yang hadir pada seseorang (rasionalisasi sensasi).

“Sensasi” pada dirinya sendiri (an sich) pada dasarnya resisten terhadap definisi yang rasional. Namun dengan perangkat bahasa dan logika manusia mampu melakukan usaha merasionalkan perasaan dengan menyimbolkan sensasi mereka ketika merasakan gula dengan simbol kata “manis”, ketika terluka bagian tubuhnya dengan simbol kata “sakit” atau “perih”.

Karenanya kebahagiaan dan penderitaan adalah penghayatan dari rasionalisasi sensasi yang pada prosesnya akan menghasilkan makna-makna subjektif pada seorang manusia yang akan menjadi faktor penentu kualitas kebahagiaan atau penderitaannya – hal ini juga tergantung dari pengetahuan dan cara pandang seseorang tentang kebahagiaan dan penderitaan (pra-kondisi pemaknaan).


Kebahagiaan Manusiawi

Menjawab pertanyaan pada judul tulisan ini “mungkinkah kita bahagia?” jawabannya adalah “Ya!”. Sebagai kemungkinan memang secara logis kita semua memiliki kemungkinan untuk bahagia sebagaimana kita juga tentu saja memiliki kemungkinan pula untuk menderita. Namun pertanyaan tersebut hanyalah sebagai pemantik kita untuk menentukan pilihan kita dalam memilih kemungkinan mana yang akan kita perjuangkan.

Ya, apabila dasarnya kebahagiaan adalah pemaknaan filosofis kita terhadap kehidupan kita dan pemaknaan adalah kebebasan individual kita sebagai manusia yang eksis dengan segala perasaan dan pemikiran kita, artinya kebahagiaan tentu saja bisa kita dapatkan secara personal tanpa menggantungkan faktor-faktor lain selain kemampuan kita dalam mendalami sebuah pemaknaan.

Karena yang mampu memaknai hanyalah manusia, maka kita sebagai manusia hendaknya melakukan refleksi dan pemaknaan terlebih dahulu mengenai kita sebagai manusia. Manusia adalah makhluk yang bebas sekaligus tidak bebas. Ketidakbebasan manusia terletak dalam kehidupan konkritnya sebagai individu yang eksistensinya tersituasikan pada suatu faktisitas4.

Karena manusia tak mungkin merubah kodratnya, maka dalam memaknai hidup untuk bahagia, ia tak boleh melupakan sisi kemanusiaannya. Apabila dalam proses pemaknaan manusia melupakan eksistensinya, ia akan terjatuh pada makna kebahagiaan yang naif. Dan itulah akar dari kegagalan pertama manusia dalam mencari kebahagiaan.

Maka dari itu kebahagiaan sejati atau kebahagiaan yang sempurna manusia adalah kebahagiaan manusia sebagai manusia. Untuk memahaminya, pertama kita harus melihat eksistensi manusia sebagai makhluk yang selalu berada dalam ruang kemenjadian terus menerus. 

Artinya selama manusia hidup, ia akan terus berada pada garis konstan menjadi sesuatu dan menjadi sesuatu yang baru lagi hingga ia meninggal dan eksistensinya terpenuhi.

Maka dari itu kebahagiaan sebagai seorang manusia adalah kebahagiaan yang tak pernah selesai diusahakan, kebahagiaan yang selalu memiliki keretakan untuk diperbaiki, kebahagiaan yang tak pernah penuh untuk selalu dipenuhi manusia. Kebahagiaan yang naif sebagai seorang manusia adalah kebahagiaan yang utuh, kebahagiaan yang total, kebahagiaan yang total.


Catatan Kaki

Hedonisme klasik dipopulerkan oleh Aristippos. Hedonisme moderat dicetuskan oleh Epicurus.

2 Tesis ini tidak bersifat universal, namun sejauh pandangan penulis. Thesis ini adalah postulat dari penulis.

Arthur Schopenhauer adalah filsuf Jerman abad 18 yang dikenal dengan pemikirannya yang pesimis (Pesimisme)

Faktisitas adalah istilah dari Martin Heiddeger, filsuf Jerman abad 19, dalam penjelasannya terkait ketersituasian Dasein.