Membahas politik memang tak pernah ada habisnya. Menguras tenaga namun, selalu terasa hangat dan layak disimak. Seperti belakangan ini mencuak isu terkait klaim kepuasan masyarakat atas kepemimpinan Jokowi sebagai Presiden.
Bukan pengakuan sepele, melainkan sangat menyita perhatian publik. Seperti data yang dilansir [cnnindonesia.com] pada Minggu (20/2/22), lembaga survei Indikator Politik Indonesia membeberkan hasil survei terkait kinerja Presiden Joko Widodo (Jokowi). Haslinya menunjukkan sekitar 70 persen masyarakat puas.
Para fanatisme Jokowi tentu sangat bangga berbicara di berbagai media dengan menyebut hasil survei tersebut sebagai suatu prestasi luar biasa, bahkan beberapa hasil survei lainnya juga diklaim sebagai fakta bahwa benar-benar masyarakat sangat puas dengan Jokowi.
Saking semangatnya, para pendukung orang nomor satu di Indonesia ini banyak menggembar-gemborkan Jokowi 3 Priode, atau lebih tepatnya perpanjangan masa jabatan walau hal tersebut juga dinilai melenceng dari konstitusi.
Berbagai isu yang tidak jauh-jauh dari dukungan Jokowi tetap menjabat menyebar dan menghangatkan pembahasan politik di Indonesia.
Seolah menyihir kita semua agar fokus hanya pada politik semata. Sementara gejolak ketimpangan di bidang ekonomi dan polemik sosial serta eksploitasi alam semakin menjadi-jadi.
Ancaman kelangkaanpahan pokok, kenaikan BBM, perusakan hutan oleh perusahaan, serta masalah lainnya tertutupi dengan lembut oleh isu perpanjangan masa jabatan, selama beberapa waktu.
Dan para pendukung Jokowi masih saja bangga dan mengelu-elukan klaim kepuasan masyarakat. Namun, di sini saya tidak akan membahas banyak tentang kebobrokan Jokowi selama memimpin negeri ini.
Saya hanya akan fokus pada isu kepuasan masyarakat serta gerakan mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi serentak pada 11 April 2022 di seluruh Indonesia, beberapa hari terakhir.
Tulisan ini saya buat dengan rasa bercanda tetapi sedikit rasional. Sembari tersenyum membaca beberapa referensi tentang klaim kepuasan atas kinerja Jokowi, saya tiba-tiba teringat masa lalu.
Tak tahan menampung ingatan yang terbingkai lelucon ini, saya kemudian membuka laptop lalu menulis celoteh tentang beberapa akibat di balik makna kepuasan.
Mengingat klaim kepuasan tersebut mulai muncul sekitar dua bulan lalu, terus menjadi pembahasan di media-media nasional hingga akhirnya menuai kontroversi serta tindakan dari mahasiswa.
Tanpa menampik problematika sosial mahasiswa mulai menyusun strategi perlawanan, berbagai pihak pun angkat bicara. Lalu tiba pada kesimpulan mahasiswa untuk turun ke jalan melakukan aksi unjuk rasa secara serentak di seluruh Indonesia.
Tepat pada 11 April 2022, jutaan mahasiswa di seluruh penjuru negeri memblokade jalan, meneriakkan aspirasi masyarakat terkait maslah-maslah mendasar yang dialami akibat kebijakan pemerintah, tak lepas juga isu perpanjangan masa jabatan Presiden yang dikecam keras.
Aksi tersebut terus berlangsung hingga memanas di beberapa daerah, bahkan dikabarkan salah satu tokoh ternama, Ade Armando yang merupakan dosen UI dan juga sering tampil di TV memuji-muji kinerja Jokowi, ikut jadi korban.
Tragedi tersebut tentu sangat disayangkan sekaligus membuat kita geleng-geleng kepala. Kenapa tidak? toh bila masyarakat puas dengan kinerja Jokowi, tidak mungkin ada aksi besar-besaran dari mahasiswa, terlebih serentak di semua tempat.
Atau memang kepuasan rentan berakhir anarkis? Kembali pada ingatan saya tentang masa lalu, serta beberapa hasil curhatan teman tentang kepuasan.
Bahwa seorang remaja yang tertarik dengan perempuan secara fisik akan memuji-muji, melakukan apa saja untuk menaklukkan perempuan tersebut. Namun, bila sudah mendapatkan, rasanya akan biasa-biasa saja.
Apalagi kalau sudah menidurinya, menikmati kemolekan tubuhnya maka rasa bosanlah yang muncul, bahkan tak jarang menimbulkan kejengkelan.
Kira-kira begitu makna dari percakapan saya dengan teman selama kurang lebih enam jam di salah satu kedai kopi di Sinjai, Sulawesi Selatan, beberapa malam yang lalu.
Sehingga saya jadi membayangkan tentang makna di balik klaim kepuasan atas kinerja Jokowi.
Bisa jadi benar masyarakat puas, sehingga kepuasan tersebutlah yang bermakna serupa dengan kepuasan remaja selepas bercinta dengan kekasihnya, menimbulkan kebosanan dan berakhir pada kejengkelan.
Sepertinya masyarakat memang benar-benar puas. Namun, sekedar puas dengan janji-janji Jokowi yang tidak terpenuhi, puas dengan celoteh pejabat negeri ini yang kebanyakan korup lalu menyelamatkan diri di balik kata oknum.
Walau tulisan ini tidak benar-benar mewakili kenyataan di lapangan. Tetapi saya pikir tidak ada salahnya membandingkan antara kepuasan biologis sepasang remaja dengan klaim kepuasan masyarakat atas kinerja pemerintahnya.
Intinya pemerintahan Jokowi telah banyak menimbulkan kekacauan, sehingga isu tentang perpanjangan masa jabatan menurut saya tak lebih dari sekedar lelucon belaka.
Demikian klaim kepuasan yang saya paparkan di atas, walau bersumber dari beberapa data dari hasil survei.
Namun, menurut saya hal tersebut bukanlah sesuatu yang objektif. Sehingga menyandingkan dengan kepuasan biologis sepasang remaja merupakan kewajaran.
Saya harus jujur, bahwa tulisan ini bukan menyalahkan Jokowi atau para pendukungnya secara politis. Tetapi kinerja dan berbagai kebijakannya yang senantiasa membuat masyarakat menderita tak bisa dibenarkan.