Indonesia merupakan negara merdeka yang terdiri dari berbagai etnis, suku, ras dan agama. Membahas keragaman etnisitas ini, salah satu etnis yang mendiami Indonesia adalah masyarakat Tionghoa. Mereka hadir di Indonesia sebagai imigran China, jauh sebelum masuknya bangsa Eropa untuk melakukan perdagangan.
Awalnya hubungan antara masyarakat nusantara dan etnis Tionghoa berlangsung harmonis. Namun, jika ditelusuri kembali melalui sejarahnya, etnis Tionghoa di Indonesia seringkali mengalami diskriminasi.
Berfokus dengan masalah diskriminasi, di masa orde baru diberlakukan sebuah kebijakan asimilasi yang bertujuan untuk mengatasi konflik yang sebelumnya terjadi diantara masyarakat Indonesia dan Tionghoa.
Kebijakan asimilasi hadir sebagai solusi kekhawatiran Soeharto terhadap masyarakat Tionghoa yang berasal dari sebuah negara berideologi komunis. Kebijakan ini diterapkan dengan cara melakukan peleburan identitas masyarakat etnis Tionghoa dalam masyarakat Indonesia.
Berlakukan kebijakan asimilasi terhadap etnis Tionghoa di masa orde baru, ditandai dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 yang menimbang “bahwa agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina di Indonesia yang berpusat pada negeri leluhurnya, yang dalam manifestasinya dapat menimbulkan pengaruh psychologis, mental dan moril yang kurang wajar terhadap warga negara Indonesia sehingga merupakan hambatan terhadap proses asimilasi, perlu diatur serta ditempatkan fungsinya pada proporsi yang wajar.”
Instruksi ini akhirnya mempersempit kebebasan dan penghilangan identitas masyarakat Tionghoa karena secara tegas mereka diharuskan untuk menyesuaikan tradisi sosial dan budaya mayoritas masyarakat Indonesia.
Dampak dari kebijakan ini adalah masyarakat Tionghoa di Indonesia harus berganti nama demi mewujudkan rasa nasionalisme terhadap Indonesia. Di bidang agama, kehidupan beragama dalam arti beribadah orang Tionghoa sangat dibatasi, contohnya adalah dengan adanya pembatasan perayaan imlek sehingga harus dilakukan sembunyi-sembunyi.
Di bidang pendidikan, pers dan film dan penggunaan bahasa mandarin sangat dibatasi untuk dipergunakan. Sekalipun ada penayangan film-film Hong Kong dan Taiwan di televisi, film tersebut sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Larangan penampilan media dalam Bahasa Mandarin berdampak pada hilangnya kemampuan orang Tionghoa dalam menulis, membaca, dan berbahasa Mandarin.
Di bidang politik, ruang gerak dari masyarakat Tionghoa dibatasi, sedangkan di bidang ekonomi ruang gerak masyarakat Tionghoa terbuka. Dalam hal ini, pemerintah orde baru justru memanfaatkan para cukong Tionghoa untuk bekerjasama dengan pemerintah orde baru dalam rangka memberi pemasukan modal.
Setelah berakhirnya orde baru, Indonesia mulai memasuki masa reformasi, dimana kebijakan asimilasi akhirnya dicabut ketika Abdurrahman Wahid (Gus Dur) naik menjadi presiden menggantikan Habibie. Sejak saat itu, hak minoritas masyarakat etnis Tionghoa akhirnya dapat terealisasi sesuai dengan semangat “human rights” yang dibawakan oleh negara-negara liberal.
Hal ini sesuai dengan apa pengakuan bentuk multikulturalisme yang disampaikan oleh Will Kymlica seorang filsuf yang berasal dari Kanada. Dalam bukunya berjudul Multikulturalisme (1955), Kymlica menjelaskan bahwa sejak tahun 1970 negara-negara liberal seperti Kanada, Amerika, dan Australia bersikap memilih sikap untuk lebih toleran terhadap perbedaan pluralistik para imigran.
Penolakan terhadap kebijakan asimilasi yang dilakukan oleh ketiga negara ini juga direalisasi oleh Gus Dur melalui tindakan dengan mengeluarkan keputusan presiden no 6 tahun 2000 tentang pencabutan terhadap Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1867 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina.
Berakhirnya kebijakan asimilasi ini akhirnya membuka peluang terbukanya kebebasan bagi masyarakat etnis Tionghoa. Hal ini menjadi angin segar bagi masyarakat etnis Tionghoa karena sejak kebijakan asimilasi berakhir, hak-hak minoritas mulai diakui. Masyarakat etnis Tionghoa mulai mendapatkan identitasnya kembali.
Tidak perlu izin khusus bagi masyarakat etnis Tionghoa untuk menyelenggarkan tradisi keagamaan, sebagaimana telah berlangsung di era sebelumnya. Keseriusan pengakuan adanya prularisme juga diwujudkan dengan peliburan hari besar keagamaan seperti Imlek.
Will Kymlica dalam bukunya juga membahas lebih lanjut mengenai hak minoritas yang menjelaskan bahwa kelompok minoritas dalam konteks Indonesia adalah masyarakat etnis Tionghoa memiliki hak untuk memilih hidup mereka sendiri.
Sejak era orde baru dan dimulainya era reformasi, hak-hak minoritas masyarakat etnis Tionghoa kembali diakui di Indonesia. Semangat multikulturalisme dan pluralisme untuk menerima perbedaan dengan sikap toleransi semakin ditunjukan oleh pemerintah saat ini.
Bentuk multikulturalisme yang disampaikan oleh kymlica mengenai hak kelompok minoritas etnis sudah mulai berlaku di Indonesia demi mewujudkan kesetaraan dalam sebuah negara bangsa. Hal ini juga sesuai dengan bentuk negara yang terdiri dari beragam kelompok etnis minoritas.
Kymlica yang memfokuskan pembahasan multikulturalisme pada subyek hak kelompok minoritas di luar hak individu penulis rasa sangat sesuai untuk menjelaskan kondisi kelompok masyarakat etnis Tionghoa di era orde baru hingga reformasi. Hal ini dikarenakan saat ini, perbedaan hak-hak budaya minoritas sudah diakui di Indoensia.
Sumber:
Coppel, C. A. (1993). Tionghoa Indonesia dalam Krisis. Jakarta: Sinar Harapan.
Kymlica, W. (1995). MULTICULTURAL CITIZENSHIP A LIBERAL THEORY OF MINORITY RIGHTS. New York: Oxford University Press Inc.
Suryadinata, Leo. (2003). Kebijakan Negara Indonesia terhadap Etnik Tionghoa: Dari Asimilasi ke Multikulturalisme?. Jurnal Antropologi Indonesia.