Saat ini (29/7) kita tengah berada pada penghujung hari dari Bulan Dzulhijjah. Hal ini berarti beberapa saat lagi kita akan segera memasuki masa pergantian tahun, yakni 1444 hijriah.

Adapun tahun hijriah sendiri sebagaimana yang jamak kita ketahui merupakan pergantian waktu yang dihitung berdasarkan peredaran bulan mengelilingi bumi atau yang biasa kita kenal dengan perhitungan kalender qamariyah. Selain itu, penentuan kalender hijriah ini sekaligus untuk menandai momentum awal kali hijrah Nabi Muhammad SAW dan para sahabat dari Kota Makkah menuju Kota Yatsrib yang bertepatan dengan tahun 622 M.

Peristiwa Hijrah Nabi Muhammad beserta para sahabat menuju sebuah kota yang kemudian kita kenal dengan Madinah Al-Munawwarah ini adalah bentuk upaya untuk menghindari adanya ancaman-ancaman, ragam siksaan yang dilakukan oleh kafir Quraisy kepada para sahabat yang telah memeluk ajaran agama Islam.

Sebab pada waktu itu, jumlah pemeluk agama Islam masih sangat sedikit atau minoritas dibandingkan jumlah populasi kaum kafir Quraisy yang ada di Kota Makkah. Keadaan ini menjadikan kaum kafir Quraisy bersikap zhalim terhadap siapa saja yang telah memeluk ajaran agama yang dibawa oleh Nabiyullah Muhammad SAW.

Untuk menghindari bentuk-bentuk penindasan yang dilakukan oleh kaum Quraisy yang seakan tidak berkesudahan tersebut, maka Nabi beserta para sahabat pun memutuskan untuk hijrah ke Kota Madinah. 

Dan ternyata, di Kota Madinah ini, mereka tidak sekadar dapat mempertahankan keimanan maupun nyawa mereka, mereka pun bahkan mendapat sambutan yang hangat dan penerimaan yang baik dari penduduk Madinah dengan adanya di antara penduduk kota tersebut yang kemudian memeluk agama Islam. Dari Kota Madinah inilah kemudian agama Islam pun dapat berkembang dengan sangat pesat.

Dari peristiwa hijrah Nabi Muhammad tersebut, ada beberapa hal berharga yang dapat kita jadikan sebagai bahan perenungan kita bersama, khususnya berkait dengan bagaimana cara beliau dalam menyebarkan ajaran agama Islam baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, serta keteladanan dari para sahabat dalam mempertahankan keimanan mereka di tengah ragam ancaman yang setiap saat selalu siap untuk mendera.

Selain itu, pada Bulan Muharram ini juga terdapat beberapa peristiwa luar biasa yang dialami oleh para Nabi dan utusan Allah lainnya. Misalnya saja, diselamatkannya Nabi Nuh AS dan para ummatnya dari bencana air bah; Diselematkannya Nabi Musa AS beserta para pengikutnya dari kejaran Raja Firaun, di mana semua itu juga terjadi pada Bulan Muharram.

Dengan adanya banyak peristiwa berharga yang terdapat pada Bulan Muharram ini, sekiranya juga dapat menjadi pelajaran bagi kita bahwa dalam menjalankan dan mempertahankan syariat ajaran agama Islam siapa saja akan berpeluang mendapatkan beberapa cobaan, di mana cobaan tersebut merupakan upaya Allah dalam menguji keimanan para hamba-Nya agar derajat mereka semakin mulia di sisi-Nya, yakni manakala mereka dapat melampaui ujian tersebut dengan penuh kesabaran.

Dan manakala kita menelaahi langkah yang telah ditempuh oleh para utusan dan para kekasih Allah tersebut, maka kita akan mendapati mereka sebagai hamba yang selalu saja tegar. Mereka tidak pernah merasa gentar atau merasa sedih sedikit pun dengan adanya ragam cobaan tersebut. Hal ini dikarenakan adanya keyakinan yang melekat dalam diri mereka bahwa Allah senantiasa membersamai setiap langkah mereka, sehingga mereka pun tidak pernah merasa sendirian dalam mengarungi berbagai macam ujian tersebut. Hal ini sebagaimana diterangkan dalam QS Yunus ayat 62 berikut:

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“Ketahuilah, sesungguhnya para kekasih Allah itu tidak ada rasa takut atas diri mereka dan mereka juga tidak bersedih hati (atas cobaan yang mereka terima).”

Hal lain yang perlu kita perhatikan seiring adanya pergantian tahun baru hijriyah ini adalah berkait dengan begitu berharganya waktu bagi kehidupan ummat manusia, khususnya dalam hal ini bagi mereka yang beriman kepada Allah SWT.

Waktu hidup kita di alam dunia ini merupakan hal yang sangat berharga, sebab waktu kehidupan kita sangat terbatas. Dengan adanya keterbatasan ini sepatutnya kita dapat menjadikannya sebagai kesempatan bagi kita untuk mengabdi kepada Allah dengan sebaik-baiknya pengabdian, sekaligus ia kita jadikan sebagai kesempatan untuk mengumpulkan bekal kehidupan kita di akhirat kelak. 

Adapun sebaik-baiknya bekal yang dapat kita bawa untuk memperoleh kebahagiaan kita baik ketika hidup di alam dunia maupun ketika hidup di alam akhirat kelak adalah ketaqwaan. Hal ini sebagaimana diterangkan dalam QS Al-Baqarah ayat 197 berikut:

وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ ۚ وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ

“Dan berbekallah kalian, maka sesungguhnya sebaik-baiknya bekal itu adalah taqwa. Bertaqwalah kalian kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.”

Untuk menegaskan begitu berharganya waktu kehidupan kita di alam dunia, maka Allah pun bahkan menjelaskan dalam beberapa sumpah-Nya, di mana dalam sumpah yang terabadikan dalam Al-Qur’an tersebut Allah juga telah menggunakan nama-nama waktu. 

Misalnya saja, Allah telah bersumpah dengan menggunakan waktu fajar, Allah bersumpah dengan menggunakan waktu dhuha, menggunakan waktu ashar dan bahkan juga menggunakan waktu malam.

Disebutkannya sumpah-sumpah tersebut dengan menyandarkan nama-nama waktu merupakan diantara bukti bahwa begitu berharga waktu dalam kehidupan kita, sehingga dengan memperhatikan hal ini, maka kita sebagai bagian dari para hamba-Nya sepatutnya juga tidak bersikap lengah, tidak merasa santai-santai ketika hidup di alam dunia, karena kita merasa waktu hidup kita di alam dunia ini masihlah sangat lapang dan sangat panjang.

Padahal, usia yang masih muda, kondisi badan yang sehat bugar, keadaan rejeki yang lapang bukanlah jaminan bahwa seseorang itu masih akan lama hidup di dunia. Sebab tidak jarang, tanpa ada tanda-tanda apapun dan tanpa ada gejala apapun, Allah sewaktu-waktu dapat memerintahkan malaikat Izrail untuk mencabut nyawa dari para hamba-Nya.

Oleh sebab itu, seiring cepatnya laju perubahan dari sebuah waktu, maka alangkah baiknya jika kita terus mengisinya dengan amal-amal shalih, yakni kita menjadikannya sebagai kesempatan untuk terus berbakti kepada Allah, menjadikannya sebagai kesempatan untuk menjalin hubungan yang baik dengan masyarakat di sekitar kita, serta kesempatan untuk memelihara alam yang ada di sekeliling kita.

Dengan menempuh langkah dan sikap yang demikian, kita juga tidak henti-hentinya berharap, semoga Allah juga akan senantiasa membimbing kita, memberikan hidayah-Nya kepada kita, sehingga kita dapat mengemban setiap amanah waktu telah dititipkan kepada kita dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian, kita pun berharap akan dihindarkan oleh Allah dari ragam penyesalan maupun penderitaan yang kemungkinan akan datang pada hari kemudian. (*)