Acara silaturahmi lebaran tahun ini ditingkahi dengan obrolan dan canda tawa seputar seorang vokalis kenamaan tanah air, Andika Mahesa.
Hari ini siapa yang tidak kenal Babang Tamvan? Begitu frasa itu muncul semua sudah paham bahwa Andika Mahesalah yang dimaksud. Vokalis Kangen Band dengan segala cerita dan gayanya. Dan tentunya fans yang jumlahnya tidak sedikit.
Tapi ketika duo anak muda TS dan ZZ mengunggah video yang disinyalir mengolok-olok Babang Tamvan dan terjadi kisruh ini, saya kok merasa seperti déjà vu.
Dengan kisah perjalanan mereka menjadi band papan atas sekaligus kisah hidup para personelnya, lengkap sudah Kangen Band menyabet hati banyak masyarakat Indonesia sejak awal kemunculannya. Banyak yang langsung menyambut antusias. Banyak sekali. Tapi mari juga kita akui, tidak sedikit yang mencibir, bahkan pada suatu ketika ada kenalan saya sampai berkata, “Idih, najis.”
Kendati demikian, yang terjadi hari ini berbeda. Semua turun berkomentar dan menghujat TS dan ZZ ketika mereka memarodikan Babang Tamvan. Semua video lama terkuak. Semua perilaku yang katanya mengolok-olok beredar di sana sini. Jejak digital memang begitu kejam. Yang dulu bukan apa-apa pun akan menjadi masalah begitu satu saja perkara terpantik. Itulah yang terjadi pada TS dan ZZ.
Padahal, ingatkah Anda bahwa memarodikan ini termasuk salah satu gaya komedian tahun 90an dulu? Ingatkah Anda pada beberapa orang yang pandai sekali memparodikan mantan Presiden Soeharto dan B.J. Habibie? Adakah yang mengecam? Atau Anda merupakan salah satu yang tertawa.
Kita. Ya, saya menyebutnya kita. Saya termasuk di antaranya. Kita pernah (atau masih) menjadi bagian yang tertawa pada parodi tokoh terkenal. Beberapa akan menyebutnya impersonating. Saya yang kurang paham seni pertunjukan ini hanya melihatnya sebagai bagian dari sebuah lawakan. Ia adalah pertunjukan. Sebagaimana sebuah lawakan, tujuan akhirnya memang memancing tawa.
Siapa tak kenal dengan Butet Kertaradjasa. Kepiawaiannya menirukan gaya bicara para presiden begitu terkenal. Ia bahkan dibayar untuk melakukan itu.
Pada suatu acara, Butet menirukan gaya bicara Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno. Mulai dari caranya memegang naskah pidato, gesture tubuhnya saat bicara dan suaranya yang ‘dibuat’ menggelegar. Just like our founding father famously do. Pada suatu titik, Butet menirukan cara Bung Karno membakar semangat rakyat dengan ungkapan rawe-rawe rantas, malang-malang putung.
Tapi alih-alih menggunakan kalimat tersebut, Butet menirukan cara orasi Bung Karno dan menggantinya menjadi ‘rawe rawe rantas, malang malang tulungagung, tulungagung’ yang jadi terdengar seperti kenek angkutan umum. Apa yang terjadi? Hadirin tertawa terbahak-bahak. Sampai sini Anda teringat sesuatu?
Saya tidak melihat ada yang protes pada saat acara tersebut. Semua tertawa.
Atau yang lebih sering terdengar dan diulang di mana-mana? Gaya Butet mengikuti Presiden Indonesia dengan masa jabatan terlama, Pak Harto. Dengan kalimat khas ala Butet, gaya bicara Pak Harto yang begitu serupa, ‘Piye? Penak zamanku tho?’ dan hadirin pun sekali lagi tertawa. Bahkan lebih keras.
Butet Kertaredjasa begitu piawai menirukan gaya para presiden. Bukan main-main yang diparodikannya, Presiden. Apa yang kita lakukan waktu itu? Kita tertawa bersama. Terbahak-bahak. Butet dan kita.
Bagi mata saya, Butet adalah TS dan kita adalah ZZ. Maka ketika kita menghujat ZZ, kita menghujat diri kita sendiri. Kita yang menertawai parodi-parodi, sementara kita tidak lebih baik dari yang diparodikan.
“Lho, Mbak. Ya beda. Kan itu memarodikan Presiden. Ya sudah resiko Presiden dibegitukan. Kan publik figur.”
Yo podo wae. Mereka sesama publik figur, sesama manusia. Maka pada dasarnya mereka berhak mendapatkan perilaku yang sama, keadilan yang adil dari publik.
“ZZ itu sudah bikin apa memangnya? Andika itu karyanya banyak, dan punya fans banyak.”
Lha, sampeyan dibandingkan sama para Presiden itu sudah bikin apa? Seburuk-buruknya presiden, mereka mencatatkan namanya dalam sejarah. Anda sudah punya karya apa?
Tentunya Anda pernah melihat bagaimana para impersonator seperti Butet Kertaradjasa dan Gilang Dirga memeragakan gaya bicara Presiden ketiga Indonesia? Beliau yang nama besarnya diakui dunia, bahkan punya hak paten untuk karyanya sendiri itu memang punya gaya bicara dan logat yang begitu khas. Dulu saya ikut tertawa saat ada yang memarodikan beliau. Sekarang, hati saya meringis melihatnya. Seperti sebuah penghinaan bagaimanapun bentuknya. Tapi, saya pun tak merutuk pelaku parodinya.
Pada sebuah unggahan yang menampilkan Gilang Dirga memarodikan tujuh presiden ada sebuah komentar yang menarik perhatian saya. Komentar itu berkata kurang lebih intinya bahwa mereka yang mempermasalahkan parodi tersebut berarti tak punya sense of humour, karena orang tertawa pada Gilang Dirganya bukan pada sosok Presidennya. Oh, oke. Saya paham maksudnya.
Maka mari kita tarik pernyataan dalam kolom komentar tersebut ke kisruh ZZ dan Andika. Bagaimana jika yang dilakukan ZZ adalah menertawai usaha TS dalam memarodikan Andika? Sama saja, bukan?
“Tapi ZZ itu nyata sekali ngenyek.”
Lha, kurang nyata di sebelah mananya bagi para impersonator itu? Mereka dibayar untuk impersonating. Mungkin mereka tidak ada rencana ngenyek. Itu betul. Maka pembelaan TS yang berkata, “Tidak bermaksud,” itu ada benarnya. Tapi bagaimana dengan ZZ yang tertawa di belakangnya? Bukankah sama halnya dengan kita yang menertawai parodi para presiden di televisi bertahun-tahun yang lalu (atau malah baru-baru ini)?
TS adalah aksi panggung; ZZ adalah kita, penonton yang tertawa terbahak-bahak. TS adalah anda di masa SMA menirukan gaya guru killer mengajar; ZZ adalah kita, teman-teman yang menertawakan bersama-sama sambil nyeruput es teh manis.
Yang mereka lakukan mungkin hanya memantik rasa bersalah kita. Atau malah mungkin memantik diri kita yang asli ke permukaan? Diri kita yang sedari dulu begitu nge-fans pada Babang Tamvan tapi terlalu ‘classy’ buat mengakui bahwa pop melayu adalah genre musik kita? Rasa kagum yang kita tahan-tahan atas nama gengsi bertahun-tahun lalu itu akhirnya termuntahkan ketika ada yang dengan terang-terangan mengolok. Padahal mengolok jugalah yang kita lakukan bertahun-tahun lalu. Pada Babang Tamvan, juga pada para tokoh bersejarah itu.
Maka, pada bulan Syawal yang khidmat ini, dengan sisa-sisa spirit Ramadhan yang semoga bisa kita pertahankan hingga tahun depan, mari kita semua berkaca. Bahwa ketika satu jari kita menunjuk orang lain, empat jari lainnya menunjuk ke diri kita sendiri. Sebelum jari dan lidah kita mengata-ngatai TS dan ZZ sedemikian rupa, ingatlah bahwa kita pernah melakukan hal yang sama. Kita hanya hidup di zaman yang berbeda.
Diana Kusumawaty, Guru Bahasa Inggris, tinggal di Bekasi.