Pada 16 Rajab 1444 H yang bertepatan dengan 7 Februari 2023 M, Nahdlatul Ulama secara resmi berumur 100 tahun. Pencapaian panjang yang tentunya menjadi perayaan bersama seluruh jamaah Nahdlatul Ulama.
Perayaan satu abad Nahdlatul Ulama (NU) yang sedianya mengikuti perhitungan kalender Hijriyah ini mengusung semboyan “Merawat Jagat, Membangun Peradaban.” Semboyan yang juga merupakan visi dari PBNU periode ini, seolah mengidealkan kontribusi NU dalam penyebaran gagasan transnasional.
Apa yang menjadi menarik dari semboyan ini adalah penggunaan istilah serapan. Kata “jagat”, sebuah istilah lokal serapan bahasa Jawa, serta peradaban dari kata “adab”, yang berakar dari bahasa Arab. Kedua kata ini memiliki kaitan yang erat satu sama lain, meskipun berasal dari dua kebudayaan yang berbeda.
Dalam bahasa Jawa, kata “Jagat”, merujuk pada penggunaan beberapa idiom seperti lelanang ing Jagad, Jagade wis peteng, ataupun Jagad ora mung sagodhong kelor, setidaknya memiliki makna yang sama dengan kata bumi, dunia, alam, maupun semesta. Apa yang membedakan adalah bahwa Jagat dalam Jawa telah mengalami evokasi makna. Kata “Jagad” Jawa dalam penggunaanya dapat menggantikan baik kata bumi seperti Jagade wis peteng, dunia dalam jagad ora mung sagodhong kelor, maupun alam semesta dalam lelanang ing Jagad.
Dalam pemaknaan inilah, kata “jagat” setidaknya dapat berfungsi ganda dalam makna yang material maupun yang imajiner. Fungsi ganda yang kemudian kata “jagat” sebenarnya lebih banyak dipakai untuk penggambaran sesuatu yang ideal dari bumi, dunia, alam maupun semesta.
Sedangkan peradaban sendiri dimaknai dalam bahasa Indonesia sebagai kemajuan, keluhuran dimana akar kata ini berasal dari dari istilah arab, “adab” yang berarti berakhlak, berilmu serta luhur. Kata peradaban sendiri dalam bahasa Arab dikenal dengan al-hadhoroh, memiliki adab yang baik. Lawan katanya adalah al-badawah (Badui) atau orang yang tidak memiliki adab (keras, kasar sebagaimana identifikasi orang badui di Arab).
Sedang dalam Bahasa Inggris, peradaban dikenal dengan civilization dari asalnya yaitu civil. Konsep civil ini sebenarnya memiliki akar genealogi dalam khazanah wacana Islam di Indonesia. Nurcholis Madjid menerjemahkannya dengan kata madani. Sedangkan Gus Dur menganggap kata civil sebagaimana asal katanya tidak perlu diterjemahkan.
Dari identifikasi kata ini, maka secara bahasa semboyan perayaan satu abad NU, "merawat jagat" dan " membangun peradaban” memiliki makna, merawat bumi yang ideal dan membangun keluhuran masyarakat.
Antara Gagasan dan Momentum post-Reformasi
Dalam abad pertamanya, seperti sudah jamak kita ketahui NU setidaknya telah melewati empat momentum sejarah sosial-politik Indonesia modern sebagaimana juga Greg Fealy maupun Feillard tuliskan yaitu: Revolusi Indonesia, Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi.
Keempat momen politik ini telah menjadikan NU memiliki pengalaman sejarah yang sangat panjang. Dan hari ini, dalam menuju abad kedua, NU segera dihadapkan pada momentum baru politik Indonesia, yaitu post-Reformasi.
Momentum post-Reformasi sebagaimana Tim Lindsey jelaskan ditandai sebagai era uncertainty (ketidakpastian). Ketidakpastian dalam artian ini, setidaknya ada tiga hal yang paling disoroti, yaitu perubahan iklim, politik aliran, dan ketimpangan ekonomi.
Persoalan perubahan iklim telah banyak diidentifikasi dengan akibat rusaknya keseimbangan ekosistem serta melemahnya kemampuan regenerasi bumi. Akibat perubahan iklim ini, di masa depan ditengarai akan semakin meningkatkan bencana-bencana serta perubahan penghidupan masyarakat.
Banjir yang semakin meningkat dalam beberapa tahun ini, tenggelamnya beberapa desa di kawasan pesisir utara Jawa serta curah hujan yang tidak lagi sesuai musim menjadi bukti bahwa perubahan iklim telah menjadi persoalan yang serius.
Tantangan pada momentum post-reformasi selanjutnya adalah ketimpangan ekonomi yang semakin meningkat di masyarakat. Angka rasio Gini, yang mengukur ketimpangan pendapatan naik dari 0,32 di tahun 2002 menjadi 0,43 pada tahun 2013.
Meningkatnya ketimpangan ini, sebagaimana Aspinall jelaskan adalah berawal dari boomingnya komoditas seperti batubara dan sawit pada tahun 2000-an. Akumulasi kekayaan pada elit-elit ini karena penerima manfaat utama dari booming komoditas adalah pengusaha dengan koneksi politik yang memungkinkan mengakses izin dan konsesi yang diperlukan untuk membuka dan mengoperasikan tambang dan perkebunan. Dari sinilah istilah yang dikenalkan Winter sebagai oligarki banyak dipakai.
Sorotan ketiga dalam momentum post-Reformasi adalah menguatnya politik aliran. Momentum pemilu 2014 dan 2019 secara jelas telah memberi kita gambaran mengenai politik aliran ini dengan fragmentasi yang terjadi antar masyarakat menjadi sangat tajam. Istilah cebong dan kampret untuk mengidentifikasi suatu kelompok tertentu pendukung politik berlanjut bahkan hingga beberapa tahun pemilu telah usai.
Fragmentasi tajam yang terjadi akibat politik aliran juga telah menyebabkan lemahnya identitas sosial. Identitas sosial yang melemah ini menjadi kendala yang terkait langsung dengan semakin kuatnya dominasi hubungan klientelis dalam hubungan antara masyarakat dengan partai politik.
Klientelis sering kali menyebabkan hubungan masyarakat dengan elit politik lebih transaksional dengan masyarakat dinilai sekedar sebagai voter. Klientelisme semacam ini yang justru menguntungkan elit-elit dan dengan demikian membantu, dalam jangka panjang, untuk meningkatkan ketimpangan daripada menguranginya
Menegaskan Khittah, Merawat Basis Jamaah
Dengan mendasarkan gagasan "merawat jagat, membangun peradaban", NU berarti harus siap menjawab realita dan problem sosial yang terjadi di masyarakat, sebagaimana tiga sorotan dalam momentum post-Reformasi.
Dua dekade reformasi dengan kecenderungan NU lebih banyak berorientasi pada kekuasaan setidaknya sudah cukup sebagai refleksi keharusan NU kembali menguatkan basis jamaahnya sebagaimana yang juga digalakan Gus Dur pada periode 90-an. Keputusan khittah NU pada tahun 1978 yang berarti fokus kembali ke haluan dasarnya: memberdayakan kelompok Islam Tradisional melalui pendidikan dan kerja sosial di akar rumput.
Dalam persoalan perubahan iklim, NU setidaknya perlu merawat kembali gagasan-gagasan bumi yang ideal sebagai satu-satunya tempat hidup dan beribadah serta mengejahwantahkannya dalam realita cara politik maupun ekonomi.
NU dapat menjadi garda terdepan dalam mengorganisir kelompok jamaahnya yang secara langsung terdampak bencana-bencana ekologis. Selain itu, NU perlu untuk merumuskan bukan hanya sekedar produk hukum (fiqh), tetapi juga mengenai konsepsi teologis keterkaitan antara bumi, manusia serta kehidupan lain.
Dengan basis NU yang sepenuhnya berada di kawasan agraris, ketimpangan ekonomi ini paling dirasakan oleh Jamaah NU. Ketimpangan ekonomi di kawasan agraris menjelaskan masih perlunya pemberdayaan ekonomi dengan tujuan keadilan.
Masjid-masjid yang merupakan pusat kegiatan keagamaan, sudah selayaknya menjadi pemberdayaan utama bagi jamaah. Jamaah masjid ini dapat didorong sebagai kolektif-kolektif yang saling bekerja sama, bahkan jika mungkin dapat menjadi lembaga pemberdayaan sendiri dengan kyai kampung sebagai ujung tombak perubahan.
Lalu dalam politik aliran, pelemahan basis massa NU disinyalir telah turut menyebabkan kuatnya politik aliran yang setidaknya juga meninggalkan dua lubang di masyarakat, yaitu fragmentasi dan melemahnya identitas sosial.
Peran NU sebagai sebuah organisasi sosial keagamaan menjadi penting sebagai kekuatan penyeimbang, sebagaimana yang pernah dilakukannya sepanjang periode 90-an.
Pemberdayaan yang digalangkan NU di tengah represif Orde Baru memang cukup massif. NU berperan menjadi kekuatan penyeimbang masyarakat, menggalakan transformasi sosial, membangun civil society yang otonom, dan sebagai agen perubahan sosial melalui pergulatan wacana, advokasi dan pendampingan masyarakat.
Disinilah Modal besar yang dimiliki NU dalam empat momentum politik, seharusnya menjadi refleksi kritis. Momen peralihan abad kedua ini menjadi penting bagi NU untuk menengok kembali generasi sebelumnya dalam menyikapi problem-problem masyarakat dan kondisi akar rumput. NU harus berani mengejawantahkan ulang apa yang menjadi gagasan Gus Dur mengenai penguatan civil society.
Peluang tersebut menjadi sangat penting, dengan fakta ketiadaan partai politik yang secara struktural, kini, mewakili masyarakat dalam basis-basis NU.
Terakhir, disinilah semboyan “Merawat Jagat, Membangun Peradaban” dengan makna bahasa sebagai “tantangan merawat-bumi yang lebih ideal, dan masyarakat luhur” setidaknya dapat ditambahkan penjelasannya, “dengan arah memproduksi wacana serta realitas baru dalam cara berpolitik, ekonomi, dengan cara beragama dan dalam imajinasi.”