Sebelum si bocah menjawab, seekor kupu-kupu muncul dan terbang di antara dia dan orang tua itu. Dia teringat sesuatu yang pernah diberitahukan oleh kakeknya: bahwa kupu-kupu adalah pertanda baik. Seperti jangkrik, dan seperti pengharapan; seperti cicak dan seperti daun semanggi helai-empat.

"Betul," kata orang tua itu, bisa membaca pikiran si bocah. "Seperti yang kakekmu ajarkan. Ini adalah pertanda baik." 

– Paulo Coelho, Sang Alkemis

Paragraf di atas adalah penggalan dari Sang Alkemis karya Paulo Coelho. Dikisahkanlah Santiago, seorang bocah gembala Spanyol, bermimpi bahwa dirinya menemukan harta karun. Keingintahuannya terhadap mimpinya akhirnya mempertemukannya dengan seorang tua misterius, yang ternyata adalah Melchizedek, seorang raja yang muncul dalam kisah-kisah Perjanjian Lama. 

Sang raja lah yang kemudian meyakinkan Santiago untuk menjemput takdirnya untuk menemukan harta karun itu, yang terkubur di dekat kaki piramida di Mesir.

Kupu-kupu menjadi pertanda dimulainya petualangan Santiago melintasi padang pasir Afrika Utara untuk memenuhi mimpi anehnya tersebut. Seakan sebagai sebuah pengiyaan dari semesta, kupu-kupu yang melintas di depan Santiago adalah metafora dari kemantapan batinnya untuk melalui rintangan-rintangan yang akan ia hadapi. 

Tapi, rintangan itu akan berakhir dengan keberhasilan dan petualangan ini akan berakhir dengan pencapaian.

Seperti yang dikatakan oleh Paulo Coelho melalui karakter Santiago dalam novel Sang Alkemis, kupu-kupu adalah pertanda baik. Layaknya simbol-simbol keberuntungan lain, seperti semanggi berdaun empat, kupu-kupu mewakili keberuntungan. 

Selain itu, Freud berkata dalam The Interpretation of Dreams (1955) bahwa kupu-kupu melambangkan psike, jiwa manusia, pernyataan yang diiyakan juga oleh Carl Jung dalam Symbols of Transformation (1956).

Akan tetapi, keberuntungan ini tidak muncul secara tiba-tiba atau bagaikan kilatan petir yang datang menyambar tanpa salam, tanpa basa-basi. Kupu-kupu yang indah lahir dari proses metamorfosis yang panjang. Berawal dari ulat, menjadi kepompong dan akhirnya menjadi kupu-kupu yang beraneka warna.

Keberuntungan yang diwakili oleh kupu-kupu adalah keberuntungan yang diperjuangkan. Keberuntungan ini tidak datang dengan hanya berdiri tegak, diam hening atau sekadar menarik napas.

Layaknya ulat menjadi kupu-kupu, manusia juga harus terus bergerak dinamis, sesuai dengan perubahan yang dialaminya dalam kehidupan. Paulo berkisah bahwa manusia yang akan mendapat keberuntungan ini adalah mereka yang tidak berdiam diri, berusaha penuh dalam mencapai kebahagiaannya, atau sederhananya, mereka “mengejar takdir”. Ulat yang tidak bermetamorfosis adalah ulat yang mati dan manusia yang tidak memperjuangkan takdirnya atau tidak mengejar keberuntungannya sama seperti mati.

***

Kehidupan adalah proses mengejar keberuntungan-keberuntungan tersebut. Kita hanya akan menemukannya dalam peluang-peluang, kemungkinan-kemungkinan dan kesempatan-kesempatan. Peluang tersebut berdiam diri, stagnan dalam posisinya. 

Kita yang harus menemukannya dalam kehidupan yang dinamis ini. Di sinilah manusia dipaksa untuk berkembang ketika mereka menyadari bahwa kehidupannya dan keberuntungannya hanya dapat diwujudkan oleh usaha mereka sendiri.

Itulah pesan yang berusaha disampaikan Paulo dalam Sang Alkemis. Kita mempertanyakan apakah manusia ditakdirkan untuk hidup seperti ini atau seperti itu? Hidup apakah yang baik dan hidup apakah yang benar bagi kita, itulah pergulatan pemikiran yang seseorang rasakan dalam kehidupannya, terlebih lagi ketika merasakan proses menjadi dewasa. 

Hidup seperti apa yang kita tuju, hidup seperti apa yang berusaha kita penuhi? Manusiawi itu sifatnya, karena manusia yang mempertanyakan untuk apa dia hidup berarti dia sedang merasakan bahwa dia memang hidup.

Lewat karakter Santiago, Paulo mendorong semua pembacanya untuk berfilsafat seperti itu, mempertanyakan makna hidup yang sedang kita jalani. Apakah kita sudah cukup berjuang? Penulis dahulu pernah menulis di esai yang lainnya bahwa hidup pada dasarnya adalah perjuangan yang tidak pernah selesai.

Perumpamaannya adalah ikan yang bergerak melawan arus, untuk menemukan kembali rumahnya dan untuk aliran air melewati insangnya sehingga bisa menangkap oksigen. Ikan yang tidak melawan arus dan tidak bergerak berarti ikan mati.

Prof. Rhenald Kasali pernah mengatakan bahwa hidup ini pada dasarnya ada dua orientasi, yakni survival (bertahan hidup) dan existensial (pencarian makna). Prof. Kasali berpendapat bahwa mereka yang mempertanyakan makna kehidupan adalah mereka yang tidak memfokuskan diri pada usaha untuk bertahan hidup. Baginya, mereka yang sibuk untuk mencari nafkah sehari-hari tidak akan sempat untuk mempertanyakan hidup. Mereka yang sibuk memburuh akan tidak sempat untuk berfilsafat.

Di sini, penulis mampu berargumen bahwa pendapat Prof. Kasali itu salah. Tulisan kontemplasi ini adalah buktinya. Tulisan ini tidak lahir dari penulis yang hanya sekadar melakukan senam mental (mental gymnastics). Ini adalah usaha bertahan hidup penulis, layaknya penulis-penulis lain, yang menggantungkan kehidupannya atau mungkin separuh kehidupannya dari mengirim esai-esai ke media-media cetak dan daring berharap untuk mendapat apresiasi berupa transfer uang ke ATM. Berfilsafat mempertanyakan makna hidup bisa dilakukan sambil merenungkan usaha-usaha untuk bertahan hidup tadi.

Berfilsafat itu tidak hanya duduk diam manis, menyalakan rokok, menghirup kopi pekat hitam dan duduk di atas kursi santai lalu merenung lama-lama dalam gelap. Itu fantasi yang umum, tidak hanya dibayangkan oleh orang-orang awam filsafat terhadap gambaran ideal filsuf, namun juga oleh filsuf-filsufnya sendiri. Ini romantisasi gambaran proses berfilsafat, yang mana kenyataan tidak persis seperti itu. 

Proses berfilsafat hadir dalam bagaimana kita menghadapi kehidupan-kehidupan sehari, untuk mencapai tujuan dan impian serta mimpi kita. Dalam kegetiran dan kepahitan kita yang dirasakan lewat proses berjuang dan bekerja, kita berfilsafat dengan lebih-lebih lagi.

Paulo mengajak kita untuk merenungkan hidup kita yang penuh penderitaan dan perjuangan ini. Dia meminta kita untuk kembali melihat dalam berbagai perspektif bahwa di manapun dan menjadi apapun kita sesuai pilihan yang kita ambil, kita akan terus menderita. 

Sesuai sabda agung Buddha, Schopenhauer hingga Nietzsche, kita manusia berada dalam penderitaan yang terus menerus. Menjadi hidup sama halnya dengan menderita. Sehingga apapun pilihan yang kita ambil sama halnya kita memilih penderitaan apa saja yang kita harus jalani.

***

Dalam Beyond the Pleasure Principle (1961), Freud berpendapat bahwa manusia itu hidup untuk memenuhi kepuasannya, the will to pleasure. Dorongan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan primitif kita, seperti makan dan seks, adalah sesuatu yang menjaga kita untuk tetap hidup, layaknya pada makhluk hidup yang lain. Semua yang kita lakukan adalah persoalan bertahan hidup, atau meminjam istilah Freud, semua didasari dengan adanya “motif ekonomi”.

Mungkin benar pendapat Freud itu, bahwa manusia membangun keseluruhan peradabannya dengan tujuan untuk mengurangi penderitaan dan memperbesar perasaan kenikmatannya. 

Dan, penulis secara pribadi tidak bisa menampik bahwa apa yang penulis lakukan dan kerjakan selama ini dalam kehidupan, semua yang penulis perjuangkan dalam kehidupan, adalah untuk mendapatkan kenikmatan atau, setidaknya, mengurangi perasaan menderita.

Akan tetapi, mustahil untuk keluar dari penderitaan, dari perasaan sakit dan tidak nyaman. Karena adanya kemampuan untuk merasakan penderitaan itu sendiri adalah tanda kita hidup. 

Ketika kita mengambil niat untuk berkuliah dan lalu berusaha melaluinya, kita akan menderita dengan tugas-tugas dan tujuan-tujuan belajar di dalamnya. Ketika kita memilih seseorang untuk menjadi pendamping hidup kita, kita akan menderita untuk berkorban demi pasangan kita. Ketika kita memilih pekerjaan, kita akan menderita dalam beban-beban pekerjaan di dalamnya.

Pilihan hidup kita adalah pilihan bagaimana cara terbaik bagi kita untuk menderita. Kita tidak memilih menderita untuk sekadar menderita saja, kita memilih penderitaan-penderitaan yang kita rasakan sanggup kita lampaui dan lalui. 

Hati kecil manusia memang berusaha untuk menghindari penderitaan, tapi ia hanya bisa mendorong manusia untuk memperkecil rasa sakit, bukan menghilangkannya. 

Manusia berkembang peradabannya karena ia ingin mengurangi beban hidup dan deritanya. Teknologi yang canggih dan cemerlang adalah usaha manusia untuk mengurangi usaha kerja dalam hidupnya. Sederhananya, mencipta adalah usaha abadi manusia untuk mengurangi penderitaannya.

Di sinilah keinginan untuk mendapatkan kenikmatan tidak hanya semata-mata sifatnya, akan tetapi harus dialirkan menjadi suatu tenaga yang teramat dahsyat. Kehendak inilah yang mendorong kehidupan manusia, layaknya ulat yang merupakan simbol dari nafsu primordial. 

Ulat terus menerus makan dedaunan sampai dia akhirnya siap menjadi kepompong. Begitu pula seharusnya manusia, keinginannya untuk memenuhi lapar, haus dan bahkan kenyamanan-kenyamanan hidupnya haruslah juga mendorongnya untuk berusaha untuk menjadi dirinya seutuhnya.

***

Keinginan kita untuk menghilangkan penderitaan akan membawa kita pada bentuk penderitaan yang lain. Inilah fase kepompong dalam diri kita, di mana terkadang cobaan dan beban hidup terasa berat kita hadapi. 

Akan tetapi, hidup seperti itu. Itulah transformasi bagaimana kita menjadi diri yang seutuhnya. Ketika pada akhirnya kita menyadari bahwa nafsu kita membawa derita, namun derita itu membuat kita belajar untuk bertumbuh, di situlah kita menyadari bahwa kita adalah kupu-kupu dan telah belajar bagaimana seperti dirinya.

Saat kita berhasil mencapai perubahan dalam diri kita, sebagai dampak dari kejadian-kejadian hidup dan belajar atasnya, di situlah kita keluar dari kepompong dan menjadi kupu-kupu yang indah. Jiwa kita telah sempurna dan kehendak kita tidak hanya sebatas pemenuhan atas nafsu, namun dalam menjadi diri kita yang sepenuhnya dan mencintai kehidupan ini sepenuhnya.

Karakter Santiago yang pada awalnya hanya menginginkan menemukan harta karun, menemukan sesuatu yang lebih berharga dalam perjalanannya. Ia temukan ilmu, kebijaksanaan, dan bahkan cinta, semua hal-hal yang jauh lebih tinggi dan lebih indah dari emas, intan dan permata yang semula dicarinya.

Dalam lapar, kita bekerja, dan dalam bekerja, kita belajar kehidupan. Sekalipun hidup adalah perjuangan yang tidak ada habis-habisnya, rasa sakit dari perjuangan itulah yang membuat kita memahami makna kehidupan. 

Kehidupan tersebut yang haruslah dimaknai dengan usaha dan jerih payah. Saat kita berhasil memberikan makna atas hidup kita ini, dalam segenap perjuangan yang kita lalui, maka kita sudah mencapai apa yang disebut oleh Nietzsche sebagai Übermensch, sang adimanusia.

Dan, kupu-kupu yang terbang di depan Santiago sebelum ia memulai perjalanannya telah memberikan pesan itu. Santiago sendirilah yang akhirnya menjadi kupu-kupu itu sendiri, yang ternyata adalah perlambang dari proses dan tujuan dirinya menjadi seorang adimanusia. 

Santiago telah menjadi adimanusia dan sekarang adalah giliran kita. Kemudian, kapan kita akan menjemput takdir kita untuk mencapai keadimanusiaan itu, menuju hidup yang lebih indah?***