Sudah sering sekali kita mendengar komentar, penyataan ataupun keluh-kesah tentang rendahnya minat baca masyarakat Indonesia terutama generasi mudanya. Sudah pula banyak tips beredar tentang bagaimana cara meningkatkan minat baca pada anak-anak. Apakah minat baca sudah meningkat secara signifikan? Jika mau jujur, saya rasa jawabannya adalah tidak.

Saya tidak berminat membahas cara atau tips meningkatkan minat baca. Semua orang sudah hampir paham caranya. Saya ingin melihat dari sudut mengapa kita gagal meningkatkan minat baca generasi muda kita. Banyak pertanyaan yang muncul seperti:

Apakah minat baca dan daya baca masyarakat Indonesia sudah rendah sejak jaman dahulu kala? Mengapa susah sekali meningkatkan minat dan daya baca?

Untuk menjawab itu, ada baiknya kita kilas balik ke masa lalu. Tidak menutup mata bahwa kitab-kitab kuno yang ditemukan di Indonesia menjadi salah satu rujukan penulisan sejarah. Hal ini menunjukan, bahwa generasi terdahulu sadar dan merasa pentingnya ‘membaca dan menulis’. Silakan mencari, membaca dan memahami sastra melayu klasik, babad tanah jawi dalam bermacam versi, serat centini dan lain sebagainya.

Sastra benar-benar dijadikan sarana untuk maksud yang lebih tinggi dari sekadar mampu membaca dan menulis. Jika tidak demikian, maka tidak akan pernah ada para penulis seperti Marah Roesli, Hamka, Sutan Takdir Alisyahbana, Chairil Anwar, Pramudya Ananta Toer dan lainnya.

Bukan berarti saat ini tidak ada penggiat sastra yang bagus dan berbobot. Ada, dikenal secara nasional maupun dalam komunitas kepenulisan,  sebut saja Tere Liye, Asma Nadia,  Patrick Kellan, Abdullah Muzi Marpaung dan masih banyak lainnya. Mereka-mereka adalah sebagian asa agar dunia literasi kita tidak mati suri.

Kembali pada pertanyaan benarkah minat baca  masyarakat saat ini rendah? Jawabannya adalah minat baca masyarakat tidak rendah, tetapi daya bacalah yang rendah. Masyarakat dari berbagai kalangan, memiliki minat baca yang tinggi. Tidak percaya? Lihat saja kekepoan dalam membaca status orang dan berita terbaru di medsos seperti FB, WA, IG dan lainnya. Lalu mengapa dikatakan daya baca rendah? Itu karena saat ada suatu berita sebagian besar orang hanya membaca judulnya dan langsung memberikan komentar seolah paham apa yang ditulis. Padahal membaca isinya saja tidak, apalagi paham.

Maka jangan heran, jika saat diminta membaca buku yang agak tebal sedikit atau berita yang agak panjang sedikit, sebagian masyarakat kita sudah mundur teratur.

 “Malaslah.” Itu jawaban yang sering saya dengar.

Mengapa sulit meningkatkan daya baca pada anak? Bukan karena tips yang beredar tidak manjur, tapi faktor kita sebagai orang tua dan lingkungan lah yang tidak mendukung. Contoh tips untuk meningkatkan minat baca: memberikan bahan bacaan pada anak sejak dini, bacakan buku pada anak, luangkan waktu setiap hari, ajarkan anak beli buku dan ajak anak ke perpustakaan.

Kesalahan kita pada tips pertama adalah, salah memberikan bahan bacaan pada anak. Sejak kecil sudah diberikan Gadget. Supaya tenang dan tidak mengganggu orang tua yang sibuk. Dari kecilpun sudah dikenalkan dengan ebook. Tidak hanya itu, pada gadget ada ebook audio visual yang lebih menarik, menggantikan peran kita sebagai orang tua untuk membacakan cerita pada anak-anak kita. Memberikan tontonan interaktif pada anak-anak tidak salah, asalkan sesuai usia dan porsinya. Memberikan ebook atau membiarkan memakai gadget pun tidak salah asalkan ada batasannya.

Tidak sadarkah kita, bahwa pilihan kita ini bisa mengurangi jalinan komunikasi kita dengan anak kita. Bukankah mendongeng adalah sarana kita menyampaikan pesan, ilmu dan kasih sayang yang akan tertanam di alam bawah sadar anak kita. Tanpa sadar kita membiarkan gadget menggantikan peran kita. Ini salah satu penyebab tidak manjurnya tips yang ketiga yaitu, meluangkan waktu setiap hari untuk membacakan buku pada anak kita.

Apakah kesalahan semacam ini hanya terjadi pada orang tua generasi sekarang? Jawabnya tidak. Pada masa sebelum umum penggunaan gadget, dimana masih umum orang menggunakan media cetak dan buku untuk mendapatkan informasi, Ada beberapa kesalahan umum yang dilakukan orang tua kita atau generasi tua sebelum kita.

Pertama, saat anak minat baca tinggi terhadap arus informasi dan didapat hanya melalui majalah atau koran, lihat apa yang orang tua jaman dulu lakukan. Melarang kita. Tidak percaya?

“Majalah gak guna aja dibaca. Sana baca buku pelajaran.”

“Gak usah gaya, sok-sokan baca koran Bapak, sana baca buku pelajaran saja.”

“Novel aja terus dibaca, mau jadi apa kamu.”

Apa anda pernah mengalami atau mendengar kalimat seperti itu? Mungkin sebagian pernah. Sebagian lagi tidak. Dan itu juga yang sering kita ucapkan pada teman, anak kita, atau siapaun yang lebih muda dari kita. Itulah salah satu kalimat yang tanpa sadar membunuh minat baca seseorang. Dan perilaku itupun sering tanpa sadar kita lakukan pada anak-anak kita. Padahal novel, majalah ataupun koran adalah bacaan selingan selain buku pelajaran yang membosankan itu.

Mengajak anak membeli buku atau mengajaknya ke perpustakaan, adalah tips yang selanjutnya. Rasa-rasanya agak sulit. Kita lihat kondisi sebelum pandemi, bioskop lebih ramai dari pada toko buku. Toko buku hanya ramai saat tahun ajaran baru atau kenaikan kelas. Apalagi perpustakaan, terlihat sepi pengunjung sepanjang tahun. Saya belum pernah melihat ada orang tua yang menemani anaknya ke perpustakaan. Yang sering saya lihat adalah mengantar anaknya ke perpustakaan.

Jika yang terjadi adalah kondisi -kondisi yang diatas, maka jangan harap anak-anak akan mudah kita ajak untuk membeli buku ataupun ke perpustakaan.

Singkat kata, meningkatkan minat dan daya baca pada anak itu di mulai dari kita sendiri,  sebagai generasi yang lebih tua, yang dilihat dan dicontoh oleh anak-anak. Kita perlu contohkan bagaimana kita meluangkan waktu untuk membaca setiap hari dan melepaskan gadget atau HP. Kita juga meluangkan waktu untuk menjalin komunikasi dengan menceritakan buku apa yang kita baca, maka saat akan mudah bagi kita untuk menanyakan atau berdiskusi tentang buku apa yang sudah dibaca hari ini.

Meluangkan waktu membeli buku dan ke perpustakaan bersama anak kita. Ingat, menemani bukan sekedar mengantar. Ikut membaca dan menikmati perpustakaan, bukan sekedar menunggui dan sibuk main HP.

Jika kita lebih suka menonton sinetron atau sekedar baca status dan berita viral di medsos, kecil harapannya generasi penerus melek literasi.  Dengan menunjukkan bahwa kita sebagai generasi lebih tua juga memiliki minat, daya baca yang tinggi serta melek literasi, maka tanpa disuruhpun anak-anak akan mengikuti. Tak perlu repot-repot memerintah, tapi cukup beri contoh, karena anak-anak adalah peniru yang ulung.